Kalimantan Timur Masih seperti Dahulu
Dimensi rasanya berpindah ketika masuk ke Kedaton Kutai Kartanegara Ing Martadipura di belakang Museum Mulawarman, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Februari lalu. Lampu kristal dengan diameter hampir 2 meter menggantung di langit-langit yang tinggi.
Singgasana berukir keemasan diapit lukisan Sultan Kutai Kartanegara Ing Martadipura pada saat ini, yaitu Sultan H Aji Muhammad Salehuddin II dan sultan-sultan sebelumnya. Tirai dan pilar di tempat itu memperkuat kesan seperti berada di sebuah kastel di Eropa.
Kesan itu sebenarnya tidak salah. Walaupun aslinya kedaton terbuat dari kayu, kemewahan dan selera Barat Kesultanan Kutai pernah dicatat tahun 1927 oleh William O Krohn dalam bukunya, In Borneo Jungles - Amongst the Dyak Headhunters. Ia mencatat, sultan Kutai saat itu, Sultan Parikesit, punya tiga mobil buatan Eropa dan Amerika. Uniknya, saat itu jalan yang bisa dilewati mobil sempit dan pendek. Akibatnya, mobil hanya bisa dipakai maju dan mundur.
Pada abad ke-19, Kesultanan Kutai telah mendapatkan banyak pemasukan dari perdagangan. Hasil hutan diambil oleh orang-orang Dayak, dibawa ke kesultanan lewat Sungai Mahakam. Oleh Kesultanan Kutai, hasil alam ini ditukar dengan garam dan dijual lewat pedagang Bugis ke Makassar. Orang-orang Banjar juga berdatangan karena ingin berdagang sejak abad ke-17. Sementara orang-orang dari Jawa datang lewat tangan Belanda yang menang perang di Jawa tahun 1825-1830. Pada masa Orde Baru, kedatangan orang dari Pulau Jawa semakin intensif lewat program transmigrasi.
Demi menyingkirkan Inggris yang juga berdagang dengan Kutai, lewat berbagai perjanjian, Belanda lalu menguasai Kesultanan Kutai. Belanda makin mengetatkan cengkeramannya ketika mengetahui bahwa Kalimantan Timur kaya minyak bumi dan batubara.
Menurut catatan Burhan Magenda dalam monografnya, East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy, Belanda tak hanya mengubah tatanan birokrasi istana, tetapi juga menggaji sultan dan membayar royalti minyak, batubara, dan hasil hutan. Alhasil, para elite dan sultan Kutai disebut Magenda sebagai yang terkaya di seluruh Nusantara.
Tak berubah
Konstelasi ini tidak banyak berubah hingga hari ini. Pertama, terkait kembali berdirinya Kesultanan Kutai setelah dibubarkan Pemerintah RI tahun 1960. Tahun 1999, Bupati Kutai Kartanegara Syaukani Hasan Rais berniat menghidupkan kembali Kesultanan Kutai dengan membangun kedaton yang baru. Ia mengatakan, hal ini demi alasan pelestarian budaya.
Gerry van Klinken, peneliti dari KITLV dalam tulisannya yang berjudul Kembalinya Para Sultan: Pentas Gerakan Komunitarian dalam Politik Lokal mencatat ada 24 keraton yang bangkit kembali dan hampir semuanya terjadi di era Reformasi. Para sultan merepresentasikan dirinya sebagai lambang adat kebiasaan, identitas, dan komunitas.
Di Kalimantan Timur, Kesultanan Kutai punya peran dalam menjaga harmoni dalam distribusi kekuasaan. Menteri Tata Nilai Adat Kesultanan Kutai Adji Pangeran Aryo Kusuma Puger mengatakan, setiap tahun kesultanan menyelenggarakan upacara erau. Upacara yang telah dilaksanakan sejak abad ke-14 itu kini dimodifikasi. ”Masyarakat membawa hasil panen, tapi tidak lagi ke sultan karena sultan tidak lagi pemegang kekuasaan, tapi adat. Dana untuk erau sekarang dari pemerintah,” ujarnya.
Aryo menjelaskan, ritual erau dimaksudkan untuk menyatukan etnis-etnis yang ada. Ia mengatakan, pada masa Sultan Sulaiman, wilayah Kutai telah dibagi-bagi antara orang Dayak, orang Kutai, dan pendatang. Walaupun kini sudah bercampur-campur dan ada pemerintah, adat tetap menjadi dasar. Meski tidak ada sanksi adat, ada sanksi sosial bagi pendatang yang tidak mengikuti kebiasaan setempat.
”Di sini tidak ada konflik etnis. Kini yang kami takutkan adalah jika ada yang menggunakan etnis untuk kekerasan dan kepentingan ekonomi,” kata Putra Mahkota Kesultanan Kutai Adji Mochammad Arifin Prabu.
Di sini tidak ada konflik etnis. Kini yang kami takutkan adalah jika ada yang menggunakan etnis untuk kekerasan dan kepentingan ekonomi.
Kedua, Kalimantan Timur tetap jadi wilayah terkaya hingga hari ini dan kekayaan itu terutama diakses oleh para elite. Data Badan Pusat Statistik tahun 2016, pendapatan domestik bruto rata-rata per kapita provinsi itu ada di nomor dua setelah DKI Jakarta. Konstelasi elite juga tetap mewakili etnis-etnis yang telah lama ada di daerah itu. Secara demografi, orang Jawa sebagai pendatang sebanyak 30 persen dari total penduduk, diikuti Bugis (20 persen), Banjar (12,5 persen), Dayak (10 persen), dan Kutai (8 persen).
Pengajar Universitas Mulawarman, Ndan Imang, mengatakan, citra tentang Dayak meningkat drastis setelah otonomi daerah. Meski hanya minoritas, tokoh-tokoh politik merasa perlu untuk sowan atau menggandeng suku Dayak dalam politik. Dalam proses politik sehari-hari, para pemuka Dayak kerap turun tangan kalau ada konflik. ”Di Tarakan, tahun 2015, ada konflik antara Bugis dan Tidung. Orang Dayak yang jadi penengah,” ujarnya.
Sayangnya, lanjut Ndan Imang, hal itu belum sebanding dengan akses ekonomi yang diperoleh orang Dayak. Di sisi lain, politik distribusi kekuasaan ini bersifat pragmatis mengeksploitasi sumber daya alam dan cenderung kurang memperhatikan masyarakat.
Ketiga, distribusi kekuasaan di antara para elite ini juga terkait erat dengan pembagian sumber daya alam. Ahyar Muhammad Diah dalam tesisnya pada tahun 2017 tentang patron politik ke Kaltim mencatat, dari 55 anggota DPRD, 21 orang adalah pengusaha. Sebagian besar dari mereka berbisnis lewat proyek-proyek APBD dan sebagian yang lain berbisnis sumber daya alam.
Ibarat keluarga kerajaan, beberapa elite juga ”melanjutkan” kekuasaan dari orangtua atau kerabatnya. Contohnya, anak Gubernur Kaltim Awang Faroek, yaitu Awang Ferdian Hidayat, jadi salah satu calon wakil gubernur dalam pilkada kali ini. Sementara Bupati Kutai Kartanegara (nonaktif) Rita Widyasari ”menggantikan” posisi ayahnya, yaitu Syaukani Hasan Rais. Neni Moerniaen ”melanjutkan” posisi suaminya, yaitu Sofyan Hasdam, menjadi wali kota Bontang.
Akhirnya, tujuan otonomi, yaitu untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, pemerataan, dan pengembangan demokrasi, belum sepenuhnya tercapai di Kalimantan Timur. Daerah itu masih seperti dulu, kaya akan sumber daya alam, tetapi pemanfaatannya terbatas pada elite dan teman-temannya.