Ironi Dana Triliunan Rupiah untuk Warga Perbatasan di NTT
SEJAK 10 tahun masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014), sampai dengan tiga tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo, wilayah perbatasan RI-Timor Leste mendapat perhatian khusus pemerintah. Dana triliunan rupiah dikucurkan untuk menata kawasan itu. Bahkan, pos lintas batas negara atau PLBN dibangun begitu memesona. Kawasan PLBN pun menjadi titik destinasi wisata baru. Namun, kesejahteraan masyarakat masih jauh dari harapan.
Alokasi dana APBN untuk pembangunan kawasan perbatasan di NTT terus meningkat. Tahun 2015 alokasi APBN senilai Rp 1,3 triliun, naik menjadi Rp 2 triliun pada 2016, dan Rp 2,7 triliun 2017, lalu 2018 menjadi Rp 4,1 triliun.
Dalam 4 tahun terakhir, sekitar Rp 11,1 triliun dikucurkan ke NTT untuk membangun kawasan perbatasan. Alokasi anggaran dihitung sesuai wilayah dan sasaran yang hendak dibangun, yakni tujuh kabupaten di NTT yang berbatasan darat dan laut dengan Timor Leste dan Australia.
Kepala Badan Pengelola Perbatasan NTT Paul Manehat di Kupang, Kamis (3/5/2018), mengatakan, tiga kabupaten yang berbatasan darat dengan Timor Leste adalah Belu, Timor Tengah Utara, dan Kabupaten Kupang. Panjang kawasan perbatasan darat sekitar 680 km. Adapun tiga kabupaten yang berbatasan laut dengan Timor Leste, juga Australia, meliputi Alor, Rote Ndao, Sabu Raijua, dan Sumba Timur. Panjang kawasan perbatasan laut mencapai sekitar 3.700 km.
Dana senilai Rp 11,1 triliun itu terfokus pada tiga titik PLBN, yakni Motaain, Motamasin, dan Wini. Pembangunan PLBN di tiga lokasi ini sudah diresmikan Presiden Joko Widodo pada 28 Desember 2016 untuk Motaain dan 7 Januari 2018 untuk Wini dan Motamasin.
Sejak diresmikan, hampir setiap Minggu atau hari libur, warga Atambua, Betun, Kefamenanu, Soe, Kota Kupang, bahkan warga dari perbatasan Timor Leste mendatangi PLBN di Motaain, Wini, dan Motamasin. Mereka datang untuk berfoto dan berekreasi bersama bersama keluarga.
Bahkan, di tiga lokasi PLBN itu, eks warga Timor Timur dan anggota keluarga di Timor Leste sering janjian untuk bertemu karena punya hubungan keluarga. Pertemuan seperti itu tidak hanya berlangsung di PLBN, tetapi juga di titik-titik tertentu, yang oleh warga kedua negara disebut ”jalan tikus”.
Selain membangun PLBN, dana senilai Rp 11,1 triliun itu juga diprioritaskan untuk menata kembali Pelabuhan Atapupu, sekitar 3 km dari PLBN Motaain. Pelabuhan peti kemas ini ditata sebagai pelabuhan di perbatasan negara, dengan fasilitas yang cukup lengkap, berstatus pelabuhan ekspor dan impor.
Namun, di balik kemegahan PLBN dan pelabuhan perbatasan dengan fasilitas pendukung yang begitu memesona, masyarakat RI di perbatasan masih hidup di bawah garis kemiskinan dan keterbelakangan. Pemberdayaan ekonomi masyarakat masih jauh dari harapan. Ironi memang.
Padahal, Manehat mengatakan, program penataan perbatasan menyangkut semua sektor, termasuk sektor pemberdayaan ekonomi masyarakat. Namun, sektor ini belum ditangani serius.
Tiga pasar perbatasan yang dicanangkan pemerintahan kedua negara sejak 2013, yakni Motaain, Motamasin, dan Wini, hingga kini belum beroperasi. Pemerintah masih melengkapi beberapa fasilitas yang dibutuhkan di pasar-pasar itu.
Direktris Yayasan Lingkar Insani NTT Maria Toge mengatakan, cukup ironi antara kemegahan PLBN dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Orang terpesona dengan PLBN yang tergolong megah, tetapi kesejahteraan masyarakat perbatasan masih sangat jauh dari harapan.
”Kemegahan PLBN tidak sekadar membangun harga diri bangsa di hadapan bangsa lain, tetapi lebih dari itu, bagaimana kemegahan sarana dan prasarana perbatasan bisa diikuti dengan penguatan ekonomi masyarakat lokal. Tidak layak kalau masyarakat hidup terbelenggu kemiskinan di tengah kemegahan PLBN,” kata Toge.
Kepala Desa Haliwen, Kecamatan Kakuluk Mesak, Kabupaten Belu, Ferdi Mones Bili mengatakan, Haliwen atau Motaain, persis berbatasan dengan Batugade, Timor Leste. Pembangunan infrastruktur di wilayah perbatasan Motaain sudah cukup memadai.
”Yang perlu diperhatikan pemerintah adalah pemberdayaan ekonomi masyarakat. Meski PLBN sudah tampak modern, dan penataan pelabuhan Atapupu sekitar 3 km dari Motaain juga sudah baik, kehidupan ekonomi masyarakat masih jauh dari harapan. Jumlah 3.973 warga Desa Haliwen, kategori warga miskin,” kata Mones.
Kehidupan masyarakat perbatasan masih sangat instan. Mereka bekerja sekadar memenuhi kebutuhan hari ini. Jika ada bantuan beras murah dan bantuan langsung tunai, mereka konsumsi sampai tuntas, kemudian cari dari sumber lain lagi.
Persoalan di perbatasan adalah rendahnya sumber daya masyarakat. Masalah ini menyebabkan mereka tidak bisa berkreasi dan berinovasi. Mereka tidak berpikir bagaimana membangun masa depan secara lebih baik melalui usaha-usaha produktif, kreatif, dan inovatif.
”Dengan dana desa dan alokasi dana desa, kami telah berupaya memberdayakan beberapa kelompok masyarakat dengan beternak ayam, kambing, dan sapi. Tetapi, begitu menerima bantuan, langsung digunakan untuk kebutuhan lain sehingga sasaran yang dituju tidak tercapai,” kata Mones.
Ia mengirim beberapa kelompok tani magang di luar NTT. Namun, setelah kembali ke Haliwen, pengalaman dan pengetahuan yang diperoleh tidak dikembangkan. Padahal, pemdes membekali modal usaha.
Mones berharap penataan perbatasan harus difokuskan pada upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat dan peningkatan sumber daya manusia di perbatasan. Peningkatan SDM terfokus pada membentuk warga lokal menjadi pengusaha dalam skala mikro, kecil, dan menengah.
Beberapa warga dari luar, seperti Sulawesi, Jawa, dan NTB, yang berusaha di perbatasan cukup sukses. Mereka menjual bahan pokok dan kebutuhan lain, termasuk bakso, mi goreng, dan gorengan. Jika pasar perbatasan beroperasi, mereka ini lebih sukses dibandingkan penduduk lokal.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana Kupang, John Tuba Helan, mengatakan, kasus korupsi yang sering terjadi di NTT selalu berkaitan dengan pengelolaan dana APBN. Dana itu dikelola langsung kementerian bersangkutan, tanpa melibatkan pemprov atau pemkab/pemkot.
Mereka mendatangkan rekanan dari luar NTT, yang tidak mengenal karakter budaya dan adat masyarakat di lokasi proyek. Proyek juga dikelola dengan tertutup.
”Kasus korupsi pembangunan Dermaga Pamakayo di Flores Timur dan Dermaga Bakalang di Pulau Baranusa, Kabupaten Alor, dengan total nilai Rp 43 miliar tahun 2016 bisa menjadi contoh. Selain itu, korupsi anggaran pembangunan sejumlah ruas jalan nasional yang ditangani langsung kementerian bersangkutan, dan korupsi pembangunan rumah murah bagi warga di perbatasan 2014/2015,” katanya.
Kasus-kasus korupsi ini terungkap setelah munculnya keluhan masyarakat mengenai proyek itu. Pada umumnya sarana dan prasarana yang dibangun tidak layak digunakan karena tidak sesuai bestek.