Peniti Simbol Cinta Sang Bunda
Beberapa peniti raksasa bergelantungan di ruang pameran Bentara Budaya Jakarta. Di setiap jarum-jarum penyemat itu tersampir baju-baju perempuan khas pakaian simbok-simbok tua Jawa, mulai dari kebaya, stagen, kebaya, hingga kutang.
Sangat jamak di lingkungan keluarga Jawa, ibu-ibu berpakaian kebaya menyematkan peniti di beberapa bagian kain yang dikenakannya. Jarum-jarum kecil itu selalu menempel di baju tanpa peduli apakah akan mememanfaatkannya atau tidak.
Keberadaan peniti membuat perempuan merasa tenang. Jika baju anaknya tiba-tiba sobek, maka dengan sigap ibu langsung melepas peniti di bajunya untuk menyatukan sobekan baju anaknya.
“Peniti menjadi bagian dari simbol kesetiaan dan pelayanan perempuan,”ungkap Dyan Anggraini, perupa yang membuat instalasi berjudul “Bunda” tersebut saat pembukaan pameran seni rupa "Bercermin di mata Perempuan" bersama empat perupa lain, yaitu Aishah Abdul Latif, Hartina Ajir, Ria Andaryanti, dan Trinawangwulan atau Wawang, Jumat (20/4/2018) malam di Bentara Budaya Jakarta.
Dalam instalasinya kali ini, Dyan sengaja membuat ukuran peniti yang tidak lazim, bahkan berukuran raksasa. Ia hendak menonjolkan sosok peniti sebagai simbol cinta bunda yang tak bersyarat. Peniti, pernik-pernik keperluan kecil yang seringkali tidak dihiraukan mendapatkan panggung yang terhormat dalam karya Dyan.
Di ruang pamer utama, Dyan juga membuat instalasi berjudul “In Your Hand” berupa tangan-tangan yang tengah meremas lembaran-lembaran logam seng. Ekspresi tangan-tangan itu menyiratkan kegeraman sekaligus ketidakmampuan perempuan dalam mengungkapkan emosi yang meledak-ledak, ada sebuah ekspresi kekecewaan yang tidak bisa diluapkan dengan bebas.
Tapi bukan sisi kegeraman semata yang ingin diperlihatkan Dyan dalam instalasi ini. Dia justru ingin menunjukkan kegigihan sosok perempuan yang selalu total melayani meski harus sampai merasa sakit seperti perihnya meremas lembaran logam seng.
“Kadang ada kecenderungan dari perempuan untuk menyimpan dan menahan perasaan kekecewaan dengan ekspresi seperti itu supaya ada keseimbangan. Ia tidak ingin menyampaikannya dengan lugas, tetapi dengan caranya sendiri,”paparnya.
Setelah hampir 40 tahun berpisah, lima perupa alumni Sekolah Tinggi Seni Rupa "Asri" Yogyakarta sangat bahagia bisa berpameran bersama lagi dua tahun terakhir. Tahun 1979 silam, lima seniman yang tergabung dalam Kelompok 5 Putri ini pernah menggelar pameran bersama di Gedung Seni Sono Yogyakarta.
“Pada saat kami kuliah, jumlah pelukis perempuan sangat sedikit. Karena itulah, dulu kami menggelar pameran bersama. Jika kami dulu disebut Kelompok 5 Putri, sekarang kami sudah menjadi Kelompok 5 Nenek,” ucap Wawang sembari tertawa.
Lima gaya
Setidaknya ada lima gaya yang terpancar dari kelompok ini, yaitu realisme modern, realisme imajinatif, abstrak formal, abstrak geometris, dan kaligrafi modern. Realisme modern Dyan yang memunculkan sosok-sosok potret diri yang empatik berpadu dengan realisme imajinatif Wawang dengan imajinasi sosok-sosok samar.
"Abstrak Aishah jelas merujuk ke materi non organik dan Tina melantunkan gaya abstrak meliuk-liuk lebih bebas, malah lebih semi-organik. Sementara Ria menampilkan kaligrafi modern. Kelima putri Kartini ini secara komprehensif kompak telah bergabung, serasi, dan asri,"papar budayawan Toeti Heraty saat membuka pameran mereka.
Kurator Bentara Budaya, Efix Mulyadi melihat bahwa kelima perempuan ini memiliki perbedaan dalam cara ungkap. Namun demikian, mereka sehaluan dalam mengelola dan mengolah sumber-sumber kreatifnya.
“Mereka adalah perempuan-ibu yang telah berpijak pada nilai-nilai keluarga ketika menjelajah berbagai kemungkinan di dalam kesenian mereka. Dan, seperti dialami sendiri di dalam ruang pamer, mereka sungguh menikmati berbagai peran tersebut,”ungkap Efix.
Di usia mereka yang lebih dari 60 tahun, kelima perupa perempuan ini sebagian ada yang masih berdiri kokoh menjadi perupa, tetapi ada pula yang mendadak teringat lagi bahwa dunia seni rupa tetap mereka miliki, di tengah kegiatan dan kesibukan rumah tangga yang semakin menyita waktu.
“Kekerabatan dan persahabatan adalah faktor penting bagi kelestarian sebuah kelompok. Mereka membuktikannya,”kata Ipong Purnama Sidhi, salah satu kurator Bentara Budaya lainnya.
Pameran "Bercermin di mata Perempuan" menunjukkan bagaimana sosok perempuan yang identik sebagai penjaga estetika memiliki kepekaan-kepekaan tersendiri dalam menyematkan makna di setiap karya-karya mereka. Instalasi dan lukisan mereka bisa menjadi cermin bagi para penikmat seni rupa.
Dunia perempuan
Di Yogyakarta, Sebanyak 12 perempuan perupa yang tergabung dalam kelompok Bumbon juga menggelar pameran bertajuk “Pengilon” di Bentara Budaya Yogyakarta, 21-29 April 2018. Melalui beragam karya rupa, seperti lukisan, keramik, instalasi, dan seni tekstil, mereka merefleksikan aneka ragam persoalan yang bertaut dengan dunia perempuan. Sebagian karya menyajikan horor yang meneror, tetapi sebagian lain justru penuh humor.
Salah satu karya yang menarik dalam pameran ini adalah “Invisible Abuse” karya Theresia Agustina Sitompul. Tere, demikian perempuan perupa itu akrab disapa, menampilkan instalasi berupa bantal hitam yang tampak begitu empuk dan nyaman untuk dijadikan alas kepala saat tidur. Namun, di tengah bantal itu terdapat lubang menganga dengan pistol yang terbuat dari kawat di dalamnya.
Karya instalasi Tere ini terlihat sangat sederhana, tetapi ternyata menyimpan kejutan. Sebab, saat kita mencoba menyentuh bantal yang secara visual terlihat begitu empuk itu, tangan kita justru bertemu dengan permukaan yang keras.
Ya, “bantal empuk” itu memang tidak dibuat dari kapas dan kain yang lembut, tetapi dibuat dengan bahan-bahan keras seperti resin dan kawat beton. Dengan kemampuan teknis yang memadai, Tere berhasil mengolah bahan-bahan keras itu menjadi bentuk visual yang “menipu” mata.
Namun, di balik “kelembutan visual” itu, karya “Invisible Abuse” justru menghadirkan horor yang meneror dan mengejutkan, terutama karena keberadaan pistol kawat yang tepat berada di tengah bantal.
Menurut Tere, karya “Invisible Abuse” adalah metafora tentang fenomena kekerasan terhadap perempuan yang kerap dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Karena dianggap hal yang lumrah, tindakan kekerasan yang dialami perempuan kemudian menjadi sesuatu yang “tidak terlihat”.
“Di media sosial, misalnya, kita sering menyebarkan kekerasan secara visual dan psikologis tanpa menyadarinya karena tindakan semacam itu sudah dianggap biasa,” ujar Tere.
Pada hari yang sama, sebanyak 50 perempuan perupa yang tergabung dalam Komunitas 22 Ibu juga menggelar pameran di Bentara Budaya Bali 21-30 April 2018. Tema yang mereka angkat adalah “Sang Subjek”.
Komunitas 22 Ibu merupakan komunitas ibu lintas institusi yang memiliki kesamaan dalam minat seni, pameran, penulisan buku seni rupa, workshop, wisata kuliner, dan lain-lain. Anggota komunitas ini terdiri dari para pendidik seni rupa, pengusaha, desainer, dan seniman.
“Menariknya dari komunitas ibu-ibu ini adalah sekalipun mereka menyebut diri sebagai \'ibu\', yang jelas-jelas berkonotasi domestik, pameran mereka justru dilakukan di galeri-galeri yang sangat publik termasuk di Bentara Budaya Bali ini. Ini adalah semacam gugatan yang dibungkus halus oleh ibu-ibu ini," kata Hardiman, kurator yang juga akademisi Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Bali.