Toko Kimia Diminta Mendata Pembeli Metanol
BEKASI, KOMPAS — Untuk mengantisipasi berulangnya kasus minuman keras oplosan yang memakan korban jiwa, Pemerintah Kota Bekasi akan mengeluarkan surat edaran kepada toko bahan kimia di seluruh Kota Bekasi. Dalam surat edaran itu, toko kimia diminta mendata pembeli alkohol industri atau metanol.
Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Bekasi Makbullah mengungkapkan, kebijakan tersebut akan diterapkan selambatnya minggu depan. ”Saat ini, surat edaran sedang diproses di Wali Kota, tinggal diparaf. Setidaknya, Rabu depan bisa diberikan kepada seluruh toko kimia,” ujar Makbullah, akhir pekan ini.
Makbullah mengatakan, toko kimia diwajibkan meminta fotokopi kartu identitas pembeli metanol ataupun etanol. ”Dengan tata cara pembelian by name dan by address, maka ketika ada kejadian yang luar biasa, seperti kasus minuman oplosan sekarang ini, kita mudah melacak di mana kejadiannya dan siapa oknum yang membelinya,” ucap Makbullah.
Metanol yang seharusnya digunakan untuk kepentingan industri merupakan salah satu bahan utama miras oplosan yang biasa disebut ginseng tersebut. Pada Januari hingga April 2018, korban meninggal akibat miras oplosan di Indonesia sudah mencapai 99 orang. Korban terbanyak ada di Cicalengka, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, yang mencapai 42 orang.
Kasus miras oplosan di Kota Bekasi menyebabkan tujuh korban tewas, yakni 4 orang di Bekasi Selatan dan 3 orang lain di Pondok Gede. Mereka membeli minuman oplosan tersebut dari beberapa warung jamu di Jatiasih, Jatimekar, dan Pondok Surya Mandala, Bekasi Selatan.
Korban yang tewas antara lain, AA, BA, A, S, MR, AR, dan AB. Usia korban berkisar 20-35 tahun. Selain korban tewas, terdapat juga korban selamat yang dirawat di dokter ataupun rumah sakit karena mereka merasakan sakit di bagian dada, perut, dan mata.
Dimas (21), salah satu pengonsumsi minuman oplosan di Jakasetia, Bekasi Selatan, mengaku mengalami gangguan penglihatan, dada terasa panas, dan sakit pada perut seusai menenggak minuman keras oplosan ginseng bersama empat rekannya pada Minggu (1/4/2018) malam di Jalan Manggis 1 Jakasetia. Meskipun tidak ada korban jiwa di lokasi itu, Dimas dan rekan-rekannya menderita sakit yang belum pernah mereka alami.
Dimas yang sudah lima bulan menganggur ini membeli minuman oplosan yang biasa disebut ginseng itu di sebuah warung jamu di Pondok Surya Mandala, Bekasi Selatan. ”Kami berlima minum enam plastik dicampur sama minuman susu fermentasi campur soda. Biasanya tidak ada masalah. Kalau sudah tahu begini, kami kapok,” kata Dimas, saat ditemui di Jakasetia, Jumat (13/4/2018).
Kepala Kepolisian Resor Metro Bekasi Kota Komisaris Besar Indarto mengungkapkan, polisi telah menetapkan dua tersangka, yakni NR dan UG, dalam kasus tewasnya tujuh orang seusai mengonsumsi minuman oplosan di Kota Bekasi. NR ditangkap pada saat polisi menggerebek sebuah kamar kontrakan di Jalan Setia Kawan, Kelurahan Jatirasa, Kecamatan Jatiasih, yang dijadikan tempat produksi minuman oplosan, sedangkan UG diamankan di Jalan Ratna, Jatibening, Kecamatan Pondok Gede.
Terhadap dua tersangka yang telah ditangkap, Indarto menegaskan, polisi berencana menerapkan Pasal 338 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang Pembunuhan dengan ancaman hukuman penjara maksimal 15 tahun. Artinya, polisi akan menggunakan pasal berlapis karena sebelumnya telah menjerat tersangka dengan Pasal 204 KUHP tentang memberikan makan dan minum yang dapat membahayakan jiwa dengan ancaman hukuman penjara selama 20 tahun serta Undang-Undang No 36/2009 tentang Kesehatan.
Polisi masih mengejar satu pelaku lain, yakni AM alias Bewok yang menjadi produsen minuman oplosan di Jalan Setia Kawan. AM diduga sudah kabur ke luar kota. ”Anggota masih cari (dia),” kata Kombes Indarto, Jumat (13/4/2018).
Rachman, Ketua RW 003 Kelurahan Jatirasa Kecamatan Jatiasih, mengatakan, AM tinggal mengontrak di Jalan Setia Kawan selama empat tahun terakhir. Adapun pada tiga tahun belakangan, AM mulai berbisnis warung jamu. ”Yang kami tahu dia itu jualan jamu, tidak ada yang tahu kalau jualan ginseng (oplosan). Jarang ada yang datang ke kontrakan dia,” ucap Rachman.
Saat menggerebek kamar kontrakan yang dijadikan tempat produksi minuman oplosan, polisi menemukan sejumlah barang yang diduga dipakai menjadi bahan minuman oplosan tersebut, yakni 2 liter alkohol industri (metanol), minuman berenergi, sirup, cairan karamel, dan cairan aroma wiski.
Kamar kontrakan yang kini sudah diberi garis polisi itu tampak kumuh, kotor, dan masih banyak galon-galon berisi air putih. Untuk menuju kamar kontrakan yang disewa AM, terdapat lorong beralas tanah selebar kurang dari 1 meter.
Metanol belum diatur
Peredaran metanol selama ini belum dikendalikan. Belum ada regulasi yang khusus mengatur peredaran metanol yang biasanya digunakan untuk kepentingan industri. Berdasarkan penelusuran Kompas, alkohol industri dapat diperoleh dengan mudah di toko penyedia bahan kimia.
Salah satu toko kimia di kawasan Pasar Senen, Jakarta Utara, menjual metanol per botol isi 1,5 liter itu seharga Rp 15.000. Lain halnya dengan alkohol etanol, itu umumnya dijual di apotek dan dijual dengan harga lebih tinggi, alkohol 70 persen untuk 300 mililiter dijual seharga Rp 15.000.
Padahal, Kepala Dinas Koperasi, UMKM, dan Perdagangan DKI Jakarta Irwandi mengakui, kejadian miras oplosan yang menyebabkan banyak korban tewas dipastikan karena penyalahgunaan bahan kimia metanol. Di Jakarta, peredaran metanol selama ini memang diperbolehkan untuk kepentingan tertentu.
Perdagangan metanol yang termasuk bahan kimia berbahaya, lanjutnya, mesti mendapatkan izin perdagangan dari dinas penanaman modal dan pelayanan terpadu satu pintu (DPMPTSP). ”Namun kami juga sering melakukan razia atas perdagangan bahan kimia tersebut. Kami sering cek di lapangan, seringnya kami memantau penjualan boraks dan formalin. Razia perdagangan bahan kimia belum mengarah ke metanol,” ujar Irwandi.
Di Cicalengka, Kabupaten Bandung, juga belum ada aturan yang mengendalikan peredaran metanol. Kepala Bidang Perdagangan Dalam dan Luar Negeri Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kabupaten Bandung Deden Nuramdani, ditemui di Komplek Pemda Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Jumat (13/4/2018), mengatakan, pihaknya hanya berwenang melakukan pengawasan terhadap pelaku usaha yang telah mengajukan perizinan.
Jika berbicara soal miras oplosan yang beredar secara ilegal, Deden mengatakan, ”Ranahnya bukan di kami. Karena miras oplosan bukan barang komoditas untuk diperdagangkan,” kata Deden.
Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 9 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 3 Tahun 2004 tentang Pelarangan Peredaran dan Penggunaan Minuman Beralkohol, pengendalian terhadap pelaksanaan perda tersebut dilakukan bupati yang secara teknis oleh satuan kerja perangkat daerah (SKPD) terkait.
Koordinator Divisi Pengaduan dan Hukum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Sularsi menyampaikan, pada dasarnya metanol itu dibutuhkan untuk kepentingan industri. Metanol yang kini ditemukan sebagai campuran miras oplosan itu merupakan penyimpangan karena metanol bukan untuk dikonsumsi. ”Jadi dipastikan itu penyalahgunaan fungsi,” ucap Sularsi.
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Suratmono mengatakan, miras oplosan tidak dapat dikategorikan dalam minuman keras atau beralkohol karena mengandung bahan yang tak layak konsumsi, seperti alkohol teknis berisi metanol. ”Jadi, minuman oplosan itu jelas racun. Isinya bahan tak layak konsumsi,” kata Suratmono, saat ditemui di Kantor BPOM, di Jakarta, Kamis (12/4).
Suratmono mengakui, dibutuhkan regulasi untuk mengatur peredaran alkohol teknis agar tidak rawan disalahgunakan. Meskipun alkohol teknis dibutuhkan, perlu diawasi penggunaannya. Untuk itu, saatnya duduk bersama dari kementerian dan lembaga terkait untuk merumuskan hal tersebut.
”Seperti halnya formalin, itu kan dulu juga diatur. Jadi sekarang ini perlu ada peraturan untuk pengendalian metanol. Koordinasinya di mana? Ada di Kemenko Perekonomian, Kementerian Perdagangan, serta Kementerian Perindustrian. Karena industri membutuhkan,” kata Suratmono.
(RYAN RINALDI/BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA/DD16/HELENA NABABAN)