Salah satu sudut pameran dalam rangka 3rd Asia Pasific Rainforest Summit di Jogya,karta, 23-25 April 2018. Pada Rabu (25/04/2018) akan ada kunjungan lapangan ke kawasan Gunung Merapi dan daerah Gunung Kidul.
YOGYAKARTA, KOMPAS--Partisipasi swasta dalam pendanaan usaha di sektor hutan minim. Padahal, swasta puluhan tahun meraup untung dari sektor itu. Di sisi lain, kebijakan pemerintah, dalam hal ini Indonesia, dinilai kurang jelas sehingga swasta dan donor ragu menanamkan modal dan memberi pendanaan.
“Sejarah deforestasi dan degradasi lahan terjadi sejak berpuluh tahun lalu. Kini saatnya swasta memberi dana bagi restorasi dan konservasi hutan,” kata Aida Greenbury Chair Private Sector Roundtable dari Asia Pacific Rainforest Partnership.
“Tanggung jawab konservasi hutan tak hanya di negara produsen (pemilik sumber daya alam). Mereka yang puluhan sampai ratusan tahun mendapat profit, apa tanggung jawab mereka pada konservasi hutan yang memberi produk (bahan dasar) bagi mereka? Kita perlu dukungan dari mereka, itu belum terlihat,” ujarnya seusai diskusi sesi parallel Forest Finance, Investment and Trade, pada 3rd Asia Pacific Rainforest Summit, Selasa (24/4/2018), di Yogyakarta.
Bantuan berupa tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR yang kerap diberikan perusahaan swasta dinilai amat kecil sehingga kurang berdampak signifikan terhadap upaya konservasi hutan. Di sisi lain, dana global tak kunjung diserap Indonesia.
Juan Chang dari Green Climate Fund (GCF), organisasi yang mengumpulkan dana dari donor bagi negara-negara yang butuh pendanaan pembangunan hijau menyatakan hal senada. “Kita harus cari bottle neck-nya (sumbatannya),” ujarnya.
Kompas
Menyusuri Sungai SekonyerMenyusuri keindahan hutan hujan tropis di sepanjang Sungai Sekonyer merupakan suguhan tersendiri bagi pengunjung Taman Nasional Tanjung Puting di Kalimantan Tengah, pada 10 November 2011.Kompas/Ichwan Susanto
Penuh Risiko
Menurut Marcel Silvius, perwakilan Global Green Growth Institute (GGGI) di Indonesia, itu adalah bisnis penuh risiko, misal lanskap gambut amat rawan kebakaran. "Pemerintah telah membuat kemajuan dengan beberapa regulasi, tapi itu belum mampu membawa sektor swasta datang,” ujarnya.
Pemerintah telah membuat kemajuan dengan beberapa regulasi, tapi itu belum mampu membawa sektor swasta datang,
Kerangka kerja bisnis dinilai belum tepat. Contohnya, investor asing tak bisa langsung berbisnis di Indonesia tapi harus lewat perusahaan lokal. Itu menciptakan risiko. “Mereka tak tahu perusahaan itu dan tidak menguasai bisnisnya langsung, tak bisa mengontrol,” kata Sivilus.
Padahal, swasta memiliki uang jauh lebih banyak dari pemerintah untuk bisnis itu. "Jika Indonesia bisa menarik dana itu dan bisnis restorasi hutan bisa berjalan, Indonesia bisa menjadi peran kunci. Cara menarik dana itu adalah, Pemerintah Indonesia mengurangi risiko yang ditanggung pebisnis dengan insentif, asuransi, atau menyertakan dana,” katanya.
Selain sesi tersebut, 3rd Asia Pacific Rainforest Summit juga membahas berbagai isu: pengelolaan gambut berkelanjutan, perhutanan sosial, hutan produksi, ekoturisme dan konservasi kehati, mangrove dan karbon biru (blue carbon), serta hutan kemasyarakatan.
Dari berbagai sesi, muncul pernyataan umum, antara lain, kebijakan pemerintah akan memengaruhi keberlanjutan pengelolaan suatu lanskap, serta perlunya perluasan isu dari isu komunitas ke isu global terkait institusi pendanaan dan pasar. Selain itu, mangrove dan karbon biru perlu dimasukkan dalam komitmen kontribusi nasional menurunkan emisi gas rumah kaca (NDC).
Pertemuan yang diikuti 38 negara dengan jumlah peserta 1.200 orang merupakan ajang untuk memperkuat kerja sama. Kali ini jumlah peserta melonjak dibandingkan peserta pertemuan pertama yang diikuti sekitar 600 orang dan kedua yang diikuti sekitar 300 orang. Dalam pertemuan ini peserta banyak melakukan refleksi tentang ntuk pencapaian target Kesepakatan Paris dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Peserta berbagi tentang kebijakan dan aksi negara peserta untuk menahan laju deforestasi dan degradasi hutan. Di sisi lain, para peserta juga belajar dari inisiatif yang memberikan harapan dan inisiatif yang berhasil.
Tujuan penting pertemuan itu digarisbawahi Menteri Lingkungan dan Energi Australia, Josh Frydenberg pada pidato kuncinya. Dia mengatakan, terdapat tiga hal penting dalam pertemuan itu yaitu: mengakui dan merayakan kemajuan, melihat pentingnya kemitraan dan kolaborasi, serta peran kebijakan pemerintah dalam mendorong investasi sektor swasta dan beroperasinya pasar.
Pada hari pertama, ada pertemuan para pejabat tinggi negara-negara di Asia Pasifik yang dipimpin Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya dan Frydenberg. Mereka yang hadir antara lain, Senior Minister of State Ministry of Environment and Water Resources Singapore, Amy Khor dan Osea Naiqamu, Minister of Agriculture, Fisheries, and Forestry Fiji.
Dalam pertemuan tersebut, semua peserta menekankan peran penting hutan dalam menekan emisi dan di sisi lain mendukung pertumbuhan ekonomi. Selain itu, muncul kesadaran tentang pentingnya melindungi hutan dan gambut untuk membantu pencapaian ambisi kolektif dalam NDC masing-masing serta target dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs.
Para peserta juga menegaskan perlunya melibatkan masyarakat sipil, organisasi penelitian, dan swasta untuk berkolaborasi di kawasan itu untuk berbagi hasil pembelajaran. Indonesia akan berkunjung ke Singapura untuk melihat pengelolaan pembuangan limbah, circular economy, serta limbah elektronik. Selain itu kerja sama dengan Fiji dijajaki untuk melihat hasil hutan kayu dan nonkayu Indonesia.
“Kami bicarakan, kunci-kunci untuk keberhasilan yaitu edukasi yang disampaikan Australia, kesadaran, penguatan kapasitas, serta demonstrasi proyek (yang berhasil) dan kolaborasi dengan sektor swasta,” kata Siti.