DA (17) terisak sendu ketika ia mulai membasuh kedua kaki ibunya, Mustafa (33). Sambil mengusap telapak kaki ibunya, DA berbisik, ”Maafkan aku, ya, bu. Aku janji enggak akan ngulangin lagi. Janji berbakti sama orangtua. Habis ini bakal sekolah yang lebih bener biar bisa banggain ibu sama bapak.”
Hari ini, Selasa (17/4/2018) tepat tiga bulan 16 hari ia menjalani pidana di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Tangerang, Banten, karena tindakan pengeroyokan. Juli 2018 nanti, sesuai jadwal, DA bebas.
DA merupakan satu dari 80 anak di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Tangerang yang mengikuti ritual membasuh kaki orangtua dalam rangka memperingati Hari Bakti Pemasyarakatan Ke-54. Di halaman LPKA Tangerang, dibangun tenda besar untuk acara ini. Di sebelah kanan tenda, ada empat baris kursi dengan masing-masing 20 ibu yang duduk berjejer sambil dibasuh kakinya oleh masing-masing anaknya.
Tangis haru menyeruak, baik dari ibu maupu anak yang menjalani ritual itu. Pelukan semakin kuat ketika pembawa acara menyerukan kata-kata puitis. ”Kasih ibumu tidak pernah terputus. Maafnya lebih luas dari samudra mana pun. Pelukan ini bisa jadi pelukan terakhirnya,” ucap pembawa acara.
Tidak hanya di LPKA Tangerang, acara ini serentak dilakukan di 33 LPKA di seluruh Indonesia. Kira-kira ada 1.000 anak di seluruh Indonesia yang juga melakukan ritual ini.
Selain DA, AJ (17) yang berasal dari Jakarta Selatan juga turut dalam ritual tersebut. Ini merupakan kali pertamanya ia membasuh kaki ibunya. Ia dipidana selama 4 tahun karena penggunaan narkotika. Sudah sembilan bulan ia menjalani pidana yang diberikan untuknya. Hampir setiap minggu, ibunya selalu menjenguk bersama ayahnya. ”Dari Jakarta Selatan ke Tangerang sini, biasanya mereka naik motor. Bawa bekal makanan,” kata AJ.
Ia bercerita, jika mengingat waktu pidana yang cukup lama yang harus ia jalani, sesal yang mendalam sungguh ia rasakan. Tidak pernah terlintas jika harus menjalani hidup bertahun-tahun di balik jeruji besi. Setiap hari, ia merasakan rindu kehadiran ibunya. Di usianya seperti sekarang, ia butuh dukungan penuh dari ibunya.
”Waktu basuh kakinya, ibu tadi bilang kalau ia selalu mendoakan saya setiap waktu. Saya harus berubah. Saat ibu bilang gitu, saya sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Hanya menangis dan menyesal,” ucapnya sambil sedikit mengusap air mata di balik kacamatanya.
Lain hal dengan IG (15) atau yang lebih sering disapa Igis. Dalam kesempatan ini, ibunya tidak datang. Sengaja, karena ia yang meminta agar neneknya saja yang datang. ”Saya mau mamak (panggilan untuk neneknya) saja yang ke sini. Saya lebih dekat sama mamak daripada bunda (ibu kandungnya),” kata Igis.
Nenek Igis, Monika (55), hampir setiap minggu datang menjenguk cucunya. Sejak kecil, Igis dan adik perempuannya memang besar bersama Monika. Mereka tinggal terpisah dengan ibunya. Bapaknya sudah sejak Igis berumur satu tahun pergi meninggalkan keluarganya.
Sambil menatap cucunya, Monika berpesan, ”Gis, habis ini jangan diulang lagi, ya. Banyak yang sudah dikeluarkan mamak selama kamu di sini. Waktu, uang, tenaga. Semuanya enggak sedikit.”
”Iya, mak. Habis ini Igis mau cari sekolah yang benar. Mau jadi tukang gambar juga. Hasil gambarnya bisa dijual jadi punya tambahan uang jajan. Biar bisa lebih mandiri,” jawab Igis.
Ritual pembasuhan kaki ini, diselenggarakan agar setiap anak di LPAK semakin termotivasi untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly berpendapat, keterlibatan keluarga, terutama orangtua, sangat diperlukan dalam proses pendidikan dan pembinaan anak selama masa pidana.
”Mereka masih punya masa depan yang panjang. Ini justru bisa menjadi pelajaran hidup agar mereka bisa lebih baik,” ujarnya.
Berdasarkan data sms gateway Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, per tanggal 16 April 2018, jumlah anak pidana di seluruh LPKA sebanyak 2.725 anak, dengan anak pidana laki-laki 2.659 orang dan anak pidana perempuan 66 orang. Jumlah anak tahanan tercatat ada 1.001 anak dengan rincian anak tahanan laki-laki 977 orang dan anak tahanan perempuan 25 orang.
Yasonna menyampaikan, pemerintah memastikan bahwa penanganan anak di LPKA berbasis kepentingan pendidikan, pelatihan, dan tumbuh kembang anak. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak disebutkan Yasonna bahwa paradigma yang digunakan dalam menangani anak berhadapan dengan hukum adalah dengan paradigma restoratif. Jadi, menurut dia, penanganan hukum harus dilakukan demi kebaikan anak dan mendukung agar anak bisa lebih baik tanpa ada diskriminasi tertentu.
”Walaupun pada praktiknya masih ada yang tidak sesuai dengan perundang-undangan. Masih ada penegak hukum, penyidik, dan penuntut yang tidak sejalan dengan ketentuan itu. Kemenkumham berharap peradilan anak bisa terlaksana lebih baik. Mereka ini adalah korban sosial lingkungan,” kata Yasonna.
Seperti DA, AJ, dan Igis, anak-anak yang saat ini berada di LPKA tetap membutuhkan bimbingan dan pendidikan yang bermutu. Kesalahan yang mereka lakukan pada masa lalu bukan berarti hambatan untuk meraih asa setelah mereka bebas nanti. Harapan selalu ada, cita menjadi orang yang berguna bagi lingkungan, setidaknya untuk orangtua mereka akan selalu tertanam.