ZHANGZHOU, KOMPAS-- Indonesia dan China memiliki pertautan sejarah dan kerjasama sejak ratusan tahun lalu. Pertukaran mahasiswa yang dilakukan antara dua bangsa sejak tiga tahun terakhir diharapkan bisa menjadi fondasi bagi peningkatan kerjasama di masa depan.
"Kunci kerjasama adalah saling memahami antar sesama. Melalui pertukaran pemuda dan mahasiswa ini diharapkan masing-masing bisa saling memahami dan menjadi dasar hubungan ke depan," kata Wakil Wali Kota Zhangzhou, Provinsi Fujian Wang Wengang, saat menyambut mahasiswa dari Indonesia, Senin (16/4).
Menurut Wang, Provinsi Fujian di masa lalu menjadi gerbang pelayaran menuju Indonesia yang memiliki posisi penting dalam sejarah jalur sutra maritim. Interaksi perdagangan ini juga diikuti dengan migrasi penduduk di masa lalu.
Sejak tahun 2002 Zhangzhou juga menjadi kota kembar (sister city) dengan Kota Palembang di Sumatera Selatan. Sejak saat itu sejumlah kunjungan dan kerjasama telah dilakukan. Wang berharap, di masa depan kerjasama antara Indonesia dan China, terutama dengan Kota Zhangzhou bisa lebih ditingkatkan.
Sebanyak 20 mahasiswa dari berbagai kampus di Indonesia yang terpilih berkesempatan mengunjungi Provinsi Fujian, China selama satu minggu mulai tanggal 14 - 20 April. Berikutnya, para sebanyak 20 mahasiswa dari Fujian akan dikirim ke Indonesia.
Program Manajer Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) Lailatunnazhifah, yang memprakarsai pertukaran mahasiswa ini mengatakan, peserta yang terpilih mengikuti pertukaran ini berusia antara 18 - 25 tahun. Mereka terpilih sebagai 20 penulis esai terbaik tentang relasi Indonesia - China dari sekitar 900 peserta.
"Program pertukaran ini merupakan yang ketiga kalinya dan sejak dua tahun terakhir, pertukaran diintensifkan di Provinsi Fujian. Daerah ini dipilih karena yang memiliki relasi paling banyak dengan Indonesia di masa lalu," kata dia.
Lebih memahami
Selain mengunjungi sejumlah kampus dan berinteaksi dengan mahasiswa di Fujian, para mahasiswa Indonesia ini juga dikenalkan dengan budaya dan juga perkembangan ekonomi setempat. "Dengan pertukaran ini saya jadi bisa belajar untuk lebih memahami China dan terutama menghilangkan stereotip negatif yang sering muncul," kata Muthia Ulfa M, mahasiswi Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada.
Selain itu, Muthia mengaku mengikuti pertukaran ini untuk mengetahui lebih jauh mengenai kebijakan China di sektor lingkungan, utamanya energi yang berubah cukup drastis dalam beberapa tahun terakhir. Jika sebelumnya China, utamanya Beijing, dikenal sebagai kota paling terpolusi karena penggunaan energi listrik dari batu bara, saat ini mereka telah berubah cepat ke energi bersih.
"Saya ingin tahu kenapa mereka bisa dan kenapa Indonesia justru saat ini malah membangun pembangkit listrik batu bara yang sudah mulai ditinggalkan negara lain, termasuk di China," kata dia.
Chandra, mahasiswa Minnan Normal University asal Depok, Jawa Barat mengatakan, selama ini banyak informasi hoax di Indonesia tenang China. Di antaranya, baru-baru ini diberitakan di salah satu media daring nasional dengan mengutip pernyataan nara sumber seorang rektor universitas swasta bahwa mahasiswa Indonesia di China diajari ideologi komunisme. "Jelas itu fitnah, selama saya belajar di sini tidak pernah disuruh ikut pelajaran tentang komunisme. Memang pelajaran itu wajib untuk mahasiswa asli China, tetapi tidak untuk mahasiswa internasional," kata dia.
Menurut Chandra, sebagai muslim yang tinggal dan belajar di China, dia juga tidak pernah merasakan adanya diskriminasi. Bahkan, di sebagian besar kampus di China juga menyediakan kantin halal. "Di sini juga banyak mahasiswa muslim, baik dari penduduk China maupun dari negara-negara lain. Saya harap, masyarakat di tanah air lebih hati-hati dalam menerima informasi," kata dia. (AIK)