Pemanfaatan Areal Budidaya Rumput Laut Baru Capai 2,25 Persen
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemanfaatan areal budidaya rumput laut baru mencapai 2,25 persen dari total potensi yang dimiliki Indonesia. Mayoritas areal budidaya terdapat di wilayah timur Indonesia, yang jumlah sumber daya manusianya terbatas sehingga pengembangan rumput laut belum mampu mencapai target.
Direktur Produksi dan Usaha Budidaya, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan Umi Windriani di Jakarta, Senin (30/4/2018), mengatakan, pemanfaatan areal budidaya rumput laut nasional baru mencapai 267.814 hektar. Pemanfaatan areal tersebut masih bisa ditingkatkan karena baru 2,25 persen dari total potensi indikatif kawasan budidaya laut, yaitu 12,12 juta hektar.
”Budidaya kebanyakan dilakukan di wilayah timur Indonesia, seperti Sulawesi, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Nusa Tenggara Barat (NTB),” kata Umi dalam diskusi bertajuk ”Peluang Usaha Rumput Laut yang Berkelanjutan di Indonesia” di Jakarta.
Dalam diskusi tersebut, hadir pula Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Bidang Kelautan dan Perikanan Yugi Prayanto, Ketua Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) Rokhmin Dahuri, dan Ketua Umum Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI) Safari Azis, dan pelopor budidaya rumput laut Indonesia Hariadi Adnan. Hadir pula beberapa pengusaha yang memanfaatkan rumput laut sebagai bahan baku.
Umi melanjutkan, beberapa wilayah yang menjadi sentra budidaya rumput laut antara lain NTT, Sulteng, NTB, Sultra, dan Maluku. Selain itu, pusat budidaya juga terdapat di Jawa Timur, Kalimantan Utara, dan Bali.
Hariadi Adnan, yang memelopori budidaya rumput laut di Indonesia sejak 1967, mengatakan, wilayah timur Indonesia memiliki tingkat kandungan garam air laut atau salinitas yang lebih tinggi ketimbang wilayah barat Indonesia. Oleh karena itu, pembudidayaan di sana lebih banyak dan kualitas rumput laut yang dihasilkan lebih baik.
”Rumput laut bisa juga dibudidayakan di wilayah barat Indonesia, tetapi karena salinitasnya lebih rendah, rumput laut yang dibudidayakan tidak bagus, baik secara kualitas maupun kuantitas,” ujar Hariadi.
Meski rumput laut dapat tumbuh dengan baik di wilayah timur Indonesia, pengembangannya tidak optimal. Sebab, kata Hariadi, jumlah sumber daya manusia (SDM) di sana relatif sedikit. Tidak banyak orang yang bisa konsisten untuk membudidayakan rumput laut.
Contohnya, di Pantai Terora, Nusa Dua, Bali, budidaya dilakukan sejak 1975. Selama tiga tahun, budidaya yang dilakukan masyarakat itu berhasil memproduksi 81 ton rumput laut kering untuk diekspor. Namun, memasuki 2000, usaha itu berangsur menurun lalu menghilang karena warga lebih memilih untuk berbisnis hotel.
Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, produksi rumput laut terus menurun sejak 2015. Pada 2015, produksi mencapai 11,26 juta ton, kemudian menjadi 11,05 juta ton pada 2016, dan turun kembali pada 2017 menjadi 10,81 juta ton.
Jumlah produksi itu pun tidak pernah mencapai target. Menurut Umi, target produksi rumput laut secara nasional pada 2016 adalah 11,10 juta ton dan pada 2017 adalah 13,39 juta ton. Sementara itu, target pada 2018 adalah 16,17 juta ton dan 19,54 juta ton pada 2019.
Selain pemanfaatan areal budidaya, pemanfaatan keragaman jenis rumput laut juga belum optimal. Ketua Umum Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI) Safari Azis mengatakan, dalam Ekspedisi Siboga ditemukan 555 jenis rumput laut di Indonesia. Pada 2014, jumlah itu semakin bertambah menjadi 201 spesies rumput laut hijau, 138 spesies rumput laut coklat, dan 452 spesies rumput laut merah.
Meski demikian, sejak dilakukan pada 1967 hingga saat ini, baru tiga jenis rumput laut yang dibudidayakan. Jenis itu adalah Eucheuma cottonii, Eucheuma spinosum, dan Gracilaria verrucosa. ”Sampai saat ini belum ada penelitian lagi yang mengungkap kandungan di dalam jenis rumput laut lain,” ujar Safari.
Potensi besar
Meski pemanfaatan areal dan penelitian jenis rumput laut masih minim, produksi rumput laut Indonesia mendominasi pasokan rumput laut dunia. Berdasarkan data Organisasi Pangan Dunia (FAO) pada 2017, sepuluh negara penghasil rumput laut terbesar di dunia adalah China (50,1 persen), Indonesia (34,6 persen), Filipina (5,8 persen), Korea Selatan (4,2 persen), Korea Utara (1,7 persen), dan Jepang (1,6 persen). Selain itu, Malaysia (1 persen), Tanzania (0,4 persen), Vietnam (0,3 persen), dan Denmark (0,1 persen).
Ketua Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) Rokhmin Dahuri mengatakan, rumput laut semestinya bisa menjadi komoditas unggulan dan strategis. Indonesia memiliki beberapa keunggulan, salah satunya memiliki jumlah produksi terbesar di dunia. Di samping itu, pembudidayaan rumput laut bisa dilaksanakan dengan mudah karena teknologi yang digunakan sederhana, modal kerja mulai dari Rp 50 juta, dan masa panen cepat, yaitu sekitar 1,5 bulan.
Menurut Rokhmin, pengembangan budidaya rumput laut bisa menjadi salah satu alternatif dalam menyelesaikan masalah pengangguran di Indonesia. Sebab, pertumbuhan ekonomi sebesar lima persen hanya dapat menghasilkan 200.000 tenaga kerja per satu persen pertumbuhan.