BOGOR, KOMPAS — Presiden Joko Widodo mempertimbangkan masukan pegiat organisasi perempuan terkait penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Penerbitan Perppu dinilai penting karena menyangkut isu perlindungan perempuan dan upaya penanggulangan kemiskinan.
Desakan ini disampaikan puluhan pegiat organisasi perempuan saat menemui Presiden Joko Widodo di Istana Bogor, Jawa Barat, Jumat (20/4/2018).
“Presiden melihat usulan aktivis perempuan sangat penting untuk melindungi hak-hak perempuan, mengurangi kematian ibu, dan mengurangi angka kemiskinan,” kata Koordinator Staf Khusus Presiden Teten Masduki seusai mendampingi Presiden pada pertemuan itu.
Menurut Teten, usulan ini tidak terkait dengan kasus apa pun. Karena dianggap penting, Presiden menugaskan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno untuk mengkaji usulan itu. Presiden juga meminta sejumlah menteri terkait melakukan hal serupa.
Selain Teten, hadir di pertemuan itu Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani, serta Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yambise.
Ada pun puluhan pegiat organisasi perempuan yang hadir di antaranya Ketua Yayasan Kesehatan Perempuan Zumrotin Direktur Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia Ruby Kholifah, Direktur Kapal Perempuan Misiyah, Direktur Rahima Aditiana Dewi Eridani, Ketua Rumah Sahabat Perempuan Musliha, dan sejumlah pegiat perempuan lain.
“ Pertemuan ini pada Jumat kemarin tidak terjadwal pada kegiatan Presiden yang bisa diliput media. Pertemuan dengan perwakilan organisasi perempuan itu berlangsung tertutup di Istana Bogor selama kurang lebih satu jam.
Tuntutan serupa mereka sampaikan saat berdiskusi dengan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, Senin (12/3), di Jakarta. Menurut mereka, kasus kekerasan seksual dan perkawinan anak saat ini jumlahnya terus meningkat, Kompas, Selasa (13/3/2018).
Selain itu, aktivis perempuan meminta agar Presiden mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual dan penundaan pengesahan RUU Hukum Pidana (RUHP).
Payung hukum RUHP, kata Teten, pada sebagian pasalnya dinilai masih merugikan kepentingan perempuan.
Secara terpisah, Direktur Institut Lingkaran Pendidikan Alternatif Perempuan (Kapal Perempuan Misiyah, berharap aspirasi yang disampaikan segera ditindaklanjuti pemerintah terutama yang terkait dengan pencegahan perkawinan anak, pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, dan RUU Hukum Pidana yang berpotensi kriminalisasi perempuan.
Berdampak langsung
Para pegiat organisasi perempuan itu menyampaikan usulan agar pemerintah menerbitkan kebijakan yang berdampak langsung pemenuhan hak-hak dasar terutama kebijakan untuk mencegah dan menghentikan perkawinan anak.
Kehadiran Perppu itu dinilai mendesak. Karena hal itu akan berkontribusi kepada keberhasilan dalam bidang pendidikan yaitu Wajib Belajar 12 Tahun, penurunan angka kematian ibu (AKI) yang saat ini masih tinggi yaitu 305 per 100 ribu kelahiran, mencegah perdagangan perempuan, serta memutus mata rantai kemiskinan. (NDY/SON)