Pelemahan Rupiah Belum Berdampak pada Pelaku Usaha
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para pelaku usaha belum merasakan dampak pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Nilai tukar rupiah saat ini dianggap masih aman karena masih di bawah nilai tukar tertinggi dalam tiga tahun terakhir.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ernovian G Ismy saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (27/4/2018), mengatakan, pelemahan nilai tukar rupiah belum berdampak langsung pada industri tekstil. Meski demikian, para pelaku tetap dalam situasi siaga.
Sebagian besar bahan baku tekstil merupakan barang impor. ”Misalnya kapas, bahan kimia, dan aksesori yang digunakan itu semua tidak bisa didapatkan di dalam negeri,” ujar Ernovian.
Selain itu, pelemahan nilai tukar rupiah akibat menguatnya mata uang dollar AS juga mengancam kenaikan biaya logistik. Distribusi tekstil di lingkup lokal dilakukan menggunakan mata uang dollar AS karena pengiriman dilakukan melalui jalur laut. Transaksi pengiriman barang di pelabuhan semuanya menggunakan mata uang asing.
Menurut Ernovian, penambahan biaya distribusi akan memberatkan pengusaha. Porsi biaya tersebut sebesar 25 persen dari total biaya produksi setiap tahunnya. Total biaya distribusi itu terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu 11 persen untuk moda transportasi, 12 persen untuk biaya pergudangan, dan 2 persen biaya administrasi.
”Perusahaan menengah kecil transaksinya 100 persen lokal. Jadi, mereka akan terdampak biaya distribusi yang besar jika rupiah terus melemah,” kata Ernovian. Hingga saat ini, terdapat sekitar 500 perusahaan menengah kecil di Indonesia.
Ketua Umum Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Yukki Nugrahawan Hanafi mengatakan, pelemahan nilai tukar rupiah juga belum berdampak pada kegiatan logistik.
”Walaupun begitu, kami sudah menghitung ulang kembali biaya yang terkait dengan bea masuk dan Pajak Pertambahan Nilai (PPn),” katanya. Sebab, melemahnya rupiah mengakibatkan pembayaran bea masuk meningkat.
”Kami berharap situasi seperti ini tidak berlangsung lama karena sebentar lagi memasuki bulan puasa dan ada libur panjang,” ujar Yukki.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia Adhi S Lukman mengatakan, pelaku industri makanan-minuman berharap nilai tukar tidak menembus Rp 14.000 per dollar AS. Stabilitas nilai tukar menjadi harapan pengusaha karena kontrak pembelian bahan baku impor berbasis dollar AS (Kompas, 24/4/2018).
Kepala Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih mengatakan, pada sektor riil, pelemahan nilai rupiah akan berakibat pada peningkatan biaya produksi. Oleh karena itu, rupiah yang tidak kunjung menguat akan berdampak pada kenaikan harga barang.
Meski saat ini pelaku usaha belum merasakan dampak pelemahan rupiah, Lana memperkirakan, mereka akan mulai mengoreksi harga produksi pada kuartal ketiga 2018.
Masih aman
Lana menilai, penurunan nilai rupiah masih dalam batas nilai aman. Berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate yang diterbitkan Bank Indonesia, Jumat, tercatat Rp 13.879 per dollar AS. Nilai tersebut menguat dari posisi sehari sebelumnya, yaitu Rp 13.930 per dollar AS.
Dalam tiga tahun terakhir, kata Lana, nilai tukar tertinggi adalah Rp 14.652 per dollar AS. ”Jadi, posisi saat ini masih normal meskipun penurunan nilai tukar rupiah dalam beberapa hari yang lalu terasa sangat cepat,” ujarnya.
Di samping itu, depresiasi rupiah juga masih di bawah rata-rata dalam sepuluh tahun terakhir. Selama satu dasawarsa, depresiasi rupiah berada pada level 3,5-4,5 persen. Adapun depresiasi saat ini berada pada level 2,4 persen.
Menurut Lana, menguatnya nilai tukar dollar AS disebabkan ketetapan Bank Sentral AS untuk menaikkan suku bunga. Kenaikan itu diperkirakan terjadi hingga empat kali hingga akhir 2018.
Kenaikan suku bunga juga mengakibatkan turunnya imbal hasil di pasar obligasi Amerika Serikat. Oleh karena itu, para investor berbondong-bondong menjual surat utangnya dan memilih untuk menyimpan uang tunai dalam mata uang dollar AS.
Sementara itu, di lingkup domestik, pada Maret-Juni permintaan dollar AS selalu meningkat. Pada periode itu, para pengusaha membutuhkan dollar AS untuk membayar dividen, perusahaan asing perlu membayar royalti ke perusahaan induk, dan pemerintah juga harus membayar kupon ke investor asing yang memiliki surat utang. Selain itu, pemerintah dan pihak swasta juga memerlukan dollar AS untuk membayar utang luar negeri.
”Jika mempertimbangkan tekanan domestik, semestinya setelah Juni pelamahan nilai rupiah ini sudah mulai mereda. Namun, tekanan dari eksternal tidak bisa diukur,” kata Lana.
Menurut dia, saat ini kondisi pasar masih panik. Oleh karena itu, intervensi secara besar-besaran belum dibutuhkan. ”Jika harus intervensi pun terbatas. Jangan ngoyo karena akan percuma, seperti membuang garam di laut,” ujar Lana.
Gubernur BI Agus DW Martowardojo mengatakan, BI selalu hadir di pasar untuk menstabilkan nilai tukar rupiah. Bahkan, sejak lama BI telah mengeluarkan regulasi yang mewajibkan pelaku usaha yang memiliki utang luar negeri melakukan lindung nilai.