JAKARTA, KOMPAS — Tim dokter WWF Indonesia dan Patolog Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor telah merampungkan nekropsi atau pembedahan setelah kematian atas bangkai badak jawa yang ditemukan pada 22 April 2018 di tepi Pantai Karang Ranjang, Taman Nasional Ujung Kulon. Pejantan badak jawa dewasa yang teridentifikasi bernama Samson ini diduga mati akibat kholik atau torsio usus.
”Kesimpulan awal, penyebab kematian badak ini adalah kholik atau torsio usus, yaitu usus besar dan usus kecil terpuntir (torso), mengakibatkan kerusakan pada usus besar, hingga bakteri mikroflora usus menghasilkan racun dan kemudian menyebar ke seluruh tubuh badak,” kata Sri Estuningsih, patolog Fakultas Kedokteran Hewan IPB, dalam siaran pers yang dikirimkan WWF Indonesia, Jumat (27/4/2018).
Itu hasil nekropsi pengamatan organ bagian dalam badak Samson. Pada organ dalam ginjal, paru, hati, limpa, dan usus terdapat perubahan warna dan mengalami pembusukan. Ini ditandai dengan konsistensi organ yang sudah lunak menyerupai bubur dan perubahan warna organ, serta terdapat gas.
Pada rongga tubuh toraks dan abdomen ditemukan banyak cairan transudat. Pada usus ditemukan adanya bagian usus yang terpuntir antara usus halus dan usus besar yang menyebabkan terjadinya rupture usus bagian sekum.
Isi usus sebagian terhambur mengenai dinding serosa usus yang ditandai adanya sisa makanan menempel pada serosa usus dan dinding badan (peritoneum). Di dalam saluran pencernaan terdapat cacing berbentuk bulat yang ditemukan dalam jumlah banyak.
Seperti diberitakan, pada Senin pagi, beberapa jam setelah penemuan bangkai badak itu, Sri Estuningsih bersama Zulkifri dan Gita Alvernita, tim dokter hewan WWF Indonesia, melakukan investigasi forensik bangkai. Hasilnya, pada pengamatan luar, kondisi bangkai badak masih utuh, cula masih menempel pada kepala, tidak ada tanda-tanda luka pada tubuh.
Kondisi bangkai menunjukkan sudah terjadi pembusukan yang ditandai dengan pengeluaran gas disertai busa dari celah kulit badak, kulit, dan cula mudah terlepas. Pada bagian mata, mulut, hidung, alat kelamin, dan anus berwarna merah. Ditemukan juga telur lalat, belatung pada permukaan kulit di bagian kaki depan dan belakang.
Tim juga tidak menemukan tanda adanya penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri, virus, atau parasit yang bersifat akut. Kurnia Khairani, Project Leader WWF Indonesia, kantor Ujung Kulon, menegaskan, pihaknya mendorong pemerintah untuk segera merampungkan Strategi Konservasi Badak 2018-2023.
Ia juga mendorong pemerintah fokus untuk mengembangkan populasi kedua badak jawa selain di Ujung Kulon. Pengembangan populasi dilakukan untuk mencegah punahnya badak jawa disebabkan penyakit epidemi yang masif, bencana alam, seperti tsunami atau gempa bumi.
Penyakit infeksius yang bersifat epidemik dikhawatirkan dapat menyebar secara cepat ke seluruh populasi badak jawa apabila kondisi hanya single populasi, yaitu hanya ada di Ujung Kulon. Oleh karena itu, pengembangan populasi kedua harus segera menjadi prioritas strategi konservasi badak jawa ke depan.
Kematian Samson merupakan salah satu dari dinamika populasi badak jawa yang ada di dalam kawasan Taman Nasional Ujung Kulon. Pembelajaran penting dari kematian ”Samson” ini adalah penanganan kematian badak jawa berlangsung lebih cepat dan efisien dibandingkan sebelumnya.
Respons cepat ini tidak terlepas berkat adanya Unit Monitoring Badak dan Kesehatan Badak yang menjadi tulang punggung pengelolaan populasi badak jawa di Ujung Kulon.
Proses koordinasi Balai Taman Nasional Ujung Kulon bersama para mitra, termasuk WWF Indonesia, mampu merespons secara cepat proses penanganan, mulai dari evakuasi, investigasi forensik yang melibatkan tenaga ahli dari pihak universitas, hingga proses publikasi sebagai bentuk pertanggungjawaban terhadap publik.