Percepatan Pembangunan Pengolahan Sampah Didasarkan Studi Kelayakan
Oleh
Ichwan Susanto
·3 menit baca
Presiden menyediakan percepatan bagi 12 pemerintah daerah untuk membangun instalasi sampah menjadi energi. Ini jadi pamungkas dalam pengelolaan sampah.
JAKARTA, KOMPAS -- Pemerintah meyakinkan pelaksanaan percepatan pembangunan instalasi pengolahan sampah menjadi energi didasarkan pada studi kelayakan. Percepatan yang dijanjikan pun hanya dilakukan pada level birokrasi dan tak akan memotong prinsip kehati-hatian pada lingkungan dan sosial.
Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. Perpres ini berlaku bagi 12 kota, yaitu DKI Jakarta, Kota Tangerang, Tangerang Selatan, Kota Bekasi, Kota Bandung, Kota Semarang, Surakarta, Surabaya, Makassar, Denpasar, Palembang, dan Manado.
Beberapa pihak menuding perpres ini reinkarnasi Perpres Nomor 18 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah di DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya, dan Kota Makassar, yang telah dibatalkan Mahkamah Agung.
Perpres Nomor 18/2016 ini dinilai bertentangan dengan UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Nomor 36/2009 tentang Kesehatan, serta UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Kompas, 2 Maret 2017).
Asisten Deputi Infrastruktur Pertambangan dan Energi Kementerian Koordinator Kemaritiman Yudi Prabangkara, Kamis (26/4/2018), di Jakarta, mengatakan, Perpres 35/2018 tak akan menabrak aturan.
"Secara umum program penghapusan sampah ini harus dilakukan bersama program lain. Karena itu kami menggulirkan kembali program penghapusan sampah," kata dia.
Ia menekankan, tujuan instalasi itu untuk memusnahkan sampah secara cepat, bukan menghasilkan listrik. Ini didasarkan pada alasan timbulan sampah yang telah menjadi masalah di berbagai kota.
Ditanya apakah teknologi itu bakal menggunakan thermal atau insinerator, Yudi menjawab, "Bila ada teknologi lain juga bisa dipakai."
Yudi mengatakan, kunci untuk memastikan teknologi itu aman secara teknis, lingkungan, sosial, dan keuangan ada pada studi kelayakan. Dokumen ini menjadi penyaring dan pegangan bagi pemerintah daerah untuk menentukan program dijalankan atau tidak dijalankan.
Yudi juga mengatakan, perpres baru tak akan menyingkirkan program pengolahan sampah lain berupa komposting maupun 3R (reuse, reduce, recycle). "Pengelolaan sampah tidak ada solusi tunggal. Teknologi ini nanti mengerjakan yang tak tertangani oleh komposting dan 3R," kata dia.
Tolak thermal
Secara terpisah, Dwi Sawung, Pengkampanye Perkotaan dan Energi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, menyatakan tetap menolak perpres tersebut apabila "sampah menjadi energi atau waste to energy (W2E)" menggunakan teknologi termal. Ia mengakui dalam perpres baru tidak eksplisit menyebut teknologi termal.
Di sisi lain, ia melihat perpres secara teknis tidak akan operasional. Ia mencontohkan terkait subsidi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral yang tetap memerlukan persetujuan Kementerian Keuangan.
Ia menghitung subsidi untuk Kota Solo akan sebesar Rp 165 miliar. Ini dengan asumsi Pemkot Solo tidak mau mengeluarkan tipping fee yang sebesar Rp 82 miliar dari APBD. Sedangkan subsidi listrik sebesar Rp 83 miliar. Ini dihitungnya dengan kurs Rp 13.400 per dollar AS.
Yuyun Ismawati, Panasihat Senior Yayasan Bali Fokus, menyayangkan perpers tidak memprioritaskan pada pemantauan lingkungan dan kajian lingkungan hidup strategis. Padahal, banyak risiko timbulan limbah bahan beracun berbahaya dari campuran sampah dengan batubara, abu, air limbah, dan emisi lain.