Kini, Usia Muda Pun Ada yang Harus Cuci Darah
Penyakit tidak menular dan kronis, seperti gagal ginjal dan diabetes, kini tidak lagi didominasi mereka yang sudah berumur di atas 50 tahun. Anak-anak remaja pun mulai mengidapnya dan bahkan hingga harus menjalani cuci darah.
Salah satunya Krisna Nur Afandi (16), siswa kelas XI SMA Nahdlatul Ulama Blawirejo, Kecamatan Kedungpring, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Pada Jumat (6/4/2018), ia menjalani cuci darah di Unit Hemodialisa Rumah Sakit Umum Daerah Dr Soegiri Lamongan. Ia termasuk pasien baru yang menjalani cuci darah.
Menurut ayahya, Aminto, Krisna harusnya menjalani masa magang, tetapi kondisi fisiknya mudah menurun, tidak fit. Ia pun diperiksakan. Berdasarkan hasil pemeriksaan, ternyata ia harus menjalani cuci darah. Ginjalnya mengalami gangguan dan tidak berfungsi normal.
”Untungnya kami mendapatkan KIS (Kartu Indonesia Sehat),” kata Aminto yang mendampingi Krisna bersama nenek Krisna, Sutining.
Menurut Kepala Unit Pelayanan Hemodialisa (HD) RSUD Dr Soegiri Lamongan Subadi, ruang HD setiap hari selalu penuh. Layanan dibagi tiga sif, yakni sif pertama pukul 06.00-10.00, sif kedua pukul 10.30-14.30, dan sif ketiga pukul 15.00-19.00.
Unit tersebut didukung 10 paramedis, satu dokter spesialis, dan satu dokter penanggung jawab. Di Unit HD, ada 18 mesin cuci darah, 17 untuk reguler atau pasien umum dan satu khusus untuk hepatitis B.
”Biasanya ada satu yang dikosongkan atau dicadangkan. Tujuannya, untuk antisipasi jika ada mesin yang tidak berfungsi optimal, macet, atau ada kerusakan mesin. Satu mesin dikosongkan juga untuk dicadangkan bagi pasien yang perlu cuci darah dari UGD (unit gawat darurat) atau ICU (ruang perawatan intensif),” papar Subadi.
Pemicu pasien harus cuci darah bisa diawali dari hipertensi (tekanan darah tinggi) dan diabetes. Jika kondisi parah, akibatnya bisa mengarah ke gangguan ginjal.
”Tidak ada diskriminasi pasien yang non-BPJS atau yang di-cover BPJS. Tetapi, yang belum ikut program Jaminan Kesehatan Nasional biasanya disarankan mengurus surat keterangan miskin,” ucap Subadi.
Gaya hidup dan pola makan yang tidak sehat bisa memicu penyakit yang mengharuskan cuci darah. Subadi mengimbau masyarakat mengurangi mengonsumsi produk makanan instan, minuman suplemen berenergi, dan tidak berlebihan mengonsumsi obat-obatan, apalagi tanpa resep dokter.
”Sebelum ini bahkan ada yang cuci darah masih umur 12 tahun, perempuan. Tetapi akhirnya setelah tiga tahun, kondisi kesehatannya terus memburuk dan pasien itu akhirnya meninggal,” papar Subadi.
Semakin intensif
Pasien yang menjalani cuci darah, umumnya, biasanya frekuensi cuci darahnya bisa terus bertambah. Dari awal sebulan sekali, lalu sebulan dua kali, selanjutnya seminggu sekali, hingga seminggu dua kali. Bahkan ada yang harus menjalani cuci darah tiga kali seminggu.
Mustaji (70), warga Madulegi, Kecamatan Sugio, harus menjalani cuci darah dua kali seminggu. Saat cuci darah pekan lalu, ia memanggil perawat. Ia merasa ada yang bocor pada alat yang dipasang di pergelangan tangannya. Perawat pun segera bergegas membetulkan dan memasang selang yang terhubung dengan mesin HD itu.
Ia mengatakan sudah delapan tahun sakit, hingga harus menjalani cuci darah. Awalnya ia terkena hipertensi (tekanan darah tinggi) dan juga mengalami gangguan ginjal. Kini, ia harus cuci darah seminggu dua kali.
Beruntung, dirinya tercakup dalam program Jaminan Kesehatan Nasional melalui Kartu Indonesia Sehat. ”Saya berharap program ini diteruskan karena sangat menolong orang kecil seperti kami,” katanya.
Hamdan Lutfi (56), warga Paciran, juga merasa terbantu dengan ikut program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan kelas I. Ia menjadi peserta BPJS Kesehatan mandiri dengan iuran Rp 80.000 per bulan.
Iuran premi itu dinilai tidak sebanding dengan uang yang harus ia keluarkan untuk sekali cuci darah yang mencapai Rp 860.000 beserta uang tebus resep obat-obatnya.
”Siapa yang mau sakit. Tetapi, ikut BPJS dengan iuran segitu banyak manfaatnya. Terasanya, ya, kalau pas butuh seperti saya ini,” ujar Hamdan.
Ia menceritakan, dirinya mengalami gangguan kesehatan karena dulunya sering meminum minuman suplemen. Hamdan pernah menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) di Brunei Darussalam. Selanjutnya, ia pulang ke Tanah Air dan bekerja sebagai kuli bangunan hingga menjadi tukang.
Ia tidak tahu dampak dan efek terlalu banyak mengonsumsi minuman suplemen berenergi. Maksudnya untuk menambah stamina agar tak mudah lelah, tidak tahunya berdampak buruk bagi kesehatannya.
Ginjalnya mengalami gangguan sejak 2014, hingga akhirnya ia harus menjalani cuci darah seminggu dua kali sejak 2016. Tanah beserta bangunan yang ia miliki pun ikut terjual untuk kebutuhan berobat.
Kalau sudah cuci darah, berapa pun harta bisa tersita.
Setiap cuci darah dari Paciran ke Lamongan, ia menempuh jarak lebih kurang 45 kilometer dengan sepeda motor, ditemani istrinya. ”Kalau tidak ikut BPJS, tidak tahu lagi dari mana biaya untuk menanggung pengobatan. Apalagi harus menjalani cuci darah,” ujar Hamdan.
Akhwan (62), warga Solokuro, pun berharap BPJS Kesehatan dipertahankan dan pelayanan pasien lebih ditingkatkan. Ia juga ikut BPJS kepesertaan mandiri kelas I.
”Kalau tidak ada ini (BPJS), mungkin habisnya lebih banyak. Sebelum ikut BPJS, sedikitnya dalam seminggu keluar uang Rp 1,5 juta. Sebulan bisa Rp 6 juta. Kepesertaan pada BPJS sangat menolong,” katanya di sela-sela cuci darah.
Sebelum ini bahkan ada pasien yang cuci darah masih umur 12 tahun, perempuan.
Akhwan sudah empat tahun menjalani cuci darah. Dulu sebelum di RSUD ada mesin dan unit HD sendiri, ia harus menjalani cuci darah di Gresik atau Surabaya. Biaya transportasinya bisa mencapai Rp 450.000 untuk sekali cuci darah. ”Kalau sudah cuci darah, berapa pun harta bisa tersita,” ujarnya.