Jambu Mete yang Gairahkan Flores Timur
Memasuki tujuh desa di bawah kaki Gunung Ile Mandiri, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, yang ada hanya hamparan tanaman jambu mete, Annacardiun occidentale. Mete, sejauh ini dianggap salah satu komoditas unggulan Flores Timur.
Gambarannya, produktivitas mete Flores Timur mencapai 400 kilogram per pohon. Demi optimalisasi produksi jambu mete, Pemerintah Kabupaten Flores Timur mengucurkan dana Rp 2 miliar untuk program peremajaan, perluasan lahan, dan penjarangan kebun, yakni pengurangan ranting atau dahan.
Wakil Bupati Flores Timur Agustinus Payong Boli di Larantuka, Flores Timur (Flotim) mengungkapkan, jambu mete atau biasa disebut mede, juga mente, menjadi fokus perhatian Pemkab Flores Timur. Mengingat, komoditas ini pernah mengangkat nama Flores Timur, kurun 2004-2006. Saat itu, pengusaha asing ramai-ramai membeli mete langsung dari petani setempat. Namun, setelah itu kejayaan mete meredup.
“Langkah pertama, meremajakan perkebunan mete. Juga, penjarangan pohon, perluasan areal tanam, dan pemberian pupuk organik. Dengan cara ini, 1 hektar lahan mete yang sebelumnya menghasilkan 500-600 kg, kini 400 kg per pohon, atau sekitar 11 ton per hektar. Dengan perhitungan sehektar 276 pohon, jarak tanam 6 x 6 meter,” kata Agus, Sabtu (31/3).
Saat ini luas lahan kebun jambu mete di Flores Timur 18.000 hektar (ha) dari total lahan potensial seluas 47.000 ha. Sebelum memperluas lahan, Pemkab bersama petani berupaya meningkatkan produksi melalui proses pemangkasan, penjarangan, dan penanaman kembali pohon tua, atau mati.
Kegiatan ini melibatkan sekitar 200 anak muda dari total 600 kaum muda yang direkrut untuk berswadaya. Mereka dibagi dalam 20 kelompok, masing-masing kelompok beranggota 10 orang. Makin kecil kelompok tani, makin efektif berkoordinasi dan berkerjasama.
Libatkan pemuda
Yang menarik, keterlibatan kaum muda dalam program itu sekaligus mengatasi sejumlah masalah di Flores Timur dan NTT, salah satunya mengurangi perdagangan manusia. Data selama ini, Flores Timur menjadi salah satu daerah dengan jumlah TKI ilegal terbanyak di NTT.
Agus Kelen (26) warga desa Ile Padung, Kecamatan Lewolema, Flores Timur mengatakan, pelibatan kaum muda digerakkan pemkab sekitar delapan bulan terakhir. Tak heran, belum banyak pemuda yang terlibat.
Tetapi, seperti dituturkan Agus, dengan program ini ada lowongan kerja baru bagi pemuda Flores Timur. Di desa Ile Padung misalnya, 40 pemuda tergabung dalam empat kelompok tani. Kini mereka giat memangkas tanaman mete warga, dengan menggunakan mesin sensor yang dihibahkan Pemkab Flores Timur.
“Kami mendapat upah Rp 70.000 per hari dari pemangkasan itu. Mestinya program ini disatukan dengan program pemberdayaan ekonomi masyarakat dari dana desa, sehingga makin banyak anak muda terlibat,” kata Agus Kelen.
Ketua Gabungan Kelompok Tani Kecamatan Lewolema Kabupaten Flores Timur Gabriel Belawa Maran mengatakan, di sekitar kaki Gunung Ile Mandiri ada tujuh desa yang kini fokus pada budidaya mete.
Sekitar 15.000 petani terlibat langsung mengelola mete, 2.000 di antaranya pemuda. Jumlah ini tidak termasuk 600 anak muda yang dilibatkan Pemkab. Mereka sudah lama menjadi petani, terutama lulusan SD, SMP, SMA, dan beberapa sarjana. Rata-rata mereka terlibat di lahan pertanian milik orangtua.
Harga membaik
Menurut Belawa, harga kacang mete kini menembus Rp 175.000 per kg. Harga itu membaik dari sebelumnya Rp 30.000 per kg pada 2011, lalu Rp 40.000 per kg (2016), dan Rp 60.000 per kg pada 2017.
Meski demikian, tidak secara otomatis kacang mete itu gampang terjual di pasaran. Mengingat, pengusaha organik kacang mete tidak bisa menerima produk dalam jumlah banyak, kecuali ada sertifikat kacang mete organik. Sementara, mengadakan sertifikat itu butuh biaya Rp 150 juta per tahun, karena per tahun harus diperbaharui.
“Tahun 2004-2006, Swisscontact melakukan pendampingan petani mete Flores Timur. Mereka mengupayakan sertifikat itu sehingga harga kacang mete sempat dijual Rp 180.000 per kg, tahun 2005. Tahun 2006 masa kontrak kerja Swisscontact selesai. Pengadaan sertifikat organik pun tidak berlanjut,” kata Belawa.
Sertifikat itu menjamin mutu kacang mete sehingga harga pun bisa bersaing di dalam dan luar negeri. Ketika Swisscontact selesai masa kontrak, petani pun mulai kesulitan, terutama menyangkut pengadaan sertifikat kacang mete organik.
Pada masa Bupati Simon Hayon, Pemkab Flores Timur (2007-2012) sempat memproses sertifikat organik itu, 2010. Tetapi sertifikat itu disimpan Dinas Pertanian dan Perkebunan, tidak diserahkan kepada petani. Saat penjualan kacang mete organik, petani tidak melampirkan salinan sertifikat organik itu, sehingga harga mete tetap Rp 60.000 per kg.
Belawa dengan anggota kelompok “Puna Liput”, artinya kumpul menjadi satu, kemudian berupaya menyiasati dengan menjual kacang mete organik ke Jakarta, Denpasar, dan lokal di NTT, sesuai volume permintaan. Kacang mete itu dijual seharga Rp 175.000 per kg. Rata-rata, 26 anggota “Puna Liput” menghasilkan sekitar 1,5 ton kacang mete organik per musim panen.
Dari luasan mete 18.000 ha, sejauh ini sekitar 7.000 ha sudah dilakukan penjarangan, atau penanaman kembali untuk tanaman di atas 30 tahun. Masih sisa 11.000 ha tanaman mete dalam proses rehabilitasi.
Dengan agresivitas program jambu mete ini, diharapkan, sampai 2022, mete di Flores Timur bisa mengangkat kesejahteraan masyarakat. Dan popularitas mete sebagai andalan Flores Timur, terangkat lagi.