Kematian Warga Sumba Jadi Masalah, Polisi Harus Terbuka
Oleh
Kornelis Kewa Ama
·4 menit baca
WAIKABUBAK, KOMPAS — Kematian Poro Duka (40), warga Desa Patiala Bawah, Kecamatan Lamboya, Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, 25 April 2018, saat menggelar aksi protes pengukuran lahan di desa itu masih menjadi soal. Polisi harus menjelaskan secara transparan sebab kematian Poro Duka.
Ahli forensik dilaporkan sedang mendalami kematian Poro Duka. Sampai Senin (30/4/2018), belum ada kesimpulan apa penyebab kematian Poro Duka. Namun, ada dugaan telah terjadi salah prosedur dalam penanganan oleh aparat kepolisian di lapangan meski hal itu dibantah polisi.
Pihak keluarga korban menegaskan, saat otopsi jenazah korban di RSUD Waikabubak ditemukan proyektil peluru di tubuh korban. Bukti tentang ada kesalahan prosedur dalam penanganan aksi protes terlihat pada korban luka serius yang terkena tembakan di bagian kaki, yakni Markus Pati Duka (34).
Kepala Kepolisian Resor Sumba Barat Ajun Komisaris Besar Gusti Maycandra Lesmana dihubungi per telepon dari Kupang, Senin (30/4/2018) mengatakan, sampai hari ini hasil otopsi terhadap korban, Poro Duka, belum disimpulkan.
Pihak yang menyimpulkan hasil otopsi itu hanya orang ahli yang memiliki kompetensi di bidang itu.
”Kita masih tunggu hasil kesimpulan tertulis dari ahlinya. Saya tidak bisa menyimpulkan hasil otopsi penyebab kematian korban. Apakah itu dari proyektil peluru? Tetapi proyektil itu tidak ditemukan di dalam tubuh korban,” kata Gusti.
Gusti mengatakan, polisi bertugas di lapangan untuk menjaga obyek vital dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Sumba Barat, Rabu (25/4/2018), sesuai prosedur tetap dan standar operasional di lapangan.
Anggota Polres Sumba Barat dan anggota Brimob bertugas saat pengukuran lahan oleh perusahaan dan warga. Mereka sudah dibekali dengan pengetahuan dasar bagaimana menghadapi massa.
Standar prosedur operasi yang dikeluarkan Kepala Kepolisian RI sudah jelas dan telah dijabarkan kepada semua anggota kepolisian. Bagaimana mereka menghadapi kerusuhan, sampai rusuh, yakni tembakan peringatan tiga kali ke udara dengan peluru hampa, menembakkan gas air mata ke arah massa, dan menggunakan peluru karet. Ini prosedur baku kepolisian.
Namun, Gusti tidak mau menjelaskan lebih rinci peristiwa kematian Poro Duka itu, termasuk soal adanya luka tembak yang dialami Markus Pati Duka. Gusti berharap, semua pihak menunggu hasil tertulis yang disimpulkan ahli forensik dan ahli proyektil peluru.
Meski otopsi sudah dilakukan empat hari lalu, membaca dan menyimpulkan hasil otopsi butuh ketelitian dan harus oleh ahli. Itu bukan kewenangannya.
Gusti mengatakan, dugaan awal kematian Poru Duka akibat proyektil peluru tajam, tetapi hasil otopsi belum sampai pada kesimpulan itu. Dia menjawab secara diplomatis atas pertanyaan terkait kematian akibat peluru itu.
”Tetapi, kalau Anda diserang massa dengan menggunakan senjata tajam dan dilempari batu oleh massa bertubi-tubi, apa yang harus Anda lakukan. Coba Anda jawab,” tanya Gusti kepada Kompas yang menghubungi melalui ponsel.
Pengacara korban, Petrus Patiala, mengatakan, penyataan Polres Sumba Barat harus dibuktikan. Otopsi korban harus transparan dan jangan membodohi masyarakat yang tanahnya terampas untuk pengusaha. Jika dikatakan tidak ditemukan proyektil peluru di dalam tubuh korban, itu jelas bohong beasar.
”Itu bohong total. Nanti saya putar ulang pernyataan bapak Luther Laku Nija, ayah korban di hadapan polisi. Bapak Luther Laku Nija yang menyaksikan langsung seluruh proses otopsi itu,” ujar Petrus.
Peristiwa kematian dan dugaan penembakan itu terjadi pada Rabu, 25 April, saat anggota Polres Sumba Barat dan anggota Brimob melakukan pengamanan atas pengukuran tanah seluas 50 hektar (ha) di Desa Patiala Bawah, milik salah satu perusahaan.
Pada Rabu (25/4/2018), pukul 10.00 Wita, aparat mendampingi petugas BPN Sumba Barat melakukan pengukuran lahan milik salah satu perusahaan. Pengukuran disaksikan langsung Kepala Badan Pertanahan Camat Lamboya, Kepala Desa Patiala Bawah, dan pihak perusahaan dengan kuasa hukumnya.
Tanah untuk hotel
Pengukuran terhambat karena adanya protes sejumlah warga. Mereka meminta dihadirkan Umbu Samapati alias Umbu Kupang karena ia sebagai pihak pertama yang melakukan transaksi jual beli dari masyarakat pada tahun 1994.
Dalam perjanjian itu antara lain disebutkan, perusahaan segera membangun hotel dan mempekerjakan warga lokal dan tanah itu akan dikembalikan kepada warga jika sampai batas waktu lima tahun, terhitung sejak perjanjian itu, hotel tidak dibangun.
Warga juga minta legalitas kepemilikan tanah oleh pihak perusahaan saat ini. Sebab, ada beberapa kapling tanah yang belum terjual tahun 1994, tapi diklaim perusahaan. Mereka juga minta kejelasan dari setiap bidang tanah itu karena bidang 1 dan 2 dinyatakan telantar, sementara bidang 3-7 disebutkan terindikasi telantar. Sementara bidang 1-7 memiliki izin prinsip satu paket, disertai surat keputusan dari BPN pusat.
Salah satu pengunjuk rasa, Siprianus Djari, mengatakan sempat dianiaya aparat kepolisian karena berusaha merekam tindak kekerasan aparat kepolisian terhadap warga saat pengukuran lahan. Aksi ini kemudian berujung kericuhan antara masyarakat dan polisi.