Hong Kong dalam Kemasan Estetik
Seni kontemporer kini menjadi bagian penting untuk mengubah wajah kota seperti Hong Kong menjadi lebih ramah, elegan, dan bercita rasa estetik. Negeri dengan luas ”cuma” 2.754 kilometer persegi itu ingin membuktikan sebagai kota layak seni.
Rupanya, Hong Kong belajar banyak dari negeri kecil, seperti Singapura, dengan 719,9 km persegi dan Venesia (414,6 km persegi), yang lebih dulu dikenal karena perhelatan seni. Jika Singapura kini punya Singapore Art Week, kota Venesia dikenal dengan Venezia Art Biennale yang sudah berlangsung ke-57 kali, dan inilah biennale seni rupa tertua di dunia.
Sepanjang Maret 2018, Hong Kong Tourism Board, organisasi pemerintah yang diberi tugas mempromosikan pariwisata, mengemas semua agenda seni di negeri itu menjadi Hong Kong Art Month. Peristiwa ini terdengar biasa, bahkan diragukan banyak pihak. Apa yang bisa dijual Hong Kong lewat seni?
Setelah sukses mengandalkan investasi modal asing untuk membangun industri dan pabrik-pabrik besar, lalu mengelola pelabuhan peti kemas nomor dua di dunia setelah Yunani, Hong Kong ingin dikenal sebagai negeri bercita rasa seni. Bukan kebetulan jika pergelaran seni sejauh ini selalu bersangkut paut dengan tingkat keadaban yang dicapai suatu bangsa. Bahkan, belakangan, seni kontemporer menjadi benda konsumsi yang diperlakukan sebagai artefak penting untuk pemenuhan kebutuhan gaya hidup.
Art Basel
Tidak salah jika Art Basel yang digagas pada 1970-an di kota Basel, Swiss, melebarkan sayap ke Hong Kong. Art Basel Hong Kong (27-31 Maret 2018) kemudian digelar sejak enam tahun silam. Peristiwa ini kemudian menjadi perhelatan bursa seni kontemporer terbesar di Asia dan Pasifik. Sampai kini, Art Basel hanya dihelat di tiga kota, yaitu Basel, Miami (Amerika Serikat), dan Hong Kong. Gelaran utama ini kemudian diperkuat oleh peristiwa seni pendamping, seperti Harbour Art Fair (23-26 Maret 2018) di Hotel Marco Polo Hong Kong. Masih ada peristiwa besar lain, yaitu Art Central (27 Maret- 1 April 2018), yang digelar di sebuah tenda besar berukuran 10.000 meter persegi.
”Kami melihat ini sebagai cara baru untuk menarik wisatawan ke Hong Kong,” kata Senior Marketing Manager Hong Kong Tourism Board Amy Lam.
Rombongan jurnalis dan seniman dari Indonesia, Senin (26/3/ 2018), dijamu oleh Communications Manager Hong Kong Tourism Board Vivian Lai di restoran Van Gogh Sense, Hong Kong. Sekadar tahu, Van Gogh Sense adalah restoran yang didesain untuk mengapresiasi karya-karya pelukis kenamaan Vincent van Gogh. Cita rasa menunya pun disesuaikan dengan karya-karya yang pernah dilahirkan pelukis berkebangsaan Belanda itu.
Perhelatan seni, apalagi seni kontemporer, dalam persepsi banyak orang tidak akan banyak melibatkan publik awam. Sebutlah perhelatan seperti Bazaar Art Jakarta, Art Stage Jakarta, dan ArtJog di Indonesia, yang sama- sama berkualifikasi sebagai art fair, sejauh ini memang hanya melibatkan galeri, kurator, seniman, kolektor, dan sedikit pencinta seni lainnya.
Peristiwa seni niscaya hanya mengisi ceruk pasar yang amat kecil. Namun, jangan salah, ceruk pasar yang kecil itu berasal dari kelompok kelas menengah atas yang menentukan arah pertumbuhan ekonomi. Bahkan, mereka menjadi patron yang amat impresif dalam pemenuhan kebutuhan akan gaya hidup. Mengoleksi benda seni, bagi seorang kolektor pada masa kini, tidak semata-mata dilihat dari sisi investasi (ekonomi), tetapi juga (dan ini yang lebih penting) ada pernyataan akan identitas kelas sosial. Apalagi seni yang dikoleksi berasal dari para pelukis kenamaan yang berkelas dunia, seperti Vincent van Gogh, Marc Chagall, Picasso, Salvador Dali, atau para perupa Indonesia, seperti Nyoman Masriadi, Agus Suwage, dan Affandi.
Wisatawan khusus
Hong Kong secara sangat telaten mendesain perhelatan seni yang diikuti oleh galeri-galeri berjejaring internasional untuk mendatangkan para kolektor dan pencinta seni. Perhelatan sekelas Harbour Art Fair, yang digelar untuk kedua kalinya, melibatkan 55 galeri, yang sebagian besar berasal dari Korea. Pergelaran ini menjadi unik karena menggunakan kamar hotel bintang lima, seperti Marco Polo Hong Kong, sebagai wahana untuk berpameran. Selain digelar di tempat tidur, karya seni juga digeber begitu saja di wastafel kamar mandi dan bathtub. Ini pameran yang berani!
Art Central berbeda lagi. Agenda ini sudah digelar untuk keempat kalinya di sebuah tenda di kawasan Victoria Harbour. Managing Director Art Central Charles Ross mengatakan, pada 2017, Art Central mencatat kunjungan 35.000 kolektor berkelas internasional, kurator dan pencinta seni.
”Tahun ini terlibat 102 galeri dengan 30 galeri yang baru pertama kali ikut, 75 persen adalah galeri dari Asia dan Pasifik,” kata Ross.
Director Art Basel Asia Adeline Ooi merasa sangat senang menyambut 248 galeri, yang 28 di antaranya untuk pertama kali datang ke Art Basel Hong Kong. ”Saya senang melihat kenyataan ini, di mana 14 galeri berasal dari Asia Pasifik,” ujar Ooi.
Pernyataan ini merujuk pada kenyataan bahwa seni kontemporer semakin mendapat tempat di kawasan Asia dan Pasifik. Sebagai perhelatan penting, Art Basel Hong Kong menyerap ratusan ribu pengunjung khusus, yang ingin mengoleksi karya-karya seni kontemporer.
Kawasan industri
Di luar soal itu, Sidney Luk, anggota staf Hong Kong Tourism Board, yang memandu para jurnalis dan seniman Indonesia, mengatakan, Hong Kong juga serius menghidupkan komunitas seni kontemporer untuk mengintervensi kawasan-kawasan industri.
”Ini sebagai cara meramahkan wajah Hong Kong,” kata Sidney Luk.
Di pabrik-pabrik industri besar, seperti tekstil dan perbengkelan di kawasan Wong Cuk Hang, dibangun galeri-galeri untuk mempercantik kawasan. Kini, di kawasan tersebut, tak kurang terdapat 28 galeri yang tersebar di sejumlah gedung tinggi. Bahkan, untuk menemukannya, pengunjung harus menggunakan lift barang yang sehari-hari digunakan oleh para karyawan pabrik.
Executive Chairman of South Island Cultural District Dominique Perregaux menjadi salah seorang yang menggerakkan dan menampung para seniman untuk berkarya di kawasan Wong Cuk Hang. Di Art Statement, yang berdiri di atas pabrik tekstil ini pada 2003, Dominique Perregaux menyediakan bengkel kerja bagi para seniman. ”Kemudian, saya menyalurkan karya-karya mereka ke Art Basel Hong Kong sebagai art fair yang terbesar,” katanya.
Di Distrik Fo Tan, yang dihuni pabrik-pabrik berskala besar sejak tahun 2000, Pemerintah Hong Kong ”menyisipkan” galeri dan studio-studio seni. Secara perlahan, wajah kawasan menjadi berubah menjadi lebih ramah. ”Ini semuanya untuk mengubah wajah Hong Kong menjadi lebih bercita rasa seni,” kata Sidney Luk.
Seluruh usaha Hong Kong Tourism Board ini mesti dipahami sebagai upaya mengemas Hong Kong dalam lapisan-lapisan estetik baru, yang kemudian berembus sebagai ”mata dagangan” baru yang seksi di mata dunia. Sekali dagang, ya, tetap dagang meskipun dikemas dengan cara yang berbeda. Itulah kemasan Hong Kong kini dan mungkin juga nanti….