JAKARTA, KOMPAS — Pendidikan menjadi kata kunci dalam pemberdayaan perempuan. Aksesibilitas yang tinggi terhadap perempuan diyakini dapat meningkatkan kontribusi mereka terhadap masyarakat, lingkungan, dan negara. Usaha untuk meningkatkan teraksesnya pendidikan bagi perempuan perlu terus didorong.
Taty Aprilyana, Pendiri Komunitas Kebaya, Buku, dan Perempuan, mengatakan, pendidikan itu mampu memberdayakan karena membuka cakrawala baru terhadap dunia. Pengetahuan yang didapat melalui pendidikan, lanjutnya, membuat perempuan memahami suatu persoalan tidak dari satu perspektif saja.
”Persoalan dapat mereka pahami tidak hanya dari apa yang diajarkan oleh lingkungan mereka. Mereka juga bisa jadi tahu bahwa semua orang setara dan punya hak-hak yang sama,” kata Taty saat menjadi pembicara dalam diskusi bertema ”Raise Our Voice: Empowering Women Through All Areas”, di Jakarta, Sabtu (21/4/2018).
Dalam diskusi itu, dibahas sosok tokoh perempuan muda asal Pakistan bernama Malala Yousafzai (21). Ia mendapatkan Penghargaan Nobel Perdamaian pada 2014—saat usianya menginjak 17 tahun—atas kegigihannya memperjuangkan pendidikan bagi anak-anak dan pemuda, terutama perempuan.
Atas kepeduliannya terhadap hal itu, Malala ditembak oleh kelompok Taliban dan membuat peluru bersarang di kepalanya. Malala ditembak karena dianggap mengampanyekan budaya Barat. Sejak berusia 11 tahun, ia giat mengampanyekan pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan, suatu hal yang dilarang oleh Taliban (Kompas, 12/10/2012).
Hal itu membuat Ratih Ibrahim, psikolog dan Direktur Personal Growth, beranggapan, Malala seakan memiliki hubungan dengan RA Kartini. Keduanya sama-sama memperjuangkan pendidikan dan kesetaraan bagi kaum perempuan.
Ratih menambahkan, semangat Malala yang bernapas sama dengan semangat Kartini harus ditiru dan disebarluaskan kepada seluruh perempuan Indonesia.
”Pendidikan bagi kaum perempuan harus diperjuangkan karena itu adalah jalan untuk memberdayakan mereka,” ujarnya.
Menurut Ratih, pendidikan mampu membuat perempuan memiliki karakter yang kuat. Hal itu disebabkan rasa percaya diri yang terangkat akibat adanya pengetahuan dan keahlian yang didapat perempuan setelah memperoleh pendidikan.
”Mereka jadi memiliki pengetahuan lebih. Itu membuat mereka bisa memandang diri mereka lebih setara. Hal itu berdampak pada rasa percaya diri untuk vokal dalam menyatakan pendapat dan mempertanyakan tentang suatu hal,” tuturnya.
Pendidikan, lanjut Ratih, tidak harus dilakukan secara formal melalui sekolah. Pendidikan juga bisa didapatkan di luar sekolah melalui kursus atau pelatihan.
Salah satunya seperti yang dilakukan Ukke Kosasih, pendiri Circa Handmade. Usaha yang dirintis Ukke itu sedari awal ingin memberdayakan perempuan-perempuan yang ada di kampung halamannya, Cihanjua, Jawa Barat.
Ukke melihat, masih terdapat konstruksi sosial bahwa perempuan harus di rumah dan tidak perlu mengembangkan dirinya karena ia harus membesarkan anak dan mengurus rumah tangga.
Contohnya adalah pernikahan dini yang memaksa seorang perempuan muda harus mengurus anak meski usianya masih di bawah 17 tahun dan masih dalam usia sekolah.
Pada tahun 2017, Badan Pusat Statistik menunjukan, angka buta huruf untuk perempuan yang berusia di atas 15 tahun menurun dari 6,41 persen pada 2016 menjadi 5,64 persen pada 2017. Namun, penurunan tidak selalu terjadi tiap tahun. Selain itu, angka buta huruf masih selalu ada.
Menurut Ukke, meski akses pendidikan sudah lebih mudah, masih ada perempuan yang buta huruf. Itu menunjukkan belum semua perempuan memiliki akses pada pendidikan.
”Selain itu, masih ada konstruksi sosial yang ’merumahkan’ perempuan sehingga mereka tidak bisa mengembangkan diri sesuai keinginan mereka. Pendidikan untuk perempuan harus terus didorong,” ucap Ukke.