Juni, Perusahaan Aplikasi Angkutan Daring Berubah Status
Oleh
DD14
·4 menit baca
DEPOK, KOMPAS — Pada 1 Juni, Kementerian Perhubungan berharap, peraturan menteri perhubungan tentang peralihan status aplikator angkutan menjadi perusahaan transportasi sudah dapat diundangkan. Dengan demikian, hak konsumen dan pengemudi angkutan daring diklaim Kementerian Perhubungan dapat semakin terjamin.
”Saat ini, perumusan permen (peraturan menteri) itu sudah sampai tahap membahas dengan komunitas driver online (pengemudi daring). Sebelumnya kami sudah membahas dengan pakar dan perusahaan aplikasi itu sendiri. Mereka prinsipnya sudah menerima pengaturan. Hanya pengaturannya secara rinci yang masih kami bicarakan bersama,” tutur Syafrin Liputo, Kepala Subdirektorat Angkutan Orang Direktorat Angkutan dan Multimoda Kementerian Perhubungan, seusai menjadi pembicara dalam acara seminar ”Transportasi Online: Sudah Amankah?” yang diselenggarakan Vamsa Indonesia di Kampus UI, Depok, Jumat (20/4/2018).
Menurut Syafrin, selama ini perusahaan angkutan daring terdaftar sebagai perusahaan aplikasi di Kementerian Komunikasi dan Informatika. Oleh karena itu, Kementerian Perhubungan tidak bisa mengatur secara tegas jika terjadi permasalahan publik yang terkait dengan angkutan daring.
Sejauh ini, pengaturan terakhir tentang angkutan daring adalah Peraturan Menteri (PM) Perhubungan Nomor 108 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Umum Tidak Dalam Trayek. Pengaturan ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. PM itu mewajibkan pengemudi taksi daring melakukan uji kir dan memiliki SIM A Umum.
Oleh karena uji kir dan SIM A Umum dirasa memberatkan, sopir taksi daring memprotes dan berunjuk rasa. Unjuk rasa membuat penerapan peraturan yang sesungguhnya untuk melindungi konsumen itu pun ditunda. Adapun ojek daring tak diatur karena sepeda motor tidak diakui sebagai angkutan umum dalam UU No 22/2009 (Kompas, 4/4/2018).
Tanggung jawab
”Begitu perusahaan aplikasi berubah menjadi perusahaan transportasi, seluruh tanggung jawab penyelenggaraan angkutan online ada di perusahaan transportasi. Selama ini tanggung jawab itu ada di level mitra (pengemudi),” ujar Syafrin.
Syafrin mengatakan, PM yang menurut rencana akan diundangkan pada 1 Juni itu tidak akan berbeda jauh dengan PM 108. ”Kalau untuk pelat nomor kendaraan, nanti tidak akan berubah jadi warna kuning, tetap hitam. Akan tetapi, nanti ada stikernya. Itu agar petugas kepolisian dapat mengetahui jika angkutan daring melakukan tindakan yang menyimpang,” ucap Syafrin.
Perubahan status aplikator angkutan daring menjadi perusahaan transportasi dinilai Syafrin juga akan mempermudah Kementerian Perhubungan menjaga keamanan bagi pengemudi dan konsumen melalui mekanisme digital dashboard. Dalam mekanisme tersebut, berapa jumlah pengemudi dan pergerakan spasial angkutan daring di suatu wilayah dapat diketahui.
Hal itu akan meminimalkan tindak kejahatan yang dilakukan oknum pengemudi atau penumpang angkutan daring. Pemerintah berkaca dari beberapa kasus kriminalitas yang pernah terjadi, antara lain pembunuhan penumpang angkutan daring Yun Siska (29) oleh pengemudi di Bogor pada Maret 2018 dan pembunuhan pengemudi angkutan daring oleh penumpangnya di Semarang pada Januari 2018.
”Mekanisme digital dashboard belum dipenuhi aplikator. Kami hanya dikasih data jumlah kendaraan saja dan data aplikasi pergerakan Google Maps saat pengemudi sudah mengambil penumpang. Setelah itu, rute yang ditempuh lewat mana pun kami tidak bisa mengetahui,” kata Syafrin.
Adapun peneliti dari Institute Transportasi Indonesia (Intrans), Deddy Herlambang, menilai, pemerintah harus tegas mengatur angkutan daring yang ada di Indonesia. Perubahan status aplikator angkutan daring menjadi perusahaan transportasi merupakan hal yang tepat.
”Pemerintah harus berani memaksa perubahan status itu. Di Inggris dan beberapa negara lain di dunia, aplikator angkutan daring dipaksa menjadi perusahaan transportasi. Akhirnya aplikator pun setuju,” ujar Deddy.
Menurut Deddy, semua jenis bisnis angkutan penumpang di jalanan umum dikategorikan sebagai bisnis yang bergerak di bidang transportasi. Hal itu karena usaha tersebut berkaitan dengan risiko keselamatan di jalan, bukan saja risiko di bidang informasi teknologi.
Pengemudi menolak
Sementara itu, Asosiasi Driver Online (ADO) menolak rencana perubahan status aplikator angkutan daring menjadi perusahaan transportasi. Alasan kesejahteraan pengemudi menjadi penyebabnya.
”Selama ini sebagai mitra saja kami belum diperhatikan, apalagi ketika kami menjadi karyawan perusahaan, bisa lebih parah nanti. Kalau PM 108, kami mendukung karena pengemudi dan konsumen lebih terlindungi,” ujar Burhanudin, Ketua DPD ADO DKI Jakarta.
Ihwal tuntutan kesejahteraan pengemudi angkutan daring, Syafrin menyampaikan peran pemerintah sejauh ini sebagai fasilitator dengan mempertemukan antara aplikator dan pengemudi.
”Kami sudah fasilitasi, tetapi memang hingga kini hasil pertemuan itu kami belum mendapat laporan tindak lanjutnya seperti apa,” kata Syafrin.