Media Sosial Jadi Saluran Utama Perdagangan Satwa Liar
Oleh
Ayu Pratiwi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Penggunaan platform media sosial untuk memperjualbelikan tumbuhan dan satwa liar secara ilegal semakin marak. Perdagangan seperti itu memiliki nilai ekonomi tinggi, namun konsep perlindungan tumbuhan dan satwa liar belum dipahami sebagian masyarakat.
Komisaris Besar (Pol) Adi Karya Tobing, Kepala Subdirektorat I Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri mengatakan, perdagangan ilegal satwa liar sering menggunakan platform media sosial dengan akun anonim sehingga menghambat pelacakan atas pelakunya.
"Sekarang, jual beli secara orang ke orang jarang. Yang profesional menggunakan modus lebih canggih, seperti melalui platform media sosial," kata Adi, Senin (30/4/2018), Jakarta.
Saat ini, pihak kepolisian memonitor secara aktif 40 grup media sosial. Sebagian besar grup itu, ungkap Adi, ditemukan di Facebook. Selain itu, ada pula sejumlah individu dalam media sosial yang melakukan perdagangan itu secara ilegal. Pada 2018, sudah ada tujuh kasus yang ditangani.
Grup itu bisa ditemukan dengan mudah di platform media sosial dengan menggunakan kata kunci yang simpel, seperti "jual elang". Di Facebook, salah satu grup yang muncul dari pencarian kata kunci itu memiliki 17.611 anggota.
Elang, salah satu binatang yang terdaftar dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Jenis-Jenis Tumbuhan dan Satwa yang dilindungi, ditemukan saat Kompas menelusuri halaman situs grup itu pada Senin (30/4/2018) sore.
Selama tiga tahun terakhir, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat 187 kasus terkait tumbuhan dan satwa liar (TSL) yang sudah ditangani dengan menyita 12.966 satwa dan 10.233 bagian satwa sebagai barang bukti. Kejahatan itu meliputi kepemilikan, perburuan, dan perdagangan ilegal.
Untuk mengantisipasi modus perdagangan ilegal yang semakin canggih itu, Adi mengatakan, pihaknya kerja sama dengan KLHK untuk melakukan cyber patrol. Mereka juga menggunakan peralatan dari Cyber Crime Bareskrim Polri untuk melakukan pemetaan dan penanganan lainnya.
Nilai ekonomi
Perdagangan satwa liar memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan memperkirakan, nilai transaksi hasil kejahatan itu melebihi Rp 13 triliun per tahun dan terus meningkat.
Permintaan tumbuhan dan satwa liar itu berasal dari dalam juga luar negeri. Achmad Pribadi, Kepala Sub Direktorat Pencegahan dan Pengamanan Hutan Wilayah Jawa dan Bali KLHK mengatakan, dalam negeri, pembelian satwa liar itu biasanya untuk dipeliharakan. Di luar negeri, satwa liar digunakan sebagai bahan untuk membuat obat atau bahan tekstil.
Akibat nilai ekonomi yang tinggi serta dampaknya kepada lingkungan, kejahatan satwa liar kini menduduki peringkat ketiga di Indonesia setelah kejahatan narkoba dan perdagangan manusia.
United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) memasukkan kejahatan satwa liar dalam kategori kejahatan transnasional yang terorganisir dan kejahatan serius (serious crime).
Edukasi masyarakat
Enny Sudarmonowati, Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan, sebagian masyarakat belum mengetahui bahwa sejumlah TSL itu dilindungi karena jumlah populasinya terancam dan dilarang diperjualbelikan.
Untuk itu, LIPI kerja sama dengan KLHK untuk mengedukasi masyarakat dengan memajang sejumlah barang sitaan hasil kejahatan TSL di Museum Nasional Sejarah Alam Indonesia. “Agar masyarakat tahu, binatang ini dilindungi loh,” ujar Enny.
Achmad menambahkan, strategi komunikasi yang lebih sistematis perlu dilakukan untuk menyadarkan masyarakat mengenai pentingnya melestarikan tumbuhan dan satwa yang dilindungi itu.
Sanksi dianggap kurang
Perdagangan ilegal dan tindakan pidana lain berkaitan dengan tumbuhan dan satwa yang dilindungi diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pada Pasal 40 UU 5/1990, sanksi pidana itu berupa penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp 100 juta.
Achmad mengatakan, adanya kebutuhan untuk merevisi aturan perundang-undangan itu sejak sekitar tiga tahun lalu karena dianggap kurang.
Saat ini, pihaknya sedang menjalani proses drafting. Perlunya waktu memperbaiki aturan itu diakibatkan oleh konsepnya yang kompleks dan adanya sejumlah pihak dengan isu-isu berbeda yang terlibat.