JAKARTA, KOMPAS -- Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) sedang mengkaji pembuatan baterai nuklir dengan memanfaatkan limbah radioaktif. Jika efisien dan nilai ekonomi baterai tersebut memadai, baterai itu bisa dimanfaatkan jadi alternatif sumber listrik di daerah terpencil dan perbatasan.
Kepala Batan Djarot S Wisnubroto di Jakarta, Kamis (19/4/18), mengatakan pembuatan baterai nuklir itu masih dalam tahap awal. "Di negara lain, pembuatan baterai nuklir untuk kepentingan manusia di Bumi juga masih diteliti," katanya.
Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional Amerika Serikat NASA sudah memanfaatkan baterai nuklir tipe generator termoelektrik radioisotop (RTG) sejak 1961 untuk daya satelit. Baterai nuklir juga digunakan untuk sejumlah wahana yang mengeksplorasi bagian luar Tata Surya, seperti Voyager 1 dan 2 yang diluncurkan pada 1977, wahana penjejak Mars Curiosity dan wahana New Horizons yang melintasi Pluto pada 2015.
Namun untuk pemanfaatan baterai nuklir di Bumi masih menimbulkan pro-kontra. "Aspek keamanan dan keselamatan harus jadi pertimbangan utama,\' tambahnya.
Meski sama-sama menggunakan zat radioaktif, prinsip kerja baterai nuklir berbeda dengan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Listrik baterai nuklir dihasilkan dari radiasi yang dipancarkan zat radioaktif, sedangkan listrik PLTN berasal dari reaksi pembelahan inti atom dari zat radioaktif.
Tantangan terbesar pembuatan baterai nuklir saat ini adalah membuat ukuran baterai yang kecil, ringan, dan bahan cangkang baterai yang mampu menahan radiasi. "Efisiensi baterai nuklir baru 5-10 persen," kata Djarot.
Daya listrik baterai nuklir sangat bergantung pada daya radiasi zat radioaktifnya, makin besar radiasinya makin besar listrik yang dihasilkan. Sebagai contoh, satu kilogram plutonium-238 (Pu-238) punya daya radiasi 560 watt yang bisa dijadikan baterai nuklir tipe RTG untuk menghasilkan listrik 25-40 watt.
Namun, Pu-238 punya waktu paruh 88 tahun. Padahal, makin panjang waktu paruh suatu zat radioaktif, makin kecil daya radiasinya. Karena itu, limbah radioaktif yang digunakan untuk baterai itu yang memiliki waktu paruh tidak terlalu panjang.
Limbah radioaktif sumber bekas
Menariknya, kajian pengembangan baterai nuklir Batan ini memanfaatkan limbah radioaktif sumber bekas, bukan zat radioaktif yang belum terpakai. Sejak 30 tahun lalu, Batan mengelola semua limbah radioaktif di Indonesia, baik yang dipakai Batan maupun industri, rumah sakit dan perguruan tinggi.
"Limbah radioaktif itu bertingkat, ada yang sudah tidak dipakai industri tertentu namun bisa dimanfaatkan industri lain atau untuk penelitian," kata Kepala Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (PTLR) Batan Husen Zamroni.
Saat ini, PTLR Batan mengelola 3.000 limbah radioaktif sumber bekas dari industri dan rumah sakit, 1.125 drum ukuran 200 liter limbah nuklir dari Batan yang sudah dicor dan 126 cangkang beton ukuran 950 liter.
"Hanya limbah radioaktif sumber bekas pemancar yang masih memancarkan sinar beta dan alfa murni yang bisa digunakan lagi atau didaur ulang," tambahnya. Limbah radioaktif sumber bekas juga lebih murah dibanding zat radioaktif baru.
Untuk pembuatan baterai nuklir, limbah radioaktif sumber bekas yang dimanfaatkan adalah Stronsium-90 (Sr-90). Zat ini memiliki waktu paruh 29 tahun, jauh lebih pendek dibanding waktu paruh Pu-238. Limbah Sr-90 juga relatif mudah ditemukan di Indonesia karena bahan ini digunakan untuk mengukur kerapatan rokok dan ketebalan kertas.
Meski riset ini masih tahap kajian, jika sukses, baterai nuklir itu bisa dimanfaatkan sebagai daya alat komunikasi yang ada di daerah perbatasan dan terpencil. Daya tahannya yang lama membuat baterai ini tidak perlu sering diganti atau diisi ulang. Walau demikian, efisiensi, nilai ekonomi serta aspek keamanan dan keselamatannya perlu ditimbang masak-masak.