”Ginseng” yang Tak Mengandung Ginseng
Minuman keras oplosan yang menewaskan 99 orang di sejumlah lokasi di Indonesia kerap kali disebut ginseng. Padahal, tak ada kandungan ginseng sedikit pun dalam minuman yang umumnya berwarna hitam tersebut. Menjadi ironi karena ginseng yang semestinya memiliki khasiat menyembuhkan kini diasosiasikan sebagai minuman pembawa petaka.
Berdasarkan hasil uji laboratorium kepolisian terhadap minuman keras oplosan di Cicalengka, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, dan Jakarta, miras oplosan yang kerap disebut ginseng ini sama sekali tidak mengandung ginseng.
Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Jawa Barat Ajun Komisaris Besar Trunoyudo mengatakan, minuman oplosan yang dijual di Jalan Raya Bandung-Garut mengandung metanol dan etanol. ”Ada juga campuran minuman energinya,” kata Trunoyudo, Selasa (17/4/2018).
Kepala Kepolisian Resor Metro Jakarta Selatan Komisaris Besar Indra Jafar menyebutkan, hasil otopsi korban miras oplosan di Jaksel sesuai dengan hasil uji di laboratorium toksikologi. ”Bahwa ada senyawa campuran beberapa cairan, ada metanol, etanol, dan kafein. Tapi, yang mematikan itu metanol,” ucap Indra Jafar.
Di Kota Bekasi, polisi menemukan sejumlah bahan cairan saat menggerebek tempat produksi miras oplosan di sebuah kamar kontrakan sempit di Jalan Setia Kawan, Kelurahan Jatirasa, Kecamatan Jatiasih, awal April silam.
Bahan itu antara lain alkohol teknis yang mengandung metanol, sirup, cairan karamel, minuman berenergi, dan cairan aroma wiski. ”Barang bukti yang diamankan itu diduga sebagai bahan baku untuk meracik minuman ginseng oplosan,” ujar Kepala Kepolisian Resor Metro Bekasi Kota Komisaris Besar Indarto.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga memastikan miras oplosan yang biasa disebut ginseng itu tidak layak dikonsumsi karena mengandung metanol berkadar tinggi. ”Jadi, minuman oplosan itu jelas racun,” ujar Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya BPOM Suratmono saat ditemui di kantor BPOM Jakarta, Kamis (12/4/2018).
Suratmono menyebutkan, minuman yang aman dikonsumsi, seperti diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013 tentang pengendalian dan pengawasan minuman beralkohol, itu adalah yang mengandung etanol (C2H5OH). Minuman itu juga hanya diproses dari hasil pertanian yang mengandung karbohidrat.
Setiap minuman itu, sesuai Peraturan Kepala BPOM Nomor 14 Tahun 2016 tentang standar keamanan dan mutu minuman beralkohol, juga dibatasi kandungan metanol (CH3OH), yakni tidak lebih dari 0,01 persen volume/volume (dihitung pada volume produk).
Adapun minuman oplosan, kata Suratmono, itu banyak yang menggunakan metanol berkadar tinggi yang berada di dalam alkohol teknis. Padahal, alkohol teknis yang berisi metanol itu mudah diperoleh di toko kimia tanpa ada pengawasan karena belum ada regulasi yang mengatur.
Hingga April 2018, minuman oplosan ini telah menelan 99 korban jiwa, terbanyak sepanjang sejarah. Di Jawa Barat sendiri terdapat 61 orang yang meninggal, termasuk 44 orang di Cicalengka. Adapun 38 orang lain yang tewas akibat mengonsumsi miras oplosan berada di Jabodetabek.
Sebelum mencuat kasus miras oplosan yang menelan korban jiwa tersebut, tidaklah sulit memperoleh minuman ginseng. Warga pada umumnya membeli minuman tersebut di warung jamu dan beberapa warung lain yang berkedok kios rokok atau minuman ringan. Namun, kini sudah banyak warung jamu yang tidak lagi beroperasi atau tidak lagi menyediakan ginseng.
Mudah didapat
Di Cicalengka, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, minuman ginseng dapat diperoleh dengan mudah tanpa perlu menggunakan kata sandi atau harus sembunyi-sembunyi. ”Tinggal ngomong beli ginsengnya! Langsung dikasih,” ungkap YS (21), warga Kampung Kebon Suuk, Cicalengka, saat ditemui Sabtu (14/4/2018).
YS bisa dibilang merupakan penikmat miras oplosan sejak tahun 2010. Dia selalu mencicipi minuman ginseng dari warung-warung yang berbeda, sesuai informasi dari mulut ke mulut yang beredar di antara lingkaran pertemanannya.
Akan tetapi, setidaknya tiga tahun belakangan, dia selalu membeli dari warung di Jalan Raya Bandung-Garut, Cicalengka, karena dekat dari rumahnya. Warung yang dimaksud merupakan kios yang Rabu (11/4/2018) lalu digeledah polisi. Kios itu hanya berjarak 150 meter dari rumah tersangka peracik miras oplosan, Syamsudin Simbolon, di jalan yang sama.
Meski kios tersebut berkedok warung rokok, YS tidak pernah kesulitan membeli minuman oplosan berwarna kuning itu. Tak butuh waktu lama agar minuman mematikan yang dikemas dalam botol air mineral ukuran 600 mililiter tersebut berpindah tangan dari penjual ke pembeli.
YS bersama teman-temannya mengonsumsi ginseng setiap kali berkumpul, setidaknya dua kali seminggu, untuk membuat suasana menjadi lebih menyenangkan. Dia terakhir meminum ginseng pada Sabtu (7/4/2018). Ginseng menjadi pilihan karena harganya murah, yakni Rp 20.000 per botol.
”Harga ginseng selalu merakyat,” ucap YS, yang sehari-hari bekerja sebagai buruh bangunan lepas.
YS adalah salah satu korban miras oplosan yang turut menjalani pemeriksaan di RSUD Cicalengka pada Selasa (10/4/2018).
Biasanya, saat menenggak ginseng dari warung tersebut, YS dan teman-teman hanya mabuk dan tidak sampai mual. Namun, ada yang berbeda pada minuman oplosan kali ini, kata YS. ”Ginsengnya langsung bikin perut panas. Biasanya enggak,” ujarnya.
Gara-gara ginseng tersebut, YS harus bolak-balik sebanyak dua kali ke RSUD Cicalengka dan sempat menginap di IGD selama semalam karena perutnya melilit dan dada terasa panas. ”Sampai sekarang perut masih melilit. Tidur jadi teu (tidak) keruan,” katanya.
Ila, warga sekitar Jalan Raya Bandung-Garut, menyatakan, warung yang digeledah polisi tersebut selalu ramai pembeli, terutama pada malam hari. Kebanyakan yang datang adalah pemuda laki-laki. ”Bahkan ada beberapa yang ke sana masih pakai seragam sekolah,” ujar Ila.
Sepengetahuan Ila, warung tersebut dikenalnya sebagai warung rokok. Hampir semua pembeli mengendarai motor dan hanya singgah sebentar untuk kemudian langsung pergi membawa barang belanjaannya.
Paket campuran
Di Kota Bekasi, sejumlah pemuda membeli miras oplosan dengan menyebut angka tertentu untuk menambahkan campuran minuman lain. Sebagai gambaran, mereka menyebut paket dua-satu untuk membeli dua plastik minuman ginseng yang dicampur dengan satu kaleng minuman susu fermentasi bersoda dengan rasa buah-buahan.
”Istilahnya paket dua satu. Setiap dua plastik dicampur satu kaleng minuman rasa buah,” kata Dimas (21), warga Jakasetia, Bekasi Selatan, yang sempat memeriksakan diri ke dokter akibat menenggak ginseng pada Minggu (1/4/2018) malam di Jakasetia.
Dimas bersama sepupunya, Gunawan (24), dan tiga rekannya mengonsumsi enam plastik ginseng pada Minggu (1/4/2018) malam. Setiap dua plastik ginseng dicampur satu kaleng minuman susu bersoda. Adapun satu plastik dibeli dengan harga Rp 16.000. ”Jadi untuk paket dua satu itu harganya Rp 40.000. Dua plastik ginseng Rp 32.000 ditambah Rp 8.000 buat minuman kalengnya,” ucap Dimas yang sudah lima bulan terakhir menganggur.
Dimas dan Gunawan mengakui memilih membeli ginseng karena harganya murah dibandingkan dengan minuman beralkohol golongan C, baik yang lokal maupun impor, dengan kadar alkohol di atas 20 persen. Sebagai gambaran, minuman beralkohol lokal isi 350 mililiter yang dikemas dalam botol kaca seharga Rp 65.000-Rp 95.000 per botol, sedangkan minuman beralkohol impor seharga lebih dari Rp 500.000 untuk isi 750 mililiter.
Di Pondok Cina, Kota Depok, warga yang kerap mengonsumsi miras oplosan juga dapat memperolehnya di warung-warung pinggir jalan di Jalan Raya M Jasin dan Pasar Tugu Depok. Siahaan (66), warga Jalan Kober, Pondok Cina, Kecamatan Beji, Depok, mengatakan, anak-anak muda di sekitar tempat tinggalnya biasa mengonsumsi minuman ginseng saat mereka tengah kumpul-kumpul atau nongkrong di akhir pekan.
Antropolog Universitas Indonesia, Raymond Michael Menot, menilai, warga yang mengonsumsi minuman oplosan itu pada umumnya laki-laki dan berada pada usia produktif. Biasanya mereka mengonsumsi karena faktor maskulinitas dan harga yang murah. ”Anak muda yang mengonsumsi oplosan itu biasanya karena mencari maskulinitas. Jadi, kalau laki-laki ya harus berani minum ini,” kata Raymond.
Menurut Raymond, agar kasus serupa tidak berulang, pemerintah perlu mengampanyekan kepada warga yang berada di usia produktif bahwa miras oplosan yang biasa disebut ginseng itu adalah racun bukan minuman beralkohol yang bisa dikonsumsi.
”Lebih gampang kita mengampanyekan kepada konsumen bahwa mereka ini jangan minum racun sehingga bisnis oplosan akan mati sendiri. Harus ada yang mau merumuskan untuk menjadi hebat itu dengan tidak minum oplosan,” ungkap Raymond.
(RYAN RINALDI/BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA/DD16)