JAKARTA, KOMPAS — Integrasi angkutan jalan raya menjadi kunci perbaikan kualitas sistem transportasi umum di Jakarta. Tidak hanya dari segi moda transportasi, regulasi pemerintah yang berkaitan dengan penggunaan kendaraan di jalan raya menjadi cara untuk mendorong masyarakat beralih ke angkutan umum.
Country Director Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Indonesia Yoga Adiwinarto, di Jakarta, Kamis (12/4/2018), menyatakan, kunci untuk memaksimalkan penggunaan angkutan umum bagi masyarakat adalah integrasi antarmoda angkutan. Intervensi pemerintah diperlukan dalam pengelolaan angkutan umum secara menyeluruh agar integrasi tersebut dapat tercapai.
”Angkutan jalan raya menjadi kunci dalam integritas karena lebih fleksibel dibandingkan angkutan berbasis rel. Tanpa adanya integrasi, masyarakat tidak memiliki kepastian waktu dan keterjangkauan sehingga lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi,” ujarnya dalam Diskusi Transportasi Urban di Jakarta Pusat. Diskusi ini juga dihadiri Kepala Dinas Perhubungan Andri Yansyah dan Kepala Koperasi Angkutan Jakarta (Kopaja) Nanang Basuki.
Yoga berujar, sistem kontrak yang mengikat ini membuat pemerintah memiliki pengaruh pada aspek operasional angkutan umum yang dimiliki operator. Jika tidak sesuai dengan perjanjian, pemerintah bisa memberikan peringatan kepada operator angkutan umum.
”Seharusnya ada kontrak yang bisa memastikan pemerintah bisa memanjangkan tangannya ke operator angkutan umum. Kalau sekarang, pemerintah masih belum bisa ikut campur,” lanjutnya.
Peremajaan bisa menjadi salah satu hal yang penting dalam proses integrasi angkutan umum. Yoga berpendapat, sistem OK OTrip masih belum bisa membuat masyarakat beralih ke angkutan umum jika tidak ada upaya peremajaan angkutan umum.
”Masyarakat tidak akan naik angkutan umum kalau angkot-angkotnya masih lama. Jadi, peremajaan itu yang penting. Kalau hanya mengandalkan pengelola dan pemilik kendaraan, tidak akan terjadi sampai kapan pun,” ujarnya.
Tidak hanya dari aspek moda transportasi, pemerintah juga bisa mengeluarkan kebijakan yang mendorong masyarakat untuk meninggalkan kendaraan pribadi dan beralih ke angkutan umum. Pemerintah daerah, kata Yoga, memang tidak memiliki wewenang untuk menaikkan harga kendaraan.
Namun, intervensi pemerintah untuk mengurangi kendaraan yang berada di Ibu Kota bisa dengan penggunaan aturan ganjil-genap dan mengurangi jumlah parkir yang ada di pusat kota. Yoga mengatakan, berdasarkan survei ITDP, di ruas Jalan Sudirman-Thamrin saja terdapat 28.000 ruang parkir.
”Ini sama saja mengajak 28.000 kendaraan untuk parkir di jalan protokol ini. Pemerintah bisa mengatur tarif parkir yang mahal atau pembatasan waktu sehingga masyarakat terdorong untuk meninggalkan kendaraannya di rumah dan menggunakan kendaraan umum,” paparnya.
Andri Yansyah menjelaskan, sistem pembayaran OK OTrip bertujuan untuk mengintegrasikan angkutan yang ada di DKI Jakarta. Dengan menggunakan satu kartu OK OTrip, seseorang bisa memanfaatkan akses transportasi yang terhubung dengan bus transjakarta.
Selain itu, program ini juga bertujuan untuk memangkas ongkos transportasi penduduk DKI Jakarta yang mencapai 30 persen. ”Kalau kita ambil saja patokannya UMR, Rp 3,4 juta, berarti anggaran untuk transportasi bisa lebih dari Rp 1 juta,” ucapnya.
Andri berujar, pemerintah masih berusaha mengajak pengusaha angkot untuk mengikuti program OK OTrip. Namun, dari 2687 unit yang ada di Jakarta, baru 71 unit yang menggunakan sistem OK OTrip.
”Kami masih berusaha untuk berbicara bersama dengan para pengusaha angkot karena penawaran ini tidak merugikan mereka. Pemerintah telah mengalokasikan dana Rp 3,2 triliun untuk transportasi Jakarta. Tapi, jangan ada yang mengada-ada. Mentang-mentang ada dana, rupiahnya dinaikin,” tuturnya.
Integrasi memang menjadi tujuan bersama. Namun, Nanang Basuki menyebutkan, pemerintah juga harus memikirkan operasional kendaraan. Ia berujar, integrasi yang dilakukan Kopaja dengan Transjakarta mampu membuat pengemudi tertata rapi dan pengelolaan bisa dilakukan oleh satu manajemen.
Akan tetapi, lanjut Nanang, pembiayaan operasional yang membengkak membuat para pengusaha Kopaja mulai resah. ”Kami beroperasi dari tanggal 1 hingga 30. Seharusnya PT Transjakarta membayar paling tidak tanggal 5. Namun, PT Transjakarta selalu membayar kami 20 hari berikutnya. Kami ingin PT Transjakarta memberikan jawaban 1-2 bulan dari sekarang untuk mencari solusi,” tuturnya.
Nanang juga berharap, PT Transjakarta bisa mengatur jadwal agar 300 unit Kopaja yang bergabung dapat beroperasi dan tidak menumpuk. ”Kepastian pelayanan inilah yang dibutuhkan masyarakat. Jadwal yang pasti membuat masyarakat akan beralih ke angkutan umum. Percuma bagus, tapi masyarakat tidak naik, yang rugi operator,” katanya.
Seperti perubahan kebiasaan masyarakat yang senang menggunakan KRL karena terjadwal, menurut Nanang, kepastian jadwal ini yang akan mengubah kebiasaan masyarakat, dari pengguna kendaraan pribadi menjadi angkutan umum.