Pengeboran Minyak Bumi Ilegal Diduga Marak di Bojonegoro
BOJONEGORO, KOMPAS — Pengeboran dan penambangan ilegal dari sumur-sumur minyak yang dikelola secara tradisional oleh warga di Bojonegoro, Jawa Timur, diduga marak. Seharusnya sumur yang ditambang warga sebanyak 222 titik sumur, tetapi saat ini terdata 494 sumur.
Selain menambang sumur minyak, warga juga ada yang menyuling minyak mentah diolah menjadi bahan bakar solar. Pengeboran dan penyulingan ilegal tanpa izin rawan memicu bahaya kebakaran ataupun pencemaran lingkungan.
Pengelolaan sumur minyak tradisional kini di bawah pengawasan badan usaha milik daerah Bojonegoro, PT Bojonegoro Bangun Sarana (BBS), yang menjalin kontrak kerja sama dengan PT Pertamina Aset 4, sejak Agustus 2017.
Direktur BBS Tonny Ade Irawan, Jumat (27/4/2018), menyebutkan, pihaknya bertugas menata lingkungan dan sosial di sumur minyak tradisional, terutama untuk petambang minyak tradisional, agar lebih aman.
Sayangnya, dari 494 sumur itu yang aktif setor ke BUMD hanya 24 sampai 30 sumur per bulan. Ia menyebutkan pada Januari tercatat 72 tangki, Februari 59 tangki, Maret 71 tangki, dan April hingga tanggal 25 sebanyak 37 tangki. Satu tangki kapasitas 5.000 liter.
Menurut Tonny, PT BBS bertanggung jawab pada lapangan minyak Wonocolo, Desa Wonocolo, Dandangilo, Desa Hargomulyo dan Ngrayong, Desa Beji, semua di Kecamatan Kedewan. Semula petambang setor ke Koperasi Unit Desa Sumber Pangan sejak 2007 hingga 2017.
Kini KUD Sumber Pangan hanya berhak setoran dari lima sumur di dua Kelopo Duwur, Blora, Jawa Tengah, dan tiga di Kawengan. Namun, satu dari tiga di Kawengan sekarang sudah ditempati rumah.
”Lima sumur itu sudah tidak aktif, tetapi anehnya KUD Sumber Pangan tetap menerima setoran minyak mentah lalu disetor ke Pertamina. Asalnya dari mana itu yang harus ditelusuri,” kata Tonny.
Sementara itu, dari harga internasional per liter minyak atau International Crude Price (ICP), BBS harus mengalokasikan 70 persen untuk ongkos angkat angkut bagi bagi petambang, 5 persen fee untuk BBS, 2,5 persen untuk keselamatan dan kesehatan lingkungan atau health savety environment (HSE), termasuk menyediakan alat pelindung diri (helm, jaket, masker, dan lain-lain) juga bak-bak penampung minyak.
Sebanyak 2,5 persen untuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) bagi petambang, juga 0,5 persen untuk bagi hasil dengan desa setempat. Bagi hasil itu akan masuk ke pendapatan asli desa. ”BPJS telah diberikan sejak Januari lalu dan saat ini ada 30 petambang. Jika satu sumur ada empat sampai enam orang, ditargetkan ada sekitar 100 petambang yang diikutkan BPJS dari 24-30 sumur yang aktif setor,” ujar Tonny.
Setoran ke BBS minim diduga petambang menyetor kepada pihak lain. BBS memberi ongkos angkut ke petambang Rp 3.100 per liter dari ICP saat ini Rp 3.400 per liter. Itu karena BBS harus membayar BPJS, HSE, bagi hasil dengan desa, dan lain-lain. ”Pihak lain mungkin berani lebih tinggi karena tak ada biaya itu. Itu yang menyebabkan setoran kepada BBS minim,” ujarnya.
Menurut Tonny, perkembangan dari 222 sumur ke 494 sumur itu terjadi sejak tambang sumur minyak tradisional dikelola KUD ataupun paguyuban. ”Sejak kontrak kerja sama dengan PT Pertamina diganti alih ke BBS, kami mengedukasi petambang tidak boleh menambah kedalaman ataupun pindah titik pengeboran,” ujarnya.
PT BBS pun meminta fatwa ke kejaksaan. Hasilnya sumur ke-223 hingga ke-494 itu pemilik Pertamina. Karena PT Pertamina menjalin kerja sama dengan BBS sejak Agustus 2017, berarti kini total 494 sumur itu di bawah pengawasan BBS.
Kini petambang setiap hari harus melaporkan terkait kondisi kedalaman, alat yang digunakan, dan keamanan lainnya. Jika terjadi kerusakan pada sumur, termasuk tertimbun pasir, alat pengeboran tertinggal atau sling baja untuk mengangkat minyak putus, BBS bisa merekomendasikan servis sumur ke Pertamina.
”Hanya masih ada petambang nakal, yakni menambah kedalaman tanpa izin. Ada pula yang pindah titik pengeboran (sumur) dan pindah lapisan dari dangkal ke lapisan lainnya sehingga rawan merusak lapisan dalam tanah, termasuk kantong air. Itu bisa rawan membuat tanah ambles,” ujarnya.
Servis sumur itu gratis dengan kompensasi petambang setor kepada BBS. BBS juga menyediakan dan memperbaiki bak-bak penampung minyak mentah, membuat saluran minyak dan air terpisah dan penanganan limbahnya. Pihaknya juga mengatur kelayakan truk angkut minyak agar memenuhi standar keamanan mulai dari ban truk.
Pakaian pengemudi juga memenuhi syarat keamanan dengan alat pelindung diri. Edukasi sosial dan pemberian alat keselamatan itu untuk mengurangi resiko kecelakaan kerja dan bencana penambangan.
”Kami bertugas menata lingkungan dan sosial di tambang minyak tradisional. Investasi untuk itu hampir mencapai Rp 500 juta, tetapi kuncinya petambang menyadari risiko dan pentingnya mengutamakan keselamatan dan kesehatan kerja,” ujar Tonny.
Ia memaparkan karakter sumur minyak tradisional di Bojonegoro berbeda dengan di Aceh Timur yang memicu semburan gas dan menyebabkan kebakaran dan menelan korban jiwa. Di Aceh kandungan gasnya tinggi. Sementara hasil kajian tim teknis BBS, di Bojonegoro saat ini kandungan minyaknya 30-40 persen dan 60-70 persen kadar air. ”Sumur tradisional di Bojonegoro sebenarnya sudah tidak ekonomis,” tuturnya.
Kepala Badan Lingkungan Hidup Bojonegoro Nurul Azizah menyatakan, untuk mengurangi risiko kecelakaan kerja dan bencana tambang minyak, pihaknya telah berkoordinasi dengan Pertamina (Aset 4) untuk membuat pemetaan masalah sumur di Wonocolo melibatkan Pusat Pendidikan dan Latihan Migas dan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Setelah pemetaan jadi, maka dibuatlah pengelompokan untuk solusi jangka pendek, menengah, dan panjang. ”Kelengkapan instalasi pengelolan limbah harus dipenuhi dan ruang terbuka hijau harus tersedia. ”Yang terpenting, analisis mengenai dampak linhgkungan harus diperbarui dengan jumlah sumur,” katanya.
Kepala Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja Bojonegoro Agus Supriyanto menuturkan, untuk mengurangi risiko kecelakan kerja, telah dilakukan sosialisasi dan pengawasan tentang keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dan pemenuhan perlindungan tenaga kerja.
”Pekerja harus mendapatkan jaminan, baik melalui BPJS Ketenagakerjaan maupun BPJS Kesehatan, termasuk di sektor tambang tradisional,” katanya.
General Manager PT Pertamina Asset 4 Agus Amperianto menuturkan, upaya mencegah terjadinya kerusakan lingkungan dan bencana penambangan dilakukan sejak 2015 dengan mendata ulang petambang dan kelompoknya. Selain itu, saat itu juga dilakukan penertiban perengkek (pembeli solar yang disuling warga dan dijual ke luar kota).
Kepala Bagian Energi dan Sumber Daya Mineral Kabupaten Bojonegoro Darmawan menyebutkan, antisipasi pengeboran ilegal (illegal drilling) dan penambangan ilegal (ilegal mining) telah dikoordinasikan dengan PT Pertamina, Pemerintah Kabupaten Tuban, Bojonegoro, dan Blora terkait pengawasan tambang minyak tradisional.
”Petambang dan perengkek juga mendapatkan sosialisasi, termasuk bahwa jual-beli minyak tanpa izin itu termasuk ilegal dan bisa dipidanakan,” katanya.