Inilah Alasan di Balik Keputusan BI Pertahankan Suku Bunga
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
LOMBOK BARAT, KOMPAS — Bank Indonesia tengah fokus untuk menjaga momentum pemulihan ekonomi domestik. Selain mempertahankan suku bunga acuan, bank sentral juga mencermati sejumlah risiko akibat ketidakpastian ekonomi global.
Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Firman Mochtar mengatakan, keputusan untuk mempertahankan suku bunga acuan tidak terlepas dari upaya menjaga stabilitas perekonomian dalam negeri.
”Mempertahankan suku bunga acuan diharapkan dapat meningkatkan konsumsi dan permintaan, khususnya investasi, sehingga ekonomi domestik bisa terus tumbuh,” ujar Firman di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, Sabtu (21/4/2018).
Untuk menjaga stabilitas ekonomi makro, BI mempertahankan suku bunga acuan BI 7-day Reverse Repo Rate sebesar 4,25 persen dengan suku bunga deposit facility 3,5 persen dan lending facility 5 persen.
Pada triwulan I-2018, BI memperkirakan jumlah investasi, baik pada bangunan maupun nonbangunan, mengalami peningkatan dari triwulan I-2017. Sementara konsumsi swasta diprediksi meningkat seiring dengan pemilihan kepala daerah serentak.
Konsumsi swasta diprediksi meningkat seiring dengan pemilihan kepala daerah serentak.
Dari sisi eksternal, ekspor tumbuh positif terutama bersumber dari ekspor komoditas pertambangan dan produk manufaktur yang membaik. Sementara itu, impor juga diperkirakan meningkat, khususnya barang modal dan bahan baku.
”Keputusan besaran suku bunga telah mempertimbangkan penyesuaian aliran modal ke dalam negeri yang terdampak ketidakpastian ekonomi global,” ujar Firman.
BI memperkirakan, sepanjang 2018 pertumbuhan ekonomi akan berkisar 5,1-5,5 persen. Adapun inflasi diperkirakan tetap berada dalam kisaran target, yakni 2,5-4,5 persen. Maret lalu inflasi tercatat 0,2 persen secara bulanan, turun dari Januari yang sebesar 0,17 persen.
Kepala Grup Riset Makroprudensial Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Retno Ponco Windarti menilai, mempertahankan suku bunga acuan BI 7-day Reverse Repo Rate sebesar 4,25 persen dapat menjaga stabilitas sistem keuangan.
”Sistem keuangan yang stabil bisa berdampak pula pada intermediasi perbankan yang membaik,” ucap Retno.
Hal tersebut tecermin pada rasio kredit bermasalah (NPL) relatif tidak berubah sebesar 2,9 persen (gross) atau 1,3 persen (net) pada Februari 2018. Sementara rasio kecukupan modal (CAR) perbankan yang cukup tinggi mencapai 23,1 persen dan rasio likuiditas (AL/DPK) sebesar 23,0 persen pada Februari 2018.
Di sisi lain, pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) pada Februari 2018 tercatat 8,4 persen secara tahunan atau relatif sama dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya.
Adapun pertumbuhan kredit dan DPK akan lebih baik pada tahun ini masing-masing dalam kisaran 10,0-12,0 persen dan 9,0-11,0 persen secara tahunan.
Hal lain yang perlu dijaga, lanjut Retno, adalah neraca perdagangan Indonesia yang pada Maret 2018 surplus 1,09 miliar dollar Amerika Serikat (AS) setelah pada Februari 2018 mengalami defisit 0,05 miliar dollar AS. Perbaikan ini terjadi akibat perbaikan ekspor nonmigas.
Stabilitas ekonomi makro tahun ini perlu dipertahankan agar semua perkiraan tetap sesuai dengan kenyataan.
”Stabilitas ekonomi makro tahun ini perlu dipertahankan agar semua perkiraan tetap sesuai dengan kenyataan. Bank Indonesia juga tetap berkomitmen untuk terus mewaspadai risiko akibat ketidakpastian pasar keuangan global,” kata Retno.
Untuk nilai tukar rupiah, BI mencatat rata-rata harian rupiah melemah 1,13 persen pada Maret 2018. Tekanan terhadap rupiah disebabkan sejumlah perubahan indikator ekonomi AS yang berimbas terhadap ekspektasi pasar akan kenaikan suku bunga Fed Fund Rate yang lebih agresif.