Hanya Ada Penyesalan Ketika Racun Oplosan Kuasai Tubuh
Penyesalan hanya tinggal penyesalan, ketika kenikmatan menyesap minuman oplosan itu harus dibayar dengan hilangnya penglihatan hingga nyawa. Alih-alih memperoleh sensasi mabuk, malah kepanasan dan kesakitan yang dirasakan saat metanol yang terkandung dalam minuman itu mulai mengalir dalam jaringan darah, masuk ke organ bagian dalam, hingga otak.
Surya Ibrahim Aji (23) tak pernah putus berharap agar penglihatannya kembali pulih. Sejak 2015 lalu, setelah dia bersama 8 temannya menikmati minuman oplosan, Aji tak lagi mampu melihat dengan jelas. Secara fisik, matanya tak mengalami kerusakan apa pun. Namun metanol dalam minuman oplosan yang dinikmatinya itu telah merusak saraf penglihatan yang ada di otaknya.
“Menurut dokter, saraf otak yang terhubung ke mata saya itu pucat. Saraf itu tak lagi mampu menghantarkan bayangan ke mata. Akibatnya, saya hanya bisa melihat samar-samar,” kata Aji.
Untuk membaca pesan di telepon seluler, contohnya, Aji harus memfoto pesan itu dengan fasilitas capture. Pesan yang sudah ditangkap dalam foto itu kemudian dia perbesar hingga berkali-kali lipat sehingga setiap hurufnya memenuhi layar ponsel. Namun agar huruf-huruf itu dapat terlihat jelas, Aji masih harus memfokuskan penglihatannya ke ujung mata. Ponsel itu juga harus didekatkan ke ekor mata hingga menyisakan jarak kurang dari 2 centimeter.
“Kalau melihat frontal, sejajar hidung, itu tidak kelihatan sama-sekali. Bola mata saya harus digerakkan ke ujung mata. Agar bisa melihat objek secara jelas, itu bendanya juga harus benar-benar didekatkan ke ujung mata saya,” jelasnya.
Aji kembali mengenang, pada 2015 lalu, saat ia dan teman-temannya menikmati minuman oplosan, itu sebenarnya hanya untuk bergembira karena dua hari lagi cuti bersama merayakan Lebaran. Saat itu dia baru pulang kerja sebagai penjaga loket tiket di Stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat, kemudian diajak temannya untuk berkumpul. Dalam perkumpulan itu, salah satu temannya menawarkan minuman yang disebut Limoncello.
“Belakangan saya baru tahu Limoncello itu sebenarnya miras oplosan. Teman saya yang membuatnya. Dia menggunakan alkohol 90 persen dicampur minuman rasa jeruk,” katanya.
Setelah menikmati minuman itu beberapa gelas, Aji mulai mabuk dan tak sadarkan diri. Saking beratnya mabuk, dia dibawa pulang ke rumah temannya. Saat sadarkan diri keesokan harinya, Aji mengalami muntah-muntah, dan sakit perut. Saat kembali ke rumahnya di kawasan Pondok Bambu, Jakarta Timur, Aji tak mampu berbuat apa-apa, tubuhnya lemas, dan hanya dapat terbaring di kamarnya.
Pada perayaan Lebaran, Aji tak mampu beranjak dari kamarnya, dan penglihatannya pun sudah mulai kabur. Saat itu, salah satu pamannya curiga bahwa Aji mengalami keracunan minuman oplosan.
“Saat itu juga saya dibawa ke rumah sakit, dan dirawat 11 hari. Habis Rp 27 juta untuk perawatan. Sempat sekali cuci darah, dan kesehatan saya berangsur membaik. Hanya penglihatan saya yang tak tertolong,” tuturnya.
Kini, hari demi hari, hanya dapat dihabiskan oleh Aji di rumah, dan tak lagi dapat bekerja sebagai penjaga tiket di Stasiun Senen. Sesekali saja dia melakukan hobinya, memodifikasi sepeda motor. Namun hobinya itu juga dilakukan dengan bantuan ibunya, Sulastri (60), terutama untuk mengambil baut berukuran kecil.
“Saya sedih, kalau ingat nasibnya Aji. Siapa yang bakal merawat dia kalau saya sudah tidak ada,” tutur Sulastri sambil menahan isak tangis.
Namun Aji tetap bersyukur dia masih diberi kesempatan untuk menjalani hidup. Salah satu temannya yang ikut mengonsumsi Limoncello itu ada yang tewas. “Sepertinya dia terlambat dibawa ke rumah sakit, sehingga meninggal. Rasanya sedih kalau ingat itu,” katanya.
Namun Aji tak menaruh dendam terhadap temannya yang telah meracik Limoncello. Bahkan dia enggan mengungkap identitasnya. “Dia teman saya juga, tidak perlu diungkap identitasnya,” ucapnya.
Menyesal
Kepanikan dan ketakutan pun menyelimuti Sunar (53), saat menghadapi salah satu anaknya, HNF (26), menderita muntah-muntah akibat keracunan miras oplosan pada Selasa, 3 April lalu. Saat itu ada puluhan korban menderita keracunan miras oplosan di Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Depok, hingga Bekasi. Sebanyak 31 orang tewas akibat minuman itu. Miras oplosan itu ada yang diperoleh dari pedagang yang berjualan di kawasan Kanal Timur, Jagakarsa, hingga Harapan Indah.
Sunar menyadari perbuatan HNF mengonsumsi miras oplosan itu sangat merugikan dan membahayakan nyawa. Apalagi sudah setahun ini HNF menganggur, sehingga kebutuhan hidupnya ditanggung oleh Sunar. Namun tak tampak rasa jengkel terpancar dari wajah Sunar.
“Ini anak saya, saya harus selamatkan dia walaupun pada mulanya dia membantah minum miras oplosan. Tapi saya terus membujuk dan paksa dia untuk mengaku apa yang sesungguhnya dia minum,” kata Sunar.
Tinggal di kawasan padat penduduk di Kebon Pala, Jatinegara, Jakarta Timur, membuat informasi setiap kejadian yang dialami warga di kampung itu pun tersebar dengan cepat. Sunar pun memperoleh kabar keesokan harinya, pada Rabu, bahwa dua teman HNF meninggal akibat konsumsi miras oplosan, yakni Ahm (26) dan Ags (26).
“Memperoleh kabar itu, saya langsung pulang, meninggalkan tempat kerja. Pikiran saya sudah tak menentu. Sesampainya di rumah, saya ajak HNF untuk berobat ke Rumah Sakit Persahabatan,” katanya.
Saat itu, kata Sunar, HNF masih menolak dibawa ke rumah sakit. Sunar kemudian meminta kerabatnya yang bertugas di kepolisian untuk memaksa HNF ke rumah sakit. Cara itu pun berhasil mendorong HNF untuk mengikuti permintaan Sunar. Dengan mengendarai sepeda motor, Sunar membonceng HNF menuju RS Persahabatan. “Saat itu sudah malam, lalu-lintas macet karena jam pulang kerja, saya panik, dan anak pun masih lemas,” tutur Sunah.
Setibanya di RS Persahabatan, HNF langsung diperiksa. Selama dua hari isi perutnya dikuras dengan cara memasukkan selang ke dalam perutnya lewat hidung. “Wah, rasanya sakit saat selang itu masuk lewat hidung kemudian tembus ke tenggorokan. Apalagi badan saya juga masih sakit-sakit dan mual,” kata HNF.
Selama dua hari isi perutnya dikuras, HNF memperoleh cairan warna hitam dari dalam perutnya sebanyak dua setengah tabung infus. Sebelum cairan dari perutnya itu keluar, HNF mengaku, dirinya terus meronta-ronta kesakitan dan kepanasan. Baru setelah cairan itu keluar, tubuhnya berangsur-angsur membaik. “Sekarang sudah enak, sudah bisa makan nasi,” ucapnya.
HNF mengaku sangat menyesali kejadian ini. Tak hanya karena miras oplosan yang dia konsumsi itu nyaris merenggut nyawanya, tetapi minuman itu telah merenggut nyawa kedua teman karibnya, Ahm dan Ags. “Sampai sekarang saya masih terbayang-bayang mereka. Tak menyangka seperti ini,” katanya.
Menurut HNF, dia memilih miras oplosan karena memiliki kandungan alkohol yang lebih tinggi dibandingkan bir yang umumnya hanya memiliki kadar alkohol 5 persen. Harganya juga terjangkau, Rp 25.000 per plastik isi hampir 1 liter. Jika membeli minuman beralkohol dengan kadar 40 persen lebih, itu umumnya sangat mahal. “Iya, lain kali bir saja,” ucapnya.
Demikian pula yang dialami KAP (15), pelajar Kelas VIII sekoleh menengah pertama di Cicalengka, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, saat pertama kali mencoba miras oplosan bersama lima temannya, pada Selasa (10/4). Bukannya kesenangan yang diperoleh, KAP malah terkapar tak sadarkan diri dan hingga kini masih dirawat di RSUD Cicalengka.
KAP pun tiba-tiba merintih kesakitan di tengah-tengah pebincangan bersama ketiga temannya yang datang menjenguknya di RSUD Cicalengka, Sabtu (14/4). Suasana yang semula penuh canda tawa mendadak berubah serius.
“Dada saya terasa panas sekali di dalamnya,” ujar KAP sesaat setelah rasa sakitnya mereda.
Saat ditemui, ia masih terbaring lesu di salah satu tempat tidur di Ruang Balakbak 3B. Sebanyak empat selang tersambung di sekujur tubuhnya, salah satunya dimasukkan ke dalam tubuh melaui lubang hidung. Sementara dua lainnya merupakan selang infus dan satunya kateter urine.
Anak kedua dari empat bersaudara itu menceritakan, ia diajak salah satu temannya untuk mencoba sensasi meneguk miras oplosan pada Selasa siang. Merasa tidak enak jika menolak ajakan tersebut, KAP pun memutuskan bergabung bersama lima temannya di salah satu kediaman temannya.
Sambil bermain gim konsol, mereka secara bergiliran meminum miras oplosan yang dituangkan ke satu gelas. KAP menyatakan, ia tidak tahu-menahu di mana temannya memperoleh miras oplosan berwarna kuning yang dikemas di botol air mineral berukuran 600 mililiter itu.
Tak lama setelah miras oplosan, yang menurutnya terasa pahit, masuk ke tubuhnya, KAP langsung mual-mual. Sekitar dua jam kemudian, salah satu temannya tumbang tak sadarkan diri, kemudian disusul oleh KAP.
Setelah tersadar kembali, KAP tak banyak mengingat kejadian yang menimpa dirinya. Saat matanya terbuka, pandangannya kabur. Tak hanya itu, isi tubuhnya terasa panas, perut melilit, kepala pusing, hingga akhirnya ia muntah-muntah.
Dari penjelasan orang di sekitarnya, ternyata dia tak sadarkan diri sejak Selasa hingga Kamis (12/4/2018). Ia dibawa ke Puskesmas Cicalengka setelah dirinya dan kelima temannya ditemukan orang tua tuan rumah dalam keadaan tidak sadar. Kemudian, KAP langsung dipindahkan ke RSUD Cicalengka setelah ayahnya, Soni (39), menemuinya.
Saat menceritakan tentang kelima temannya, KAP menyatakan, mereka biasanya kerap bermain voli, futsal, atau gim konsol setiap pekan. Apalagi, mereka masing-masing terdaftar di sekolah voli. “Biasanya suka main voli, jadinya kemarin malah ke situ (mencoba miras oplosan),” kata KAP, yang merupakan anak piatu sejak 2010.
Pengalaman meneguk miras oplosan itu disebutnya sebagai pengalaman pertama dan terakhir baginya. Ia ingin segera pulih dan menemui kelima temannya untuk bermain voli bersama lagi.
Hingga Sabtu, KAP merupakan satu-satunya korban minuman keras oplosan yang masih menjalani perawatan di RSUD Cicalengka. Akan tetapi, Soni, yang bekerja sebagai mekanik, menuturkan, ia belum memberi tahu KAP bahwa empat dari lima temannya telah meninggal dunia akibat mengonsumsi miras oplosan.
Gunawan (24), warga Bekasi, Jawa Barat, ini juga masih trauma terhadap efek miras oplos atau yang dikenal dengan nama ginseng yang dia konsumsi pada Minggu (1/4) malam. Lelaki yang bekerja di sebuah restoran cepat saji itu tidak menyangka akan mengalami gangguan penglihatan dan sesak napas yang cukup menyiksa. Bahkan, ibu Gunawan sempat menangis melihat kondisi anaknya yang pucat dan lemas saat itu.
Gunawan bersama sepupunya Dimas (21) dan tiga rekan lain mengonsumsi minuman oplosan yang biasa disebut ginseng di Jalan Manggis 1 Jakasetia, Bekasi Selatan, tak jauh dari tempat tinggal orangtua Gunawan. Mereka meminum ginseng yang dibeli seharga Rp 16.000 per plastik usai acara sebuah perkumpulan klub vespa. “Karena lagi cekak (punya uang sedikit) makanya beli ginseng, biasanya beli intisari dicampur bir dingin,” kata Gunawan.
Usai menenggak minuman itu bersama-sama, Gunawan dan Dimas sama-sama merasakan dada mereka menjadi panas, sesak napas, penglihatan menjadi kabur, dan nyeri pada bagian perut. “Kalau kena terang, mata tidak bisa melihat jelas, buram. Badan juga lemas banget. Ibu saya sampai menangis lihat kondisi saya,” kata Gunawan.
Selang dua hari setelah mengonsumsi minuman tersebut atau pada Selasa sore, Gunawan dan Dimas masih merasa sakit. Mereka pun memeriksakan diri ke praktik dokter umum terdekat dari rumah untuk mengetahui penyebab dari sakit yang mereka rasakan. “Setelah saya lihat berita di televisi yang bilang banyak jatuh korban gara-gara minuman oplosan, saya jadi takut. Saya takut mati,” ungkap Gunawan mengisahkan.
Metanol
Dari hasil penyelidikan kepolisian, diketahui miras oplosan yang beredar dan dikonsumsi pada umumnya oleh kalangan muda selama April ini merupakan minuman yang dicampur metanol, alkohol teknik untuk kebutuhan industri. Alkohol jenis itu dilarang dikonsumsi karena dapat meracuni tubuh.
Selama April 2018 ini, total 99 korban tewas akibat konsumsi miras oplosan di Jawa Barat, dan Jakarta serta sekitarnya.
Di wilayah Polda Metro Jaya, sebanyak 10 orang peracik dan pengedar miras oplosan ditetapkan sebagai tersangka. Sementara di wilayah Polda Jabar, sebanyak 9 orang ditetapkan sebagai tersangka, salah satunya Syamsudin Simbolon yang diduga sebagai peracik miras oplosan.
Kepala Instalasi Forensik RS Polri Kramat Jati, Edy Purnomo menyampaikan, hampir seluruh korban yang alami keracunan miras oplosan itu menderita sakit di tubuhnya, mual, muntah, hingga hilang penglihatan. Itu adalah gejala yang terjadi saat metanol terserap darah dan menjalar ke seluruh organ tubuh.
Kebutaan, kata Edy, itu merupakan gejala umum yang terjadi pada korban jika pengaruh metanol sudah menjalar ke otak, dan itu biasa disebut neuropati optik toksik akut. “Kalau sudah sakit kepala, itu tanda (metanol) sudah meracuni otak. Bagian otak yang paling sensitif itu adalah saraf ke mata, dan itu bisa menyebabkan hilangnya fungsi penglihatan,” jelasnya.
Demikian juga dengan organ tubuh lainnya, jika sudah menyerap pengaruh metanol maka akan mengalami gangguan. Menurut Edy, biasanya, metanol yang terserap dalam darah akan masuk ke dalam organ hati dan itu bisa menyebabkan gangguan liver. Berikutnya, itu akan masuk ke ginjal dan menyebabkan gangguan ginjal sehingga penderita harus melakukan cuci darah.
Menurut Edy, masa inkubasi terjadinya gangguan pada kesehatan akibat konsumsi miras oplosan itu sangat tergantung pada kadar metanol dalam minuman yang dikonsumsi. Kondisi itu, menurut Edy, tak dipengaruhi oleh daya tahan tubuh. “Semakin banyak kadar metanol yang masuk ke tubuh, itu akan semakin cepat meracuni tubuh,” jelasnya.
Edy pun menyampaikan, agar masyarakat benar-benar menghindari minuman beralkohol yang mengandung metanol karena dapat berakibat fatal bagi kesehatan. Untuk membedakannya, lanjutnya, itu dapat dilakukan dengan membakar minuman itu. Jika minuman itu menghasilkan api berwarna merah, maka alkohol yang digunakan itu metanol. Sebaliknya jika menghasilkan api yang berwarna biru, maka alkohol yang digunakan itu jenis etanol.
Alkohol jenis etanol, menurut Edy, merupakan alkohol yang aman bagi manusia, dan biasanya digunakan sebagai anti-septik. Di dunia kedokteran, alkohol jenis itu biasa digunakan untuk mensterilkan peralatan kedokteran. Namun alkohol jenis itu umumnya jauh lebih mahal dibandingkan metanol, bisa mencapai Rp 100.000 per liter.
“Kami, rumah sakit pun, tidak bisa membeli etanol secara eceran. Biasanya kami membelinya dalam jumlah banyak sekaligus dan harus ada suratnya,” kata Edy.
Pengamatan Kompas, alkohol metanol itu umumnya dijual di toko kimia seharga Rp 15.000 untuk setiap 1,5 liter. Sementara alkohol etanol lebih banyak dijual di apotek, dan paling murah Rp 15.000 untuk 200 mililiter.
Maskulinitas
Antropolog Universitas Indonesia Raymond Michael Menot yang selama ini meneliti konsumsi miras di kalangan masyarakat, itu mengungkapkan, motivasi untuk meminum miras oplosan itu sangat bergantung pada kelompok umur, dan umumnya laki-laki. Bagi kelompok remaja berusia belasan tahun, itu sangat dipengaruhi faktor maskulinitas.
“Remaja yang mengonsumsi oplosan itu biasanya karena mencari maskulinitas. Jadi kalau laki-laki, ya harus berani minum ini (miras oplosan),” jelasnya.
Sementara bagi laki-laki dewas, usia 20 tahun ke atas, menurut Raymond, itu lebih dipengaruhi faktor ekonomi. Miras oplosan itu, menurutnya, hanya dapat dibandingkan dengan minuman beralkohol dengan kadar 40 persen yang diproduksi secara legal, dan umumnya impor. Sementara minuman beralkohol yang impor itu sangat mahal.
“Di Jakarta dan Jawa Barat, tidak ada budaya memproduksi ciu atau pun arak, sehingga para peminum itu tak memiliki pilihan lain selain miras oplosan yang jauh lebih murah dibandingkan minuman alkohol yang impor,” jelasnya.
Seperti diungkapkan HNF, dia memilih miras oplosan karena bir tak memenuhi keinginannya untuk mengonsumsi alkohol dengan kadar 40 persen lebih. Sementara minuman dengan kadar alkohol 40 persen itu umumnya impor, dan harganya mencapai lebih Rp 800.000 per botol isi 1 liter. Jika ingin memperoleh harga yang lebih murah hanya tersedia di toko duty free, tetapi itu biasanya harus menunjukkan paspor dan tiket pesawat keluar negeri.
Hanya kini, korban yang mengalami gangguan penglihatan akibat konsumsi miras oplosan, seperti yang dialami Aji, tetap berharap agar dapat kembali memperoleh kesempatan bekerja.
“Saya ingin bekerja kembali. Dengan penglihatan yang kabur seperti ini sudah mempersulit saya untuk memperoleh pekerjaan. Namun saya tetap berharap, kesempatan bekerja itu tetap ada,” tutur Aji. (RYAN RINALDI/BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA/DD16)