JAKARTA, KOMPAS — Imam Besar Al-Azhar, Ahmad Muhammad Ath-Thayeb, menyerukan perlunya setiap Muslim menerapkan pandangan moderat dan mengutamakan persamaan daripada perbedaan. Sikap yang merasa benar sendiri dan mengafirkan orang lain atau menganggap orang lain tidak lebih Islam harus dihindari.
Pernyataan itu dikemukakannya saat bertemu dengan jajaran Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Rabu (2/5/2018) malam. Ath-Thayeb diterima Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj dan Sekretaris PBNU Helmy Faishal Zaini.
Hadir pula dalam pertemuan itu Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi, serta Duta Besar Indonesia untuk Mesir Helmy Fauzy.
Dalam pertemuan dan dialog yang berlangsung cair tersebut, Ath-Thayeb dan Said Aqil sepakat tentang Islam yang damai, toleran, dan moderat.
”Walaupun berbeda-beda, kita harus selalu kembali kepada persatuan, kembali kepada persamaan. Tidak boleh mengafir-ngafirkan orang lain. Tidak boleh mengafir-ngafirkan orang yang shalatnya sama dengan kita. Terlebih lagi, tidak boleh merasa benar sendiri atau merasa dirinya sebagai yang paling Islam,” katanya.
Al-Azhar menentang orang yang mengafirkan orang lain atau memonopoli kebenaran. Sikap fanatik yang dilakukan sejumlah penganut aliran atau mazhab tertentu berakar pada ketidakpahaman atau keawaman mereka terhadap agama.
Terhadap salah satu pertanyaan yang dikemukakan generasi muda NU, Guntur Romli, tentang pendirian khilafah Islamiyah, Imam Besar Al-Azhar mengembalikan hal itu kepada keinginan umat Muslim. Jika mayoritas Muslim menolak hal itu, akan menghabiskan waktu saja untuk memikirkan hal itu.
Ath-Thayeb mengatakan, dirinya lahir di daerah pariwisata dan sedari kecil melihat tamu dari Eropa dan berbagai tempat lain sehingga bisa belajar toleran dan legawa dalam melihat perbedaan.
Terlebih lagi ketika masuk Al-Azhar, Ath-Thayyeb belajar toleran, antara lain, dengan melihat kenyataan mengenai perbedaan cara-cara shalat di antara umat Muslim. Oleh karena itu, ia berharap orang Islam tidak terpecah belah dalam soal-soal khilafiyah (berbeda pandangan).
”Marilah kita menjadi masyarakat yang moderat dan menerima perbedaan,” ujarnya.
Said Aqil di sisi lain menjelaskan tentang Islam Nusantara yang berkarakter toleran dan damai sehingga bisa diterima dengan baik dan berkembang di Indonesia. Karakter cinta Tanah Air atau hubbul wathon menjadi keunikan NU.
Pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari, menyerukan kecintaan pada Tanah Air sebagai bagian dari iman atau hubbul wathon minal iman. Pancasila menjadi payung bagi paham Islam moderat yang dikembangkan oleh NU di Indonesia.
Dalam diskusi yang berlangsung sekitar satu jam itu, Imam Besar Al-Azhar juga menyepakati kerja sama berupa pemberian beasiswa kepada 80 orang.
Para penerima beasiswa itu diproyeksikan akan mengikuti studi berbagai ilmu, seperti kedokteran dan jurusan syariah.
Al-Azhar juga menjalin kerja sama dengan PBNU untuk melatih sejumlah imam selama dua bulan di sana serta memberikan pelatihan bahasa Arab.