Ike Nur Kumalasari (16) dan Damar Jati Isworo Jatmiko (11) Rabu (11/4/2018) bergantian menunjukkan kepiawaiannya mendalang. Bukan hanya monolog, keduanya juga menunjukkan keahliannya dalam sabetan wayang, saat dua tokoh wayang bertarung.
Sore itu, keduanya berlatih bersama di Sanggar Trajuwening, Desa Kandangan, Kecamatan Cerme, Kabupaten Gresik, bersama pemuda dan anak-anak lainnya. Malamnya mereka akan tampil dalam Festival Dalang Cilik di Surabaya.
Ike sendiri menyukai wayang karena dinilai sarat filosofi baik segi karakter tokoh maupun jalan ceritanya. Lakon yang dibawakan sang dalang umumnya mengandung nilai-nilai hikmah dan pesan moral. “Yang terpenting saya ingin ikut melestarikan kesenian wayang dan karawitan,” ujar remaja yang juga jago memainkan perangkat gamelan itu.
Ike sendiri tidak punya darah keturunan seni dari orangtua maupun kakek neneknya. Tetapi ia punya semangat mencintai seni tradisi sejak SMP. Ia pun mengambil sekolah di SMK 12 Surabaya mengambil jurusan karawitan.
Siswa kelas XI, asal Dawarblandong, Mojokerto itu kini magang di Sanggar Trajuwening yang diasuh Ki Puguh Prasetyo. “Kalau bagi perempuan susahnya pas monolog, sebab memainkan karekter tokoh pria,terasa sulit,” kata Ike.
Sementara Damar yang masih duduk kelas V SD, punya bakat seni turunan dari ayah dan kakeknya. Ayahnya, Aryo Jatmiko juga bisa mendalang, apalagi kakeknya Ki Supeno Admodjo. “Bisa dibilang ini bakat warisan. Tetapi saya juga menyukai wayang sejak kecil,” kata bocah yang ingin terkenal seperti dalang kondang KI Manteb Sudarsono dan dalang edang Ki Enthus Susmono.
Sementara Amelia Dian Pitaloka dan Anggraini Nuryati, siswa kelas VIII SMP di Balongpanggang, Gresik memilih bakatnya menyinden. Keduanya baru bergabung karawitan tahun lalu, tetapi langsung jatuh hati. Keduanya tak ikut arus kebanyakan remaja sesuainya yang cenderung menyukai musik modern semacam berirama pop, rock, ska, dangdut dan lainnya. “Dangdut ya suka, pop ya suka, tapi lebih senang nyinden saja,” kata Amel.
Pembina Sanggar Trajuwening Ki Puguh Prasetyo menuturkan ia mendirikan sanggar sebagai bentuk kepedulian untuk melesetarikan seni tradisi. Ia ingin ada regenerasi agar wayang kulit jek dong khas Jawa Timuran dan seni karawitan tetap ada yang nguri-uri (ada yang merawat dan melestarikannya).
Menurut dia seni pedalangan itu punya nilai sastra yang adiluhung. Tetapi, agar mudah dipahami anak-anak muda, kadang perlu disesuaikan siapa penikmatnya. Mungkin untuk kalangan anak-anak agar mengerti bisa menggunakan bahasa Indonesia. “Tetapi tentu saja nilai seni dan kasustraanya akan berbeda jauh dengan yang pakem (baku). Semangatnya yang terpenting seni tradisi bisa lestari,” kata Puguh.