JAKARTA, KOMPAS Fasilitas diagnosis penyakit asma di fasilitas kesehatan tingkat pertama masih amat terbatas. Begitu juga dengan ketersediaan obat pelega dan pengontrol asma. Hal itu mengakibatkan program rujuk balik tidak berjalan dan pasien tetap menumpuk di rumah sakit.
Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Agus Dwi Susanto mengatakan hal itu, saat jumpa pers memeringati Hari Asma Sedunia, di Jakarta, Senin (30/4/2018). Hari Asma Sedunia diperingati tiap 1 Mei. Hari Asma tahun ini memiliki tema “Tidak Pernah Terlalu Dini, Tak Pernah Terlalu Terlambat", (Ini Selalu Waktu Tepat Menangani Penyakit Saluran Pernapasan).
Diagnosis asma memerlukan spirometri untuk mengukur fungsi paru. Kini alat itu baru tersedia di rumah sakit. Jumlah puskesmas yang memiliki spirometri amat terbatas. Akibatnya, penegakan diagnosis dan terapi asma harus dilakukan di rumah sakit.
Ketika rujuk balik dilakukan dari RS ke puskesmas, obatnya kerap tak ada. Padahal, obat lini pertama untuk asma harus ada. Akibatnya, setelah serangan asma reda, pasien harus mengambil obat ke RS. Padahal, puskesmas sebagai fasilitas kesehatan tingkat pertama seharusnya bisa mendiagnosis dan rujuk balik asma.
Terapi inhalasi
Ketua Bidang Ilmiah dan Penelitian PDPI, Andika Chandra Putra, menambahkan, terapi terbaik mengatasi asma ialah inhalasi. Tak semua fasilitas kesehatan primer memilikinya.
Agus mengatakan, saat ini ada sekitar 300 juta penderita asma di seluruh dunia. Penyakit ini menyebabkan lebih kurang 250.000 kematian setiap tahunnya yang mayoritas berasal dari negara dengan kemampuan ekonomi lemah hingga sedang.
Perubahan gaya hidup dan polusi udara kian buruk di negara berkembang menyebabkan prevalensi penyakit asma meningkat. Menurut Riset Kesehatan Dasar 2013, prevalensi asma di Indonesia 4,5 persen dengan jumlah kumulatif 11,2 juta penderita. Asma berpengaruh pada disabilitas dan kematian dini, terutama di kelompok umur 1-14 tahun dan lansia 75-79 tahun.
Saat ini asma termasuk 14 besar penyakit penyebab disabilitas di dunia. “Asma termasuk lima besar penyakit paru terbanyak di dunia bersama dengan tuberkulosis, pneumonia, Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK), dan kanker paru,” kata Agus.
Asma termasuk lima besar penyakit paru terbanyak di dunia bersama dengan tuberkulosis, pneumonia, Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK), dan kanker paru.
Menurut Guru Besar Pulmonologi dan Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Wiwien Heru Wiyono, asma tak bisa disembuhkan, tapi dapat dikontrol. Agar kekambuhannya bisa diantisipasi, faktor pencetusnya perlu dikenali antara lain, alergen, perubahan cuaca, zat kimia atau obat, aktivitas berlebihan, polusi udara, asap rokok, dan emosi berlebihan.
Ada dua mekanisme asma terjadi pada seseorang, yakni melalui radang kronis atau inflamasi saluran napas dan saluran napas hipersensitif pada rangsangan. Keduanya menyebabkan saluran napas menyempit.
Seseorang yang terserang asma mengalami sesak napas, dada terasa berat, dan batuk. Meski begitu, asma dapat hilang secara spontan atau dengan obat. Saat terjadi serangan asma, perlu terapi untuk menghilangkan penyempitan saluran napas secepat mungkin, meningkatkan kadar oksiden, memulihkan fungsi paru, dan mencegah kekambuhan.
Saat pasien asma tak mengalami gejala, tidak ada keterbatasan aktivitas akibat asma, fungsi paru normal, dan pemakaian obat pelega napas minimal, itu berarti asma terkontrol.