Musik orkestra sering diidentikkan dengan musik kaum elitis. Tapi, di Teater Jakarta siapapun bisa menikmati musik klasik gratis tanpa harus berpenampilan necis.
Impian Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan Badan Ekonomi Kreatif menyuguhkan kegiatan-kegiatan seni budaya yang bermutu dan bisa dinikmati semua kalangan masyarakat terwujud dengan tampilnya Jakarta City Philharmonic (JCP) dua tahun terakhir. Penampilan ke-11 mereka bertemakan "Lingkaran Keabadian", Rabu (18/4/2018) malam kemarin di Teater Jakarta disambut hangat sekitar 1.000-an penonton.
Sejak pukul 16.00, deretan penonton mulai mengular di depan pintu masuk Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki. Sebagian besar dari mereka adalah anak-anak muda.
Begitu dibuka pendaftaran online untuk menyaksikan konser tersebut, lebih dari 1700 peminat langsung mendaftar ke panitia. Namun, karena kapasitas Teater Jakarta yang terbatas, akhirnya hanya 1000an pendaftar yang mendapatkan tiket untuk menonton konser JCP.
"Awalnya hanya 250an orang yang mendaftar. Tapi, begitu digelar publikasi melalui media sosial, hanya dalam enam hari jumlah peminat langsung membeludak," Aksan Sjuman, anggota komite Musik DKJ.
Bisa dinikmati siapa pun
Benar-benar di luar dugaan, animo penonton muda terhadap musik orkestra terus-menerus meningkat sejak DKJ dan Bekraf menggelar konser ini 2016 lalu. Fenomena ini meruntuhkan anggapan yang seringkali muncul bahwa musik orkestra hanyalah konsumsi orang-orang tua atau kalangan aristokrat.
"Kini, karya-karya komposisi musik yang katanya hanya bisa dinikmati kaum elitis sekarang bisa dinikmati siapapun," papar Aksan.
Para musisi yang tergabung di JCP terpilih dari proses audisi ketat di Jakarta dan Yogyakarta. Dalam konser ke-11 kemarin, tampil 65 musisi yang memainkan biola 1, biola 2, biola alto, cello, kontrabas, flute, pikolo, obo, trumpet, klarinet, fagot, trombon, tuba, perkusi, dan harpa. Tampil sebagai dirijen, Budi Utomo Prabowo yanga juga menjadi konseptor utama JCP.
Eksistensi JCP tidak lepas dari dukungan para penggemarnya yang tergabung dalam Kawan JCP. "Kawan JCP mulai dibentuk sejak 2016. Sekarang, sudah ada 1200an orang Kawan JCP yang setia mendukung penampilan JCP," terang Ketua Komite Musik DKJ, Anto Hoed.
Kenang Suka Hardjana
Konser JCP ke-11 menampilkan komposisi-komposisi karya tiga komposer barat, Johan Sebastian Bach (1685-1750), Max Reger (1873-1916), dan Pyotr Ilyich Tchaikovsky (1840-1893), serta satu komposer dalam negeri Jenny Rompas. Dalam konser tersebut, JCP secara khusus mendedikasikan komposisi Bach, Aria pada Dawai G untuk mengenang almarhum Suka Hardjana yang baru saja berpulang, 7 April 2018 lalu.
Komposisi Aria pada Dawai G mengawali konser dengan sangat apik. Gesekan biola lembut panjang disambut dengan ketukan-ketukan pendek kontrabas menghasilkan alunan simfoni merdu. Pada awalnya, komposisi ini terdengar sederhana, namun perlahan-lahan mencapai dinamika dan harmoni yang semakin rumit.
Berikutnya, dengan jumlah musisi yang lebih sedikit tampillah komposisi karya Jenny Rompas berjudul "O", mirip seperti tema konser ini, Lingkaran Keabadian. "Komposisi ini disusun dengan gaya zaman now, sengaja dibuat pendek agar tidak membosankan tetapi diulang-ulang secara terus-menerus," kata Budi sang dirijen.
Berbeda dengan komposisi-komposisi klasik yang cenderung harmonis, teratur, serta merdu, komposisi Jenny terdengar rumit, mencekam, dan mengesankan suasana kegentingan. Komposisi "O" ditampilkan pertama kali secara langsung di Teater Jakarta.
Sementara itu, komposisi Max Reger merupakan variasi dari sonata-sonata Mozart yang dibuat dalam delapan jenis varias. Di bagian penutup, Tchaikovsky menyajikan komposisi-komposisi gerakan balet.