Jakartamu Belum Jadi Jakartaku
Helaan napas Sofia Muchtar (54) terasa amat berat. Suara napas yang berembus lewat kedua mulutnya terdengar hingga radius 1 meter. Wajahnya tertunduk lalu diangkat perlahan. Ia kecewa.
Di atas kursi roda, ia masih memegang kartu uang elektronik (e-money) bergambar wajahnya sambil memandangi wajah petugas penjaga pintu pemindaian tiket di Stasiun Manggarai, Jakarta, Minggu (29/4/2018). Petugas melarangnya masuk stasiun lewat gerbang yang dilalui calon penumpang lain.
”Yah, ternyata tidak boleh langsung lewat,” kata Sofia.
Dia pun memutar ban kursi roda dan mengarahkannya untuk berjalan sekitar 2 meter ke pintu masuk manual. Menunggu sekitar 5 menit, hingga petugas membukakan pintu.
Hari ini memang sudah ditunggu-tunggu oleh dia. Perempuan tunadaksa itu telah merancang agenda perjalanan ke Taman Spatodhea, Jakarta Selatan, bersama rekan-rekan sesama penyandang disabilitas dan simpatisan nondisabilitas yang tergabung dalam komunitas Wisata Jakarta Bebas Hambatan (Jakarta Barrier Free Tourism/JBFT).
Pagi-pagi benar ia sudah diantar suami dari Pondok Cabe, Tangerang Selatan, Banten, menuju Manggarai menggunakan sepeda roda tiga.
Sesampainya di stasiun, kekecewaan demi kekecewaan menghampiri Sofia. Sebelum penolakan penjaga pintu, ia juga sudah kecewa karena tidak bisa membawa kursi rodanya menaiki trotoar yang menghubungkan jalan dengan lobi utama stasiun.
Di antara jalan dan trotoar tidak ada ramp yang memungkinkan kursi rodanya melintas. Beruntung, ia bertemu rombongan peserta wisata sehingga ada yang bisa mengangkat roda depan lalu mendorong kursinya melewati trotoar.
”Kalau tidak didorong orang, saya tidak akan bisa masuk stasiun,” ujar Sofia.
Sesudah masuk di stasiun, sementara ratusan orang lalu lalang di setiap peron, Sofia justru bingung. Untuk menuju peron, setiap calon penumpang idealnya melewati jalur bawah tanah.
Namun, ia tidak bisa melewatinya karena harus menuruni tangga yang tingginya sekitar 2,5 meter dengan sudut 50 derajat. Oleh karena itu, ia terpaksa menunggu untuk menyeberang di pinggir rel dengan mengandalkan rekan anggota JBFT lain mendorong kursinya menuju peron.
Kebingungan di dalam stasiun tidak hanya dialami Sofia, tetapi juga oleh Annisa Rahmania (25). Dia tidak mampu menemukan informasi visual mengenai arah dan lokasi kereta rel listrik (KRL) dengan cepat. Pandangannya ke layar yang memuat informasi itu teralihkan dengan layar-layar iklan yang ukurannya jauh lebih besar.
Begitu juga ketika dia dalam kereta. Annisa tidak bisa mendengar informasi pergerakan kereta yang diulang-ulang setiap sampai di stasiun.
"Beberapa waktu lalu, saya pernah tersesat, turun di stasiun yang salah, harusnya di Sudirman malah ke Sudimara," kata Annisa dengan bahasa isyarat.
Sementara itu, koordinator JBFT Trian Airlangga kaget saat turun dari KRL jurusan Bogor di Stasiun Lenteng Agung. Ia yang relatif mahir berjalan dengan petunjuk tongkat hampir jatuh karena blok penunjuk jalan (guiding block), blok kuning dengan tanda elips panjang, di peron tidak dipasang dengan benar.
Salah satu jalur guiding block berakhir di depan sebuah tiang. ”Seharusnya blok peringatan (warning block), yaitu blok kuning dengan tanda bulat, dipasang 1 meter sebelum tiang,” kata Trian.
Stigma
Selain hambatan dalam mengakses infrastruktur, pandangan masyarakat terhadap penyandang disabilitas juga belum hilang.
Di pintu keluar Stasiun Lenteng Agung, rombongan JBFT yang terdiri dari 2 pengguna kursi roda, 1 tunanetra, 1 tunarungu, dan 4 simpatisan nondisabilitas tidak bisa menemukan zebra cross untuk menyeberang jalan. Demi keamanan, mereka memutuskan menaiki jembatan penyeberangan orang (JPO).
Namun, JPO setinggi lebih dari 3 meter itu amat curam. Lebarnya pun hanya sekitar 1 meter. Oleh karena itu, dua simpatisan nondisabilitas harus mengangkat para tunadaksa sekaligus kursi rodanya dengan syarat tidak ada pengguna JPO yang berjalan dari arah berlawanan.
Ulfa, salah satu simpatisan nondisabilitas, mencoba menghalau pengguna JPO lain. Namun, usahanya tidak langsung berhasil. Berkali-kali warga menolak permintaannya. Bahkan, ada warga yang justru memarahinya.
”Sudah tahu pakai kursi roda, kenapa harus lewat JPO, lebih baik lewat jalan di bawah, lalu minta bantuan untuk memberhentikan semua kendaraan yang lewat,” kata Ulfa menirukan salah seorang warga.
Meski mendapat banyak tantangan, rombongan tetap mengangkat Sofia untuk menyeberang lewat JPO. Ia yang berbobot sekitar 50 kilogram dengan tinggi 145 sentimeter itu berulang kali memejamkan mata lalu membukanya kembali sepanjang perjalanan. Wajahnya meringis. Bibirnya kelu. ”Perut saya sampai kram karena sangat takut,” kata Sofia.
Selain itu, sopir mikrolet M17 jurusan Lenteng Agung-Pasar Minggu yang mengantarkan rombongan menuju Taman Spatodhea pun mengeluh. Menurut dia, tidak semestinya penyandang disabilitas pergi seorang diri. Jika tidak dalam posisi ngetem, ia tidak akan menaikkan penumpang berkursi roda.
”Perjalanan ini sengaja kami lakukan untuk mengedukasi masyarakat bahwa kami juga bagian dari mereka yang harus dipenuhi haknya. Kami juga ingin menembus masalah utama yang kami hadapi, yaitu persoalan infrastruktur dan stigma masyarakat,” kata Trian.
Menurut Trian, penyandang disabilitas distigmakan sebagai kaum yang lemah. Selalu membutuhkan pertolongan dan tidak bisa mandiri. Padahal, mereka memiliki kemampuan yang sama dengan nondisabilitas, misalnya dalam hal pekerjaan.
Trian sendiri merupakan karyawan perusahaan otomotif, dosen di perguruan tinggi swasta, dan penulis buku. Sementara itu, Sofia bekerja sebagai sekretaris di kantor notaris.
Perjalanan JBFT kali ini merupakan perjalanan ke-41. Sejak didirikan pada 2012, komunitas ini rutin mengadakan perjalanan setiap bulan. Mereka mengunjungi berbagai ruang publik dan selalu menggunakan transportasi umum.
Sebelumnya, mereka pernah mengunjungi Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Taman Impian Jaya Ancol, aneka bioskop, tempat karaoke, dan bepergian ke Bandung, Jawa Barat.
Trian mengatakan, Taman Spatodhea dikunjungi karena mereka mendengar kabar taman itu akan dijadikan percontohan aksesibilitas. Namun, kondisinya tidak berbeda dengan fasilitas publik lain.
Taman dengan kontur tanah yang naik turun itu sulit dilewati para pengguna kursi roda. Pemasangan paving block di seluruh taman juga tidak rata.
Selain itu, tidak ada guiding block dan warning block. ”Kami sudah pernah jalan-jalan antara lain ke Taman Surapati, Taman Menteng, Taman Kodok, dan Taman Lansia, hampir seluruhnya juga tidak ada guiding block dan warning block,” kata Trian.
Belum optimal
Kepala Subbagian Rehabilitasi Sosial, Biro Kesejahteraan Sosial, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Bambang Sugianto mengatakan, pihaknya melakukan monitoring dan evaluasi terhadap fasilitas publik setiap tahun.
Adapun tempat-tempat tersebut adalah gedung pemerintahan, trotoar, jalan raya, taman, tempat pemakaman umum (TPU), dan ruang publik terpadu ramah anak (RPTRA).
”Hasil monitoring dan evaluasi kami sejak 2014, secara keseluruhan aksesibilitas di ruang publik memang masih jauh dari harapan, masih butuh pembenahan,” kata Bambang.
Ia menambahkan, sejak saat itu hingga sekarang, peningkatan signifikan baru terjadi pada trotoar. Sayang, kewenangannya terbatas untuk memantau dan merekomendasikan hasilnya kepada satuan kerja perangkat daerah (SKPD) terkait.
Trian berharap pembangunan infrastruktur kota hendaknya memenuhi kebutuhan semua pihak. Dalam hal aksesibilitas, penyandang disabilitas semestinya dilibatkan sejak tahap pewacanaan, pembangunan, hingga evaluasi.
Kota yang memenuhi kebutuhan disabilitas sejatinya juga memenuhi kebutuhan secara universal. Terlebih, kota memang bukan hanya milik segelintir pihak, melainkan milik semua yang ada di dalam naungannya.