Harmoni dalam Kemajemukan
Satu gelas kopi dan lembaran surat kabar menemani Wagiso (79), ketika dia ditemui di rumahnya di Desa Bagelen, Kecamatan Gadong Tataan, Kabupaten Pesawaran, Lampung, Kamis (5/4/2018) siang.
Wagiso adalah generasi ketiga dari keluarga kolonis pertama di Desa Bagelen. Kakeknya menjadi peserta program kolonisasi perdana yang dilaksanakan Hindia Belanda pada 1905.
Wagiso, yang menjabat kepala desa Bagelen selama 27 tahun, sejak 1980 hingga 2007, mengatakan, gelombang pertama kolonis hadir untuk menjadi buruh di perkebunan milik Belanda. Namun, mayoritas catatan pemerintah dan akademisi Hindia Belanda di awal abad ke-20 menerangkan program itu untuk meratakan persebaran penduduk.
Kelompok kolonisasi pertama di Kecamatan Gedong Tataan berasal dari Keresidenan Kedu, Jawa Tengah, atau tepatnya Desa Bagelen di Purworejo. Menurut Wagiso, kolonis perdana yang hadir di Gedong Tataan berjumlah 43 orang. Sebanyak 40 laki-laki dan 3 perempuan. ”Oleh karena hanya 43 orang, kedatangan mereka murni untuk bekerja. Mereka diberi kebebasan membuka lahan lalu membangun rumah dan mengolah ladang untuk kepentingan pemerintah kolonial,” jelasnya.
Hal serupa disampaikan Kepala Museum Transmigrasi Lampung Suhardi. Ia menuturkan, ”Kehadiran gelombang kolonis pertama di Gedong Tataan untuk memenuhi tenaga murah yang ditempatkan di sejumlah perkebunan, terutama karet.”
Wagiso menambahkan, para koloni bekerja dari pagi sampai siang sebagai buruh kontrak di perkebunan karet milik Hindia Belanda. Lalu, siang sampai sore hari mereka membuka hutan untuk dibuat ladang dan jalan.
Gedong Tataan dibanjiri pendatang dari wilayah Karesidenan Kedu di Jawa Tengah pada 1905-1911. Setelah membentuk Desa Bagelen pada 1905, lalu dibentuklah sejumlah dusun yaitu Karanganyar (1907) dan Kutoarjo (1910) untuk menunjang administrasi pemerintahan desa di Bagelen. Ketika ada pemekaran wilayah Desa Bagelen pada awal 2000-an, Karanganyar dan Kutoarjo jadi desa tersendiri.
Di desa yang berjarak sekitar 25 kilometer dari Bandar Lampung itu, ratusan keluarga dari Keresidenan Kedu tersebut membangun komunitas Jawa. Meskipun berjarak ratusan kilometer dari tanah kelahiran, menurut Wagiso, para kolonis generasi pertama tetap menjaga tradisi Jawa, terutama dalam kesenian, seperti wayang kulit, wayang orang, dan kuda lumping.
Pada saat yang sama, para kolonis, yang kemudian disebut transmigran ini, juga terus berupaya menjaga harmoni dengan masyarakat Lampung. Di Desa Bagelen, saat ini bahkan terwujud Indonesia mini. Pasalnya, tidak hanya warga beretnis Lampung dan Jawa, tetapi di desa itu juga ada warga beretnis Bali, Batak, dan Sunda di desa itu.
Wagiso menjelaskan, semua etnis yang berada di Desa Bagelen punya tokoh masyarakat yang berperan jadi pendamai apabila ada gesekan sosial antara masyarakat dari etnis berbeda.
”Ini membuat tidak pernah ada perseteruan antaretnis. Kami hidup sebagai satu ikatan keluarga, tidak ada perbedaan antara orang Lampung asli dan para pendatang,” katanya.
Falsafah hidup
Pengajar sosiologi Universitas Lampung, Bartoven Vivit Nurdin, menuturkan, masyarakat punya tiga falsafah yang membuat mereka mampu hidup bersama dengan orang dari etnis atau daerah lain. Pertama, adalah adat angkon mewakhi, yang membuat masyarakat Lampung terbuka terhadap para pendatang dan dapat mengangkat orang lain dari berbagai etnis untuk menjadi saudara.
Kedua, falsafah nemui nyimah, yang membuat masyarakat Lampung mampu hidup dalam masyarakat yang heterogen. Terakhir, pandangan hidup pi’il pesenggiri menjadi dasar identitas utama masyarakat Lampung. Dengan pi’il pesenggiri, identitas masyarakat Lampung tetap dominan, walaupun secara budaya masyarakat Lampung telah menjadi minoritas dibandingkan masyarakat Jawa.
”Tiga falsafah itu melambangkan toleransi dalam keberagaman. Orang Lampung sangat memuliakan pendatang,” ujar Vivit.
Menilik sejarah, keterbukaan orang Lampung dengan pendatang telah terjadi sejak masa Kesultanan Banten (1526-1813). Frieda Amran sesuai catatan kapten infanteri Hindia Belanda, FG Steck, dalam buku Mencari Jejak Masa Lalu Lampung (2015), mengungkapkan, pendatang awal di Lampung merupakan orang Banten yang beretnis Sunda. Setelah itu, hadir pendatang beretnis Bugis, Lingga (Kepulauan Riau), Jawa, dan Tionghoa. Para pendatang ini tinggal di daerah pantai dan pusat-pusat perdagangan. ”Orang Lampung sendiri jarang berpindah. Hanya penduduk di perbatasan Palembang yang sesekali melakukan perpindahan,” tulis Frieda.
Marga
Budayawan Lampung, Azhari Kadir, menuturkan, kekerabatan masyarakat Lampung terikat dalam sebuah marga. Besar wilayah pemimpin marga pada masa Hindia Belanda, saat ini setara dengan luas kecamatan.
Program kolonisasi di Lampung, kata Azhari, tidak bermaksud memisahkan antara para kolonis dan masyarakat asli Lampung. Ini karena Pemerintah Hindia Belanda selalu menitipkan sejumlah kepala keluarga kolonis atau transmigran kepada pimpinan marga yang disebut penyimbang. Penitipan itu berlangsung hingga awal program transmigrasi dilaksanakan pemerintahan Presiden Soekarno pada dekade 1950-an.
Proses itu membuat terciptanya harmoni dalam interaksi antara masyarakat Lampung dengan para pendatang. Sebagai pendatang, warga transmigran mengolah tanah yang secara hukum adat berada di bawah wilayah para penyeimbang.
Pola interaksi ini, kata Vivit, membuktikan bahwa masyarakat Lampung dan para pendatang telah punya pembagian yang nyata. Masyarakat Lampung mendominasi pengisian jabatan di pemerintahan, sedangkan para transmigran atau kolonis mengolah kekayaan alam Lampung lewat perkebunan dan sawah.
Berdasarkan sejarah panjang kehidupan harmoni dan keterbukaan masyarakat Lampung terhadap pendatang itu, Azhari berharap pemimpin Lampung di masa datang mampu terus menjaga nilai kebudayaan yang mengayomi seluruh suku dan etnis di Lampung.
Terakhir, apabila ada pihak yang memperuncing politik identitas di Pilkada 2018, itu menunjukkan adanya pelanggaran falsafah hidup masyarakat Lampung. Ini karena toleransi, prinsip memuliakan pendatang, dan menjaga harmoni dalam perbedaan telah mengakar dalam kehidupan ulun (orang) Lampung.