Tindakan tegas terhadap pelaku penyelundupan narkoba terus dilakukan. Delapan warga Taiwan yang menyelundupkan 1 ton sabu divonis mati.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -Delapan terdakwa kasus penyelundupan sabu dengan kapal laut di dermaga Anyer, Serang, Banten, divonis hukuman mati di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (26/4/2018). Majelis hakim menilai, delapan warga Taiwan itu terbukti menyelundupkan narkotika seberat 1 ton.
Sidang putusan kasus penyelundupan sabu tersebut dipisah dalam dua perkara berbeda. Sidang pertama mengadili tiga orang yaitu Liao Guan Yu (22), Chen Wei Cyuan (22), dan Hsu Yung Li (37). Mereka berperan sebagai tim darat yang menerima kiriman sabu dari kapal Wanderlust. Sidang tersebut dipimpin hakim ketua Effendi Mukhtar.
Kasus kedua mengadili lima terdakwa lain yakni Juang Jin Sheng (42), Sun Kuo Tai (37), Sun Chih Feng (40), Kuo Chun Yuan (44), dan Tsai Ching Hung (56). Kelima orang ini berperan sebagai awak kapal Wanderlust yang membawa sabu dari Taiwan, ke Malaysia. Kapal tertangkap di Kepulauan Riau sebelum berangkat ke Anyer. Sidang kedua dipimpin hakim ketua Haruno Patriadi.
Putusan yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri Jaksel ini sesuai dengan dakwaan primer jaksa penuntut umum. Majelis hakim menilai ketiga terdakwa itu melanggar Pasal 114 Ayat 2 juncto Pasal 132 Ayat 1 Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
”Menyatakan terdakwa 1,2,3 terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana permufakatan jahat narkotika golongan I dengan berat lebih dari 5 gram,” ujar Effendi.
Para terdakwa menyatakan pikir-pikir terhadap vonis hakim, Ada waktu tujuh hari untuk memutuskan upaya hukum selanjutnya.
Mantan buruh
Dalam fakta persidangan terungkap, sebelum bekerja sebagai calo atau perantara sabu di Indonesia, Liao Guan Yu dan Chen Wei Cyuan bekerja sebagai buruh di Taiwan. Adapun Hsu Yung Li adalah sopir taksi. Ketiganya menerima pekerjaan sebagai perantara yang akan membawa sabu dari Dermaga Anyer ke daratan. Mereka menerima pekerjaan lantaran upah yang besar. Ketiganya sempat tinggal di Jakarta dan Anyer sembari menunggu kiriman sabu dari laut.
Adapun kelima awak Wanderlust pernah bekerja sebagai buruh, mekanik, dan kapten kapal di pelabuhan Taiwan. Sabu yang dibawa dari Taiwan disamarkan dengan produk-produk pertanian. Dari Taiwan, kapal sempat berhenti di Malaysia selama tujuh hari. Mereka juga berkomunikasi dengan tim darat menggunakan telepon satelit. Lokasi pertemuan diberitahukan melalui titik koordinat GPS. Tim darat juga sempat memberikan kode berupa cahaya senter untuk mengarahkan ke dermaga yang sudah ditandai.
“Mereka melakukan pekerjaan ini dengan gaji Rp 20 juta per bulan setiap orangnya, serta tambahan Rp 400 juta jika pengiriman barang berhasil,” kata hakim Haruno.
Majelis hakim juga mengungkapkan, hal-hal yang memberatkan para terdakwa di antaranya adalah bertentangan dengan program pemerintah Indonesia giat memberantas kasus narkotika. Mereka juga dinilai terkait dengan jaringan sindikat internasional lintas negara.
Selama persidangan, Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan menugasi penerjemah Susy Ong. Susy mengungkapkan, meskipun mereka divonis hukuman mati, tidak ada upaya bantuan hukum sama sekali dari Taiwan. “Mereka itu padahal orang-orang susah, pendidikan juga rendah hanya lulusan SD dan SMP. Namun, tidak ada bantuan hukum apapun dari Taiwan,” kata Susy.
Tim penasihat hukum dan Susy pernah mendatangi kantor perwakilan Taiwan di Jakarta. Namun, saat berkunjung ke Taipei Economic and Trade Organization (TETO), mereka tidak mendapatkan jawaban apa-apa.
Hingga delapan warga Taiwan itu divonis, TETO yang merupakan organisasi resmi Taiwan di Indonesia, tidak memberikan upaya bantuan hukum.
Usai sidang, penasihat hukum delapan warga Taiwan, Juan Hutabarat, mengatakan, tim penasihat hukum menghargai putusan majelis hakim. Namun, dari awal, tim berharap para terdakwa bisa dihukum pidana kurungan penjara. Penasihat hukum berupaya untuk melakukan upaya hukum maksimal dengan mengajukan banding atas putusan PN Jakarta Selatan.
“Kami sadar bahwa apa yang dilakukan oleh para terdakwa ini memang salah, tetapi bukan pada posisi mereka sebenarnya. Mereka hanya disuruh tanpa tahu apa yang mereka bawa,” kata Juan.
Juan menambahkan, hal-hal yang sudah disampaikan dalam nota pembelaan akan menjadi bahan pertimbangan dalam banding terhadap putusan PN Jaksel. Selain itu, tim penasihat hukum juga hanya berupaya secara maksimal untuk memperjuangkan hak para terdakwa secara hukum
“Terdakwa menyerahkan secara sepenuhnya kepada kami apa upaya hukum yang terbaik buat mereka,” ujar Juan.