JAKARTA, KOMPAS — Tarif transportasi baru yang akan hadir pada 2018 dan 2019, yakni kereta rel ringan (LRT) dan transportasi massal cepat (MRT), dinilai masih relatif tinggi. Tarif itu berpotensi mengakibatkan jumlah penghasilan warga untuk biaya transportasi umum melampaui 10 persen setiap bulannya atau lebih dari standar Bank Dunia.
Sebelumnya, PT Jakpro sebagai operator LRT Gading-Velodrome mengumumkan tarif sebesar Rp 10.000 per penumpang. Menurut rencana, LRT akan beroperasi Agustus 2018 sebelum Asian Games Jakarta 2018.
Sementara itu, PT MRT Jakarta juga telah memperkirakan tarif sebelum subsidi, berkisar Rp 17.000-Rp 20.000 per penumpang. Tarif itu untuk MRT tahap satu, dengan rute Lebak Bulus-Bundaran Hotel Indonesia yang akan beroperasi pertengahan 2019.
Minggu (22/4/2018) di Jakarta, pengamat transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata, Djoko Setijowarno, mengatakan, tarif tersebut masih terlalu tinggi untuk masyarakat Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek).
Tarif tersebut akan melebihi standar biaya transportasi umum yang ditetapkan Bank Dunia, yaitu 10 persen dari gaji. Adapun biaya pergi dan pulang untuk naik LRT per bulan mencapai Rp 400.000 dan MRT sekitar Rp 800.000. Jumlah itu didapatkan dengan kondisi lima hari kerja dalam seminggu.
Dengan asumsi itu, total pengeluaran untuk transportasi sudah melebihi standar Bank Dunia, LRT sekitar 11 persen, dan MRT sekitar 22 persen. Persentase itu merupakan perhitungan dengan upah minimum provinsi DKI Jakarta, sebesar Rp 3,6 juta, yang merupakan terbesar di Jabodetabek.
Hal itu akan membuat harga transportasi Jabodetabek timpang dengan negara lain. Djoko mengatakan, biaya transportasi tidak lebih dari tiga persen, seperti di Singapura dan Perancis.
Di Perancis, penumpang hanya perlu membayar 108 euro per bulan untuk seluruh transportasi umum. Tarif tersebut terbilang kecil jika dibandingkan dengan gaji terendah seorang warga Perancis sebesar 1.600 euro per bulan.
”Jabodetabek juga harus mengaplikasikan itu. Setidaknya, idealnya, ya, seperti Bank Dunia, 10 persen dari penghasilan,” ucap Djoko.
Hal senada disampaikan pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna. Menurut dia, tarif perkiraan itu masih terlalu tinggi. Belum lagi penumpang masih harus membayar transportasi pengumpan menuju stasiun MRT dan LRT atau setelahnya.
”Kan, masih perlu integrasi. Orang mau ke stasiun, kan, harus naik ojek daring, naik kendaraan pengumpan, dan lainnya. Itu membuat pengeluaran untuk transportasi umum semakin tinggi,” ucap Yayat.
Yayat menyarankan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta segera menghitung kemampuan menyubsidi. Hal itu untuk mencari alternatif bila harga masih tinggi setelah disubsidi.
”Pemprov harus mempertegas subsidi tarif dulu. Ini masalah yang paling penting untuk menarik penumpang berpindah dari kendaraan pribadi. Kalau terlalu mahal, orang akan berpikir mendingan naik motor, hanya perlu biaya parkir dan bensin,” kata Yayat.
Kehadiran LRT dan MRT membuat Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek menargetkan pertambahan pengguna transportasi umum. Pada 2019, BPTJ menargetkan pengguna kendaraan umum mencapai 40 persen, sedangkan target meningkat menjadi 60 persen pada 2029. Adapun saat ini baru sekitar 20 persen yang menggunakan transportasi umum.
Direktur Prasarana BPTJ Risal Wasal mengucapkan, saat ini pihaknya sedang mempersiapkan perhitungan harga LRT dan MRT. ”Kami lagi melihat akan disubsidi atau tidak. Kan, kereta komuter sudah disubsidi,” ucapnya.
Meski demikian, Risal menilai, tarif MRT dan LRT tidak boleh terlalu jauh dari tarif transjakarta, Rp 3.500. Jika terlalu jauh, tentunya masyarakat lebih memilih menggunakan transjakarta.
”Kalau yang satu Rp 3.500, yang di atasnya lebih dari Rp 10.000 tidak lakulah. Untuk itu, kasih kami waktu untuk evaluasi sistem penarifan ini. Juga pola subsidi dan siapa yang akan memberi subsidi nanti akan kami bicarakan lagi,” kata Risal.