Literasi Emosi Penting bagi Pengguna Media Sosial
JAKARTA, KOMPAS — Begitu banyaknya ujaran kebencian di media sosial saat ini dinilai lebih dipengaruhi oleh faktor emosi masyarakat saat menanggapi kemajuan teknologi.
Oleh karena itu, selain literasi media yang mengedepankan rasionalitas, literasi emosi menjadi penting untuk mengendalikan perilaku negatif saat menggunakan media sosial.
Pengajar Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Karlina Supelli, Sabtu (21/4/2018) di Jakarta, mengatakan, perkembangan teknologi informasi digital di Indonesia berjalan dengan pesat, sementara orang Indonesia kurang dapat mengimbangi kemajuan tersebut. Hal itu kemudian yang menciptakan konsumerisasi informasi.
”Kita semua punya realitas yang nyata, tetapi kalau dihadapkan di komputer bingung. Ini mungkin yang menjadi alasan orang gampang menghina dan memaki di media sosial karena yang dihadapi layar, bukan orang,” tutur Karlina saat menjadi pembicara dalam seminar ”Dunia Digital dan Masyarakat Tunggang Langgang” pada Dies Natalis STF Driyarkara di Jakarta, Sabtu.
Karlina menilai, dunia digital saat ini lebih dipengaruhi oleh aspek emosional dibandingkan nalar atau rasionalitas. Pada hakikatnya, faktor emosional seperti hasrat merupakan hal yang mengendalikan nalar atau rasionalitas.
Dengan demikian, literasi emosi menjadi penting di samping melakukan literasi media yang mengedepankan aspek rasionalitas.
”Bisa dilihat kata-kata kunci yang kerap kita temui di media sosial antara lain sebarkan, viral, teruskan, dan lain-lain. Itu hal yang sangat emosional,” ujar Karlina.
Karlina mengatakan, pada 2006, Sepandar Kamvar dan Jonathan Harris meluncurkan mesin pencari untuk menjaring ungkapan-ungkapan emosional di internet. Dalam lima tahun, mesin tersebut menemukan 14 juta ungkapan dan setiap hari jumlah tersebut bertambah 15.000-20.000 ungkapan.
Menurut Karlina, hal itu merupakan sesuatu yang lumrah dalam setiap diri manusia. Dari sisi luhur, manusia ingin saling berinteraksi, berkomunikasi, dan terhubung dengan orang lain.
Adapun dari sisi sebaliknya, manusia ingin terkenal, ingin dipuja dengan menyebarkan informasi, entah informasi tersebut benar atau tidak.
Demokrasi dan emosi
”Dari fenomena ini muncul yang namanya ekonomi perhatian. Sesuatu menjadi dianggap lebih bernilai diukur dari seberapa banyak jumlah klik di situs atau media sosial. Semua ini menjadi sumber daya yang dapat dimanfaatkan oleh siapa saja, termasuk dalam hal politik. Pihak mana pun dalam politik dapat memanfaatkan keadaan di media sosial saat ini,” tutur Karlina.
Oleh karena itu, literasi emosi, ketika orang dapat mengendalikan emosi dalam politik, menjadi penting karena demokrasi yang sehat berasal dari emosi yang sehat.
Jika itu tidak dilakukan, pilihan politik hanya berdasarkan suka atau tidak suka, padahal seharusnya pilihan berdasarkan penilaian baik atau tidak baik bagi kepentingan publik.
Dinita Andriani Putri, Direktur Eksekutif Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG), juga menilai perilaku masyarakat di media sosial saat ini tidak dapat dipisahkan dari faktor emosinya.
”Emosi dan rasa yang dialami ketika berada atau menggunakan teknologi adalah nyata. Yang berbeda adalah ruang dan waktu dari dunia virtual tersebut,” kata Dinita.
Polarisasi menguat
Dinita menyoroti, perkembangan teknologi saat ini juga berkontribusi terhadap menguatnya polarisasi atau terpisahnya pandangan di antara masyarakat.
Hal itu disebabkan fenomena yang disebut dengan filter bubble, yaitu pengguna media sosial hanya akan melihat apa yang serupa dengan profil pengguna, sesuai dengan kesukaannya. Hal ini salah satu manfaat dari kehadiran kecerdasan buatan, yaitu fitur deep learning.
”Mayoritas pengguna internet menyerahkan identitasnya secara sukarela kepada internet. Sejumlah data ini sangat berharga dan dapat dengan mudah dibuat menjadi konstruksi identitas individu,” ucap Dinita.
”Contoh, ketika Anda menggunakan media sosial, platform tersebut dapat dengan mudah mengonstruksikan identitas Anda sebagai penyuka, misalnya, filsafat, sepak bola, penyayang kucing, dan lainnya. Alhasil, feed atau tautan yang akan diberikan kepada Anda lebih banyak yang terkait dengan identitas Anda, terlepas itu benar atau salah,” lanjut Dinita.
Fenomena ini dapat memperkuat polarisasi dalam hal politik, bahkan suku, ras, agama, dan antargolongan (SARA).
Di media sosial, orang hanya disuguhi pandangan politik yang mirip dengan pandangan orang tersebut. Dengan demikian, masyarakat semakin tidak terbiasa menghadapi perbedaan.
”Hal itu diperburuk dengan adanya bot atau mesin di internet yang semakin banyak digunakan oleh politisi untuk mengubah opini masyarakat. Masih banyak masyarakat yang kesulitan membedakan bot dan akun asli, membuat bot lebih mudah menggunakan pengaruhnya untuk mengubah identitas politik masyarakat,” kata Dinita.
Sementara Alois Wisnuhardana, Tenaga Ahli Madya Kantor Staf Presiden, menilai, kegalauan penggunaan media sosial justru berada di wilayah yang infrastruktur internetnya telah maju.
Menurut dia, dari seluruh pengguna gawai di Indonesia, hanya 5 persen yang melakukan validasi terhadap berita informasi yang ia dapat sebelum informasi tersebut disebarkan kembali.
Alois sepakat bahwa literasi yang perlu dilakukan tidak hanya yang bersifat kognitif, tetapi juga literasi yang bersifat emosional.
Menurut dia, dengan fenomena media sosial di Indonesia yang dibanjiri hoaks atau ujaran kebencian, yang dilakukan pemerintah bisa diibaratkan seperti mencari sumber pencemaran di suatu sungai yang sudah tercemar.
”Setelah itu, baru pembersihan sungai dapat dilakukan. Pemblokiran beberapa akun-akun provokatif dan penebar hoaks diperlukan, tetapi diperlukan juga tindakan lain, seperti edukasi,” kata Alois.