Menteri Kesehatan Nila Moeloek memberikan pidato kunci pada seminar tentang cakupan jaminan kesehatan semesta di Jakarta, Rabu (2/5/2018).
JAKARTA, KOMPAS – Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat belum signifikan mengurangi beban biaya kesehatan penduduk. Proporsi pengeluaran rumah tangga untuk biaya kesehatan terhadap total belanja kesehatan di Indonesia masih tinggi. Perlindungan finansial ketika sakit belum dirasakan sepenuhnya oleh masyarakat.
Komponen terbesar dalam pengeluaran rumah tangga untuk kesehatan itu adalah untuk membeli obat. Negara-negara di wilayah kerja Organisasi Kesehatan Dunia Regional Asia Tenggara (WHO-SEARO) juga memiliki kondisi yang serupa.
Hal itu mengemuka dalam seminar memeringati Hari Kesehatan Sedunia dengan tema “Mewujudkan Jaminan Kesehatan Semesta: Meningkatkan Mutu, Meminimalkan Ketimpangan” di Jakarta, Rabu (2/5/2018).
Lluis Vinyals Torres, Penasihat Pembiayaan Kesehatan Regional WHO-SEARO, mengatakan, belanja kesehatan negara-negara di wilayah kerja WHO-SEARO rendah. Proporsi belanja kesehatan terbesar masih berasal dari rumah tangga (Out Of Pocket/ OOP). Angka OOP yang besar menjadi hambatan mengakses layanan kesehatan dan merupakan salah satu penyebab kemiskinan.
Obat menjadi komponen mayoritas dalam pembiayaan kesehatan rumah tangga. Di Bangladesh, India, Nepal, Timor Leste, juga Thailand, proporsi obat terhadap biaya kesehatan rumah tangga mencapai lebih dari 70 persen.
Direktur Departemen Pembangunan Sistem Kesehatan WHO-SEARO, Phyllida Travis, menyatakan, di wilayah kerja WHO-SEARO ada 65 juta penduduk yang jatuh miskin ketika sakit dan harus berobat. “Mewujudkan cakupan jaminan kesehatan semesta (Universal Health Coverage/ UHC) sulit tapi mungkin dicapai jika ada kemauan politik,” tegasnya.
Mewujudkan cakupan jaminan kesehatan semesta (Universal Health Coverage/ UHC) sulit tapi mungkin dicapai jika ada kemauan politik.
Travis mengingatkan, UHC bukan semata kuratif tetapi meliputi aspek promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan paliatif.
Pembiayaan kurang
Guru Besar Ilmu Kesehatan dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Hasbullah Thabrany, mengatakan, program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) ibarat tubuh kurang darah atau anemia. Pembiayaan JKN kurang akibat iuran yang belum memadai sehingga beban pengeluaran rumah tangga untuk kesehatan dari tahun ke tahun tetap tinggi tidak berubah signifikan.
Untuk Indonesia, data National Health Accounts (NHA) tahun 2015, memperlihatkan, dilihat dari sumber dana, proporsi total belanja kesehatan Indonesia didominasi oleh rumah tangga, yakni 52,43 persen dari Rp 218,9 triliun. Lalu diikuti oleh pemerintah sebesar 31,45 persen.
Menurut WHO, UHC memiliki tiga aspek: kepesertaan, paket manfaat/ pelayanan, dan perlindungan finansial. UHC dicapai ketika semua orang mendapat pelayanan kesehatan berkualitas tanpa mengalami hambatan finansial.
Joseph Douglas Kutzin dari Department of Health System Governance and Financing WHO, menyatakan, tidak ada satu negara pun yang sepenuhnya mampu mencapai indikator dalam definisi UHC dengan baik. Setiap negara pasti ingin mewujudkan keadilan, meningkatkan kualitas layanan, dan meningkatkan perlindungan finansial bagi warganya. Keinginan ini memerlukan penguatan sistem kesehatan.
Akan tetapi, mencapai UHC tidak bisa hanya mengandalkan aspek pembiayaan kesehatan semata. Ada bagian lain dari sistem secara keseluruhan yang juga ikut memengaruhi keberhasilan UHC, misalnya ketersediaan dan pemerataan sumber daya manusia sektor kesehatan, pelayanan kesehatan, dan sistem pengadaan dan distribusi obat.
Joseph menambahkan, setiap negara memiliki sistem berbeda sehingga impementasi jaminan kesehatannya pun unik. Meski begitu, setiap negara bisa belajar dari negara lain sehingga kesalahan yang sama bisa dihindari.
Menteri Kesehatan Nila Moeloek, menyampaikan, kondisi geografis Indonesia yang beragam dan populasi yang banyak menjadi tantangan untuk mencapai keadilan dalam UHC.
Per 1 April 2018, sebanyak 195,1 juta jiwa penduduk Indonesia atau sekitar 75 persen populasi telah terdaftar sebagai peserta JKN. Jumlah itu terdiri atas peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) 22,3 juta jiwa, PBI daerah 25 juta, dan non-PBI 78 juta jiwa. Tahun 2019 nanti ditargetkan 95 persen penduduk atau 257,5 juta jiwa penduduk telah menjadi peserta JKN.
Di Tahun 2017, ada 21.763 fasilitas kesehatan tingkat pertama dan 2.292 rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Meskipun demikian, ujar Nila, keberadaan fasilitas kesehatan tersebut tidak merata sehingga memengaruhi akses masyarakat.