Menteri Agama Minta Hakim Bijak
JAKARTA, KOMPAS – Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin meminta para hakim di Pengadilan Agama di seluruh daerah agar betul-betul bijak dan arif ketika menerima permohonan dispensasi untuk perkawinan anak atau perkawinan di bawah umur. Hakim harus mempertimbangkan secara komprehensif sebelum memberikan putusan atas permohonan tersebut.
Kalaupun hakim di Pengadilan Agama harus mengabulkan permohonan tersebut, kasusnya harus benar-benar kasusnya dalam kondisinya sangat khusus.
“Di sinilah kita mengharapkan kearifan dari hakim-hakim. Ketika ingin memberikan dispensasi dalam bentuk pengecualian terhadap larangan perkawinan di bawah umur harus betul-betul dan semata-mata demi kemaslahatan pemohon,” ujar Lukman menanggapi dispensasi perkawinan yang diberikan Pengadilan Agama Bantaeng, Sulawesi Selatan terhadap pasangan anak di bawah umur Sy dan Fa.
Perkawinan Sy (15) dan Fa (14) menjadi viral di media sosial, karena meskipun perkawinan mereka telah ditolak oleh Kantor Urusan Agama setempat karena keduanya dinilai masih dibawah umur, mereka mengajukan permohonan dispensasi ke pengadilan agama setempat. Ternyata permohonan tersebut dikabulkan hakim Pengadilan Agama Bantaeng.
Menanggapi kasus tersebut, Lukman menegaskan meskipun Undang-undang memberikan peluang adanya dispensasi dari pengadilan untuk perkawinan di bawah umur, sebagai menteri agama posisinya jelas yakni mencegah perkawinan di bawah umur, karena itu keburukannya lebih besar daripada manfaatnya.
“Kecuali ada kasus-kasus yang sangat khusus. Dan itu hanya boleh diputus oleh hakim melalui pengadilan. Jadi tidak bisa mengobral. Semua orang yang mengajukan dispensasi lalu dikabulkan. Tidak bisa demikian. Ini adalah klausula yang sifatnya sangat darurat betul,” tegas Lukman.
Oleh karena itu, Lukman menyatakan kasus yang terjadi dengan Sy dan Fa pasti sangat kasuistis, dan tidak bisa digeneralisir. Sebab, dispensasi atas perkawinan di bawah umur adalah kondisi tertentu yang sangat darurat, dan hanya pengadilan saja yang boleh memutus kasus tersebut. Itu pun setelah para hakim melihat dan mempertimbangkan permohonan tersebut secara komprehensif, dari berbagai sudut pandang.
“Itulah kenapa UU hanya memberikan kewenangan itu pada para hakim, bukan diberikan kepada penghulu atau pada KUA,” kata Lukman.
Indry Oktaviani dari Koalisi Perempuan Indonesia, yang juga Koordinator Koalisi 18+ yang mendampingi korban perkawinan anak dalam uji materi UU Perkawinan di Mahkamah Konstitusi menilai pertimbangan hakim pengadilan agama dalam memutus permohonan dispensasi sangat sumir.
“Sampai saat ini belum ada panduan dari Mahkamah Agung bagi hakim pengadilan agama untuk memutuskan diterima atau ditolaknya sebuah permohonan dispensasi,” ujar Indry.
Dispensasi Perkawinan
Adapun ketentuan dispensasi perkawinan diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 6. Pada Ayat (2) menyebutkan untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua. Namun, Ayat (3) menyebutkan jika kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu, ijin bisa diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
Jika kedua orangtua meninggal izin bisa diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya, sebagaimana diatur Ayat (4).
Pada Ayat (5) Pasal 6 UU Perkawinan mengatur, dalam hal ada perbedaan di antara orang-orang atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan di daerah tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang tersebut, seperti yang disebutkan dalam Ayat (2), (3) dan (4).
Selain di UU Perkawainan, dispensasi perkawinan di bawah umur juga diatur secara khusus dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 3 tahun 1975 tentang Kewajiban Pegawai-Pegawai Nikah Dan Tata Kerja Pengadilan Agama Dalam Melaksanakan Peraturan Perundang-Undangan Perkawinan Bagi Yang Beragama Islam.
Pasal 13 Permen tersebut mengatur apabila seorang calon suami belum mencapai umur 19 tahun dan calon istri belum mencapai umur 16 tahun hendak melansungkan pernikahan harus mendapat dispensasi dari Pengadilan Agama. Permohonan diajukan oleh kedua orang tua pria ataupun wanita kepada Pengadilan Agama di tempat tinggal calon pengantin.
Pengadilan agama setelah memeriksa dalam persidangan dan berkeyakinan bahwa terdapat hal-hal yang memungkinkan untuk memberikan dispensasi tersebut, maka Pengadilan Agama memberikan dispensasi nikah dengan suatu penetapan.
Gerakan stop perkawinan anak
Awal Nopember 2017 lalu, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Susana Yembise serta sejumlah kementerian dan lembaga lain meminta semua pemangku kebijakan, termasuk kalangan tokoh adat dan tokoh agama, meluncurkan Gerakan Stop Perkawinanan Anak di Kantor Menteri PPPA.
Yohana menyatakan komitmen bersama semua pemangku kepentingan diperlukan untuk menghentikan praktik perkawinan anak karena menghancurkan masa depan generasi penerus bangsa. Selain menghilangkan hak anak, perkawinan anak juga berdampak buruk bagi kesehatan anak.
”Harus ada komitmen selamatkan anak-anak dan perempuan. Dari data yang ada, banyak anak yang menikah belum siap sistem reproduksinya sehingga meninggal, termasuk bayinya. Banyak yang putus sekolah dan terpaksa bekerja, padahal masih anak-anak. Ini harus dihentikan,” kata Yohana ketika itu.
Perkawinan anak di Indonesia juga mendapat sorotan dunia. Dari data Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef) State of the World’s Children, 2016, disebutkan, perkawinan anak di Indonesia menempati urutan ke-7 di dunia. Untuk perkawinan anak di ASEAN, Indonesia nomor dua setelah Kamboja.