JAKARTA, KOMPAS— Konsep pemikiran Bapak Pendidikan Indonesia Ki Hadjar Dewantara tetap relevan dengan kondisi sekarang. Perlu penyadaran kembali masyarakat, terutama orangtua dan guru mengenai pemikiran KI Hadjar yang menekankan bahwa setiap anak itu unik.
"Pada intinya, prinsip pendidikan KI Hadjar Dewantara adalah budi pekerti yang bulat," kata peneliti Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan Iwan Syahril pada acara diskusi "Belajar dari Ki Hadjar" di Jakarta, Rabu (2/5/2018). Diskusi ini bertepatan dengan Hari Pendidikan Internasional.
Artinya, seorang manusia harus lengkap perkembangannya secara wawasan, perilaku dan sikap, serta jasmani. Kebulatan ini yang menghasilkan kebijaksanaan. Menurut Iwan yang juga Direktur Institut Penelitian dan Keefektivan Universitas Sampoerna menganalogikan pemikiran Ki Hadjar terkait tumbuh kembang anak seperti tata surya.
"Setiap planet berputar mengelilingi matahari pada jalur masing-masing. Setiap anak memiliki jalan sendiri-sendiri menuju tujuan universal, yakni kebijaksanaan," jelasnya.
Tugas guru ialah menuntun anak ke jalan tersebut. Iwan mengingatkan bahwa Ki Hadjar melihat anak tidak terlahir sebagai kertas kosong yang kemudian ditulisi sedemikian rupa oleh guru dan orangtua. Sebaliknya, anak terlahir dengan pola yang berbeda-beda. Pendidikan bertujuan menebalkan dan menerangkan pola tersebut untuk optimimalisasi anak.
"Guru tidak bisa mengubah kodrat seorang anak, tetapi bisa memupuknya agar menjadi versi terbaik diri anak itu," katanya. Oleh sebab itu, dibutuhkan guru yang mau terus belajar dan mengamati perkembangan anak, baik secara generasi maupun individual.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Taman Siswa Saur Panjaitan mengemukakan bahwa Ki Hadjar memercayai cara mendidik yang benar ialah membiarkan anak berjalan sendiri. Guru dan orangtua memantau dan siap menuntun apabila anak melenceng dari jalur.
"Jadi, anak tidak dilepas begitu saja. Tidak pula digandeng. Melainkan diberi pemahaman dan pembekalan pengetahuan, kemudian dirangsang untuk menjelajah hal-hal di sekitar mereka," kata Saur.
Tripusat pendidikan
Narasumber lain, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Totok Suprayitno menjabarkan bahwa pendidikan yang berhasil adalah kerja sama antara keluarga, sekolah, dan lingkungan yang dikenal sebagai tripusat pendidikan. Mencapai keseimbangan tersebut masih merupakan tantangan.
"Kemerdekaan lahir dan batin hanya bisa didapat dari pendidikan yang mengutamakan kreativitas dan karakter," ujarnya. Ia mengakui bahwa masih ditemukannya pengekangan otonomi dan kreativitas guru dalam mendidik di sekolah.
Sebagai contoh, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dan Kurikulum 2013 dirancang untuk memberi ruang guru mengembangkan materi sesuai kondisi di sekolah. Praktiknya masih harus banyak dipoles mulai dari pemahaman atas kurikulum dan aktivitas turunannya. Butuh banyak sosialisasi dan pelatihan guru untuk benar-benar bisa menjalankannya sesuai dengan cita-cita Ki Hadjar.
"Beberapa kabupaten/kota seperti Surabaya, Banyuwangi, dan Bondowoso bisa menjadi contoh positif berjalannya tripusat pendidikan serta kesinambungan pelatihan guru," ucap Totok.