Jangan Biarkan Anak-anak Terus Jadi Korban!
Mencegah perkawinan anak hingga kini masih menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi Indonesia. Sebab, kenyataannya pada saat pemerintah dan berbagai organisasi masyarakat sipil gencar mengampanyekan bahaya perkawinan anak, praktik perkawinan anak di beberapa daerah masih tetap saja berlangsung.
Dalam beberapa bulan terakhir, media sosial dan media dalam jaringan ramai memberikan sejumlah praktik perkawinan anak. Bahkan, hingga awal pekan ini, Senin (16/4), kabar perkawinan pasangan remaja, Sy (15 dan Fa (14) yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, masih tetap menjadi pembicaraan dan viral di sejumlah grup media sosial.
Niat kedua remaja tersebut untuk menikah didukung keluarga masing-masing. Bahkan, ketika Kantor Urusan Agama di daerah setempat menolak menikahkan pasangan anak tersebut, karena keduanya dinilai masih di bawah umur, keluarganya nekat meminta dispensasi ke Pengadilan Agama Bantaeng. Ternyata permohonan dispensasi tersebut dikabulkan hakim pengadilan agama setempat.
Prihatin dengan kondisi tersebut, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin sampai-sampai memberikan pernyataan mengimbau para hakim agar bijaksana dan arif saat menerima permohonan dispensasi tersebut. Meskipun undang-undang memberikan peluang adanya dispensasi dari pengadilan untuk perkawinan di bawah umur, Lukman menegaskan, perkawinan di bawah umur harus dicegah karena itu keburukannya lebih besar daripada manfaatnya.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Susana Yembise mengungkapkan telah mendapat laporan soal kasus perkawinan anak di Bantaeng. Sejauh ini, Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) Bantaeng yang merupakan layanan di bawah Dinas PPPA Provinsi Sulsel akan menanyakan kepada pengadilan agama setempat apa alasan dikabulkannya permohonan dispensasi tersebut.
Namun, belum selesai persoalan perkawinan remaja di Bantaeng, publik kembali diramaikan dengan kabar rencana perkawinan seorang pria berumur 30 tahun dengan seorang anak perempuan berumur 11 tahun yang masih duduk di kelas V sekolah dasar di Distrik Nalo, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi.
Informasi perkawinan laki-laki dewasa dengan anak perempuan 11 tahun tersebut sempat diberitakan media lokal. Perkawinan anak itu terungkap saat orangtuanya dipanggil pihak sekolah yang menanyakan perkawinan tersebut dan ternyata dibenarkan orangtuanya. Kepala sekolah tempat anak tersebut bersekolah malah mendapat informasi bahwa orangtuanya menikahkan anaknya karena alasan sang orangtua sendiri dan kakak si anak perempuan juga menikah ketika berusia anak-anak.
Tak heran jika kemudian, kabar perkawinan anak perempuan tersebut menjadi viral, bahkan mengundang sejumlah organisasi masyarakat sipil yang bergerak dalam perlindungan anak angkat bicara dan menyampaikan kritik.
Perkawinan anak digolongkan sebagai salah satu bentuk kekerasan kepada anak dan dalam beberapa kasus digolongkan sebagai eksploitasi seksual anak.
Lembaga End Child Prostitution, Child Pornography, and Trafficking of Children for Sexual Purposes (ECPAT) Indonesia, yang tergabung dalam Koalisi 18+ (Tim Advokasi Para Pemohon Korban Perkawinan Anak yang melakukan pengujian batas usia kawin Pasal 7 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi, mengeluarkan pernyataan, Selasa (17/4/2018) di Jakarta.
ECPAT Indonesia dan Koalisi 18+ meminta laki-laki yang akan menikahi anak tersebut harus segera menghentikan rencana pernikahannya. Begitu juga orangtua sang anak perempuan harus mencegahnya.
”Harus ada penyelesaian jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Untuk solusi jangka pendek, semua unsur yang terlibat sekolah dan pemerintah daerah harus segera turun tangan dalam menyelesaikan kasus tersebut,” ujar Rio Hendra, salah satu pengurus ECPAT Indonesia.
Pemerintah harus hadir
Mereka meminta pemerintah segera hadir mengambil langkah-langkah yang konkret agar pernikahan tersebut tidak terlaksana. KUA yang akan menikahkan pasangan tersebut hendaknya tidak memberikan izin untuk menikahkan anak tersebut.
”Jika itu dilakukan akan melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak,” ujar Ajeng Kamilah Gandini, ICJR, Advokat Koalisi 18+.
Aparat penegak hukum juga didorong membawa kasus ini sampai ke pengadilan. Pelaku perkawinan anak harus dipidana jika perkawinan tetap dilangsungkan.
”Selain itu, perlu ada ketegasan dari Pemerintah Kabupaten Merangin, Jambi, untuk membuat aturan yang melarang anak-anak menikah di usia dini, seperti yang dilakukan di Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta, yang memiliki peraturan bupati yang mengatur tentang pencegahan perkawinan anak di daerahnya,” ujar Rio.
Peraturan bupati tentang pencegahan perkawinan anak di Provinsi Jambi bisa menjadi solusi jangka menengah. Selain itu perlu memperkuat lembaga perlindungan anak di daerah dalam sistem perlindungan anak yang responsif bagi anak yang berpotensi dan telah mengalami kasus-kasus perkawinan anak yang meningkat di provinsi ini.
Tak hanya pemerintah daerah, pemerintah pusat, yakni Kementerian PPPA, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Kementerian Sosial , juga harus turun tangan dan berperan aktif menyelesaikan masalah perkawinan anak tersebut. Langkah konkret tersebut sangat penting agar kasus-kasus perkawinan anak tidak terus terjadi dan mengancam masa depan anak-anak di seluruh Indonesia.
Adapun solusi jangka panjang dalam pencegahan perkawinan anak adalah mengamandemen undang-undang yang selama ini masih melanggengkan praktik perkawinan anak.
Semua pihak wajib lindungi anak
Baik Ajeng maupun Rio mengingatkan bahwa anak harus dilindungi sebagaimana perintah UU No 17/2016 tentang Perlindungan Anak, Pasal 1 Ayat 1 yang menyebutkan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Bahkan, Pasal 26 Ayat 1 Huruf C jelas mengatur bahwa orangtua berkewajiban dan bertanggung jawab mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak.
Begitu juga negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga, dan orangtua atau wali berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak sebagaimana diatur Pasal 20 UU Perlindungan Anak.
Soal perkawinan anak, ECPAT Indonesia mencatat, berdasarkan Survei Demografi Kesehatan Indonesia, terjadi peningkatan persentase perkawinan anak di Jambi. Angka itu naik dari 20,1 persen pada 2012 dari semua perkawinan anak menjadi 21,6 persen tahun lalu.
Tak hanya diatur dalam sistem hukum nasional, hukum internasional pun melarang perkawinan anak-anak, yang tercantum dalam Konvensi Hak Anak dan Protokol Opsional Konvensi Hak Anak mengenai Penjualan anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak. Indonesia merupakan negara yang meratifikasi konvensi tersebut.
”Perkawinan anak digolongkan sebagai salah satu bentuk kekerasan kepada anak dan dalam beberapa kasus digolongkan sebagai eksploitasi seksual anak,” ujar Rio.
Melihat fenomena yang terjadi belakangan ini, seperti di Bantaeng dan Merangin, seharusnya sudah cukup membuka mata dan menyadarkan semua pihak, perkawinan anak adalah masalah yang sangat serius, yang tidak bisa ditunda-tunda lagi penyelesaiannya.
Berbagai kasus perkawinan anak yang terjadi selama ini membuktikan betapa perkawinan anak menghancurkan masa depan anak-anak Indonesia. Tak hanya pendidikan putus di tengah jalan, berbagai dampak akan mengikuti. Saat seorang anak perempuan menikah, pengaruh pada kesehatan reproduksi sangat besar ketika mengandung dan melahirkan anak.
Meskipun dampak perkawinan anak begitu besar, hingga kini sejumlah aturan yang diusulkan publik untuk mendorong perubahan dan mencegah perkawinan anak tak kunjung rampung. Buktinya, permohonan uji materi UU Perkawinan, khususnya pasal yang mengatur batas usia perkawinan yang dilakukan korban perkawinan anak di Mahkamah Konstitusi (MK) , sampai saat ini masih mangkrak di MK. Sudah satu tahun tetapi tak jelas kelanjutannya.
Begitu juga Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Pencegahan dan Penghentian Perkawinan Anak, yang sudah dua tahun diserahkan kepada Presiden Joko Widodo, melalui Kantor Staf Presiden hingga kini juga tak jelas kelanjutannya.
Lalu, pernyataannya sekarang, sampai kapan kita membiarkan perkawinan anak terjadi dan menghancurkan masa depan anak-anak Indonesia?