Cemas dan Asa Pedagang Kemiri Muka
Pasar Kemiri Muka memiliki berkah sebagai pasar terbesar di Kota Depok. Namun, sinar kejayaan meredup karena berlarutnya konflik hak pengelolaan pasar. Sebab, dokumen hukum penyerahan lahan pasar dari Pemkab Bogor ke Pemkot Depok, tidak lengkap.
Dua laki-laki, Kamis (26/4/2018) pagi duduk di belakang dua meja terpisah dalam ruang berukuran sekitar 3 meter x 6 meter. Seorang diantaranya, Suyadi (43), sedang menghitung lembar-lembar uang kertas yang dikumpulkan menjadi beberapa gepok. Seorang lagi, Karno Sumardo (78), tengah duduk sembari menerima sejumlah tamu yang datang bergantian.
Di hadapan mereka, dua orang perempuan muda memeriksa sejumlah dokumen. Keduanya terbenam dalam tumpukan kertas-kertas kerja, sebagian di antaranya berupa potongan-potongan dengan bentuk seperti bukti pembayaran.
Kipas angin menderu dari salah satu bagian dinding. Angin mengusir hawa panas dan terkadang juga asap rokok, keluar menuju padatnya jejeran kios-kios Pasar Kemiri Muka yang langsung berhadapan dengan udara terbuka.
Tak lama, dua petugas keamanan pasar masuk. Mereka memberi salam takzim, setengah mencium tangan Karno. Lelaki asal Ponorogo, Jawa Timur yang disapa pakdhe oleh para tetamunya itu adalah Ketua Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia Komisariat Kemiri Muka.
Pakde Karno juga penanggung jawab Paguyuban Budi Luhur. Organisasi sosial yang menghimpun seluruh elemen dalam pasar tersebut. Belakangan, ia juga didapuk sebagai Ketua Gabungan Pedagang Pasar Kemiri Muka.
Dua petugas keamanan tadi melapor pada Karno. Para pedagang sedang dilanda kecemasan. Jumlah pembeli berkurang. Sebagian sudut pasar yang berlokasi di Kecamatan Beji, Kota Depok itu, sepi. Omzet merosot.
“Itu urusan bisnis,” sergah Karno yang tidak menunjukkan sedikitpun tanda-tanda telah berusia tua.
Namun salah seorang petugas itu buru-buru menjelaskan konteksnya. Ini terkait dengan upaya eksekusi delegasi putusan Pengadilan Negeri Bogor oleh Pengadilan Negeri Depok, Jawa Barat terkait pengelolaan pasar tersebut pada Kamis (19/4/2018). Eksekusi itu ditunda hingga batas waktu yang belum ditentukan.
Petugas itu segera menunjukkan surat pemberitahuan yang ditandatangani Kepala UPT Pasar Kemiri Muka Sabenih. Surat itu meminta agar pedagang, konsumen, dan pihak-pihak lain agar tetap melakukan aktivitas jual beli, distribusi, dan simpan pinjam. Karno membacanya. Segera sesudahnya, ia mengiyakan agar pengumuman itu ditempel di sejumlah titik dalam pasar.
Beberapa saat kemudian, selebaran pengumuman itu sudah tertempel di sebagian sudut pasar. Efeknya diharapkan bisa memberikan ketenteraman.
Seorang penjaga Toko Mas Subur di bagian dalam pasar tersebut, mengatakan bahwa upaya eksekusi cenderung terus berulang dalam beberapa tahun terakhir. Toko emas yang dikelola Aychen itu termasuk mengalami dampak pada saat eksekusi terakhir bakal dilakukan.
Orang-orang yang sebelumnya membeli emas di toko tersebut datang mengerubung. Mereka hendak menjual kembali berbagai perhiasan emas yang sebelumnya dibeli.
Penjualan kembali dilakukan karena orang-orang khawatir toko emas tersebut bangkrut. Menjual kembali emas yang sudah dibeli, selain di toko pembelian sebelumnya, dikhawatirkan bakal membuat harga jualnya melorot drastis.
“Jadi, orang jual, yang beli nggak ada,” katanya.
Aychen bahkan sempat kehabisan uang tunai untuk membeli kembali emas-emas tersebut. “Kira-kira aset apa nih yang cepet (dijual). Ya udah, mau nggak mau (jual) mobil,” ujarnya.
Kecemasan senada tampak pula pada Kusnan (50) yang berdagang kelontong dan sebagian kebutuhan sekolah. “(Omzet) turun sekitar 30 persen," katanya.
Pasangan suami istri Salum (55) dan Waibah (50) mengutarakan hal serupa. Mereka sehari-hari berdagang sembilan bahan kebutuhan pokok seperti beras, gula, telur, dan sebagainya.
Pasar terbesar
Pasar Kemiri Muka dapat dikategorikan sebagai pasar induk di Kota Depok. Seperti dikutip dari laporan Kota Depok Dalam Angka 2017 yang diterbitkan Badan Pusat Statistik Kota Depok, Pasar Kemiri Muka terdiri atas 600 kios, 480 los, dan 672 tempat pedagang kaki lima.
Jumlah seluruh kategori ini lebih besar dibandingkan Pasar Cisalak, Tugu, Musi, dan Sukatani di Depok. Adapun Pasar Agung di Depok tercatat memiliki lebih banyak jumlah kios yakni 772 unit, namun hanya memiliki 480 los dan tidak ada tempat bagi pedagang kali lima.
Gabungan dari enam pasar menghasilkan kios sebanyak 2.517 unit, dengan 600 di antaranya berada di Pasar Kemiri Muka. Sedangkan jumlah los total adalah 1.741 unit yang 480 di antaranya berada di Kemiri Muka. Adapun jumlah total lokasi pedagang kaki lima dari enam pasar tersebut adalah 1.063 titik dengan 672 di antaranya berada di Kemiri Muka.
Pasar Kemiri Muka itu kini berada di tengah kepungan mal dan apartemen yang mengelilingi sebagian pasar.
Nama Kemiri Muka diambil dari nama kelurahan. Pasar itu dibangun sejak tahun 1987 oleh pihak swasta yakni PT Petamburan Jaya Raya. Luasnya 28.916 meter persegi, atau hampir 3 hektar.
Pasar ini beroperasi pada 1989. Pedagang di sini sebagian di antaranya berasal dari pindahan pasar tradisional yang digusur dari Jalan Dewi Sartika, Depok.
Sebagian pedagang membeli kios dengan cara mengangsur. Namun menurut Karno, pada 1996, pihak swasta seakan tidak lagi menunjukkan keberadaannya di pasar tersebut. Keberadaan sejumlah hal mendasar seperti akses jalan dan saluran air sempat dipertanyakan pedagang.
Pada 24 Agustus 2005 malam, si jago merah mengamuk di pasar itu. Sejumlah 592 kios dan los terbakar. Tiga dari enam blok musnah. Pembangunan kembali dilakukan Pemkot Depok.
Hak pengelolaan
Berdasarkan catatan Kompas, Gugatan hukum atas hak pengelolaan pasar tersebut mulai terjadi, dengan putusan Pengadilan Negeri (PN) Bogor yang memenangkan pihak swasta.
Gugatan di PN Bogor ini muncul karena sebelum Depok ditetapkan sebagai kota (dahulu kotamadya) pada 1999, wilayah ini termasuk kawasan administratif Kabupaten Bogor.
“Putusan PN Bogor itu sudah berkekuatan hukum tetap (inkraacht), perkara tahun 2009,” ujar Ketua Pengadilan Negeri Depok, Sobandi pada Kamis (19/4/2018).
Hal ini menyusul upaya banding yang dilakukan kemudian oleh Pemkot Depok di tingkat Pengadilan Tinggi Jawa Barat, dan kembali dimenangkan pihak swasta. Bahkan upaya kasasi pada 2011 dan peninjauan kembali di Mahkamah Agung pada 2013 juga tetap dimenangkan pihak swasta, seperti tertera di laman mahkamahagung.go.id perihal putusan Nomor 476 PK/Pdt/2013 pada proses peninjauan kembali. Amar putusan itu disertai catatan, menolak permohonan peninjauan kembali dari pemohon peninjauan kembali yakni Pemerintah Kotamadya Depok, Bogor.
Berlarut-larutnya penyelesaian atas hal inilah yang membuat kecemasan terus menghantui pedagang. Rencana eksekusi terus mengintai. Belakangan, pedagang mengajukan gugatan pihak ketiga (derden verzet atau gugatan perlawanan) terkait putusan atas pengelolaan pasar tersebut.
Pemkot Depok juga sudah mengajukan kajian ke Pengadilan Negeri Depok, dengan kesimpulan bahwa putusan berada dalam ranah eksekusi yang tidak bisa dijalankan (non executable). Wali Kota Depok HM Mohammad Idris, Rabu (25/4/2018), menyebutkan, berdasarkan Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Depok, lokasi Pasar Kemiri Muka memang diperuntukkan bagi aktivitas pasar rakyat.
Kajian itu terutama didasarkan atas tidak ada batas-batas spesifik wilayah Pasar Kemiri Muka yang disebutkan dalam amar putusan, telah beralihnya kepemilikan dan pengelolaan, dan adanya intervensi APBD Kota Depok di pasar tersebut.
Ketua Pengadilan Negeri Depok Sobandi tidak mau memberikan pendapatnya atas kajian ini.
Selain itu, ada perjanjian antara pihak swasta dengan Pemerintah Kabupaten Bogor terkait penyerahan aset ke Pemkot Depok, untuk menyediakan sebagian lahan tempat berjualan rakyat. Menurut Idris, luasannya sekitar 2,5 hektar dari total kira-kira 6 hektar.
Hingga tulisan ini disusun, pihak PT Petamburan Jaya Raya belum merespons permintaan konfirmasi.
Sementara menurut Karno, kajian itu tidak berarti karena putusan sudah inkraacht, dan pedagang lebih memerlukan langkah konkret, misalnya dengan menyiapkan gugatan lain.
“Anak-anak saya dulu main di sini,” kata Karno sembari menunjuk badan jalan di gang dalam pasar tersebut.
Dari enam anaknya, salah seorang di antaranya telah pensiun dari dinas ketentaraan. Anak-anak lainnya, bekerja sebagai pegawai negeri.
Sejumlah rekan Karno di pasar itu juga memiliki anak-anak yang kini mengakses dunia pekerjaan formal, seperti dosen dan dokter.
Karnopun masih berjualan air bagi kebutuhan pedagang pasar, dan sebuah warung yang pengelolaannya diserahkan pada sejumlah orang.
Paguyuban pedagang
Paguyuban Budi Luhur, yang secara lengkapnya dinamai Paguyuban Budi Luhur Putra Kemiri Kota Depok, merupakan organisasi yang menyatukan sejumlah perkumpulan dalam pasar tersebut. Anggotanya 600 orang dari sekitar 2.000 pedagang, dengan 98 persen di antaranya adalah pedagang. Mereka berasal dari sejumlah perkumpulan pedagang yang dibedakan menurut jenis-jenis barang dagangan dan etnis.
Dari jumlah itu, 300 orang di antaranya menjadi pemilik saham kepemilikan tanah dan pembangunan aula serbaguna dengan luas gedung sekitar 378 meter persegi. Berbagai hajatan bisa dilangsungkan dalam gedung yang disewakan itu.
Pinjaman uang dari bank perkreditan rakyat menjadi tumpuan di awal.
Belakangan, kegiatan koperasi juga diputar. Berbagai kegiatan dilakukan dengan bergotong royong, termasuk saat membangun rumah.
Tak heran jika solidaritas untuk memertahakan keberadaan Pasar Kemiri Muka cenderung terus menguat. Karena selain kecemasan, terbentang pula harapan.