YOGYAKARTA, KOMPAS — Upaya pelestarian cagar budaya membutuhkan sinergi dan koordinasi yang kuat di antara berbagai pihak terkait. Hal ini karena pelestarian cagar budaya berkaitan dengan kewenangan sejumlah lembaga pemerintah sekaligus membutuhkan keterlibatan berbagai elemen masyarakat.
”Masalah ini (pelestarian cagar budaya) menyangkut berbagai sektor. Oleh karena itu, perlu sinergi dan koordinasi di antara berbagai lembaga,” kata Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Ari Setyastuti dalam diskusi terbatas ”Nasib Cagar Budaya di Yogyakarta Kini dan Esok”, Rabu (11/4/2018) di kantor harian Kompas Perwakilan DIY, Kota Yogyakarta.
Diskusi terbatas itu diselenggarakan atas kerja sama Paguyuban Wartawan Sepuh Yogyakarta, Yayasan Indonesia Rumah Kebhinekaan, serta harian Kompas.
Selain Ari, pembicara lain dalam diskusi tersebut adalah Wakil Wali Kota Yogyakarta Heroe Poerwadi; dosen arsitektur Universitas Gadjah Mada, Laretna Trisnantari Adhisakti; Ketua Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta Achmad Charis Zubair; serta pengurus Yayasan Indonesia Rumah Kebhinekaan, Amiluhur Soeroso.
Ari menyatakan, pelestarian cagar budaya berkaitan dengan kewenangan sejumlah lembaga, misalnya pemerintah kabupaten/kota, pemerintah provinsi, dan BPCB yang merupakan unit pelaksana teknis di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Oleh karena itu, dibutuhkan koordinasi yang baik di antara berbagai lembaga tersebut.
Menurut Ari, koordinasi dan sinergi yang kuat itu terutama dibutuhkan terkait proses pemugaran bangunan cagar budaya, baik yang dimiliki pemerintah maupun pihak di luar pemerintah. Sebab, sesuai aturan yang ada, pemugaran bangunan cagar budaya milik individu, perusahaan swasta, ataupun lembaga nonpemerintah, juga harus lebih dulu mendapat izin dari institusi pemerintah.
Ari mencontohkan, setelah gempa bumi melanda DIY pada tahun 2006, banyak bangunan cagar budaya yang rusak sehingga harus dilakukan pemugaran. Saat itu, dia menambahkan, BPCB DIY bekerja sama dengan Pemerintah Daerah (Pemda) DIY dan pemerintah kabupaten/kota di DIY untuk melakukan kajian terkait pemugaran bangunan cagar budaya yang rusak setelah gempa 2006.
”Waktu itu, kami membentuk tim untuk mendampingi para pemilik cagar budaya untuk merencanakan pembangunan kembali. Kebetulan kami kan punya data dan gambar aslinya sehingga bisa menjadi petunjuk dalam membangun kembali,” kata Ari.
Khusus di wilayah DIY, Ari mengatakan, setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY, peran Pemda DIY dalam pelestarian cagar budaya menjadi cukup dominan. Sebab, UU Keistimewaan DIY antara lain menyebut DIY memiliki keistimewaan dalam lima bidang, termasuk bidang kebudayaan yang mencakup tugas pelestarian cagar budaya.
Setelah UU Keistimewaan DIY terbit, Pemda DIY juga mendapat dana keistimewaan dari pemerintah pusat dan sebagian dana tersebut dipakai untuk kegiatan pelestarian cagar budaya. ”Banyak kegiatan pelestarian dan pemantauan cagar budaya di DIY itu didanai dana keistimewaan,” ujar Ari.
Ari juga mengingatkan, proses pelestarian cagar budaya tidak boleh hanya memperhatikan aspek pelestarian. Sejumlah aspek lain, semisal kebutuhan masyarakat, pendidikan, dan perekonomian, juga harus dipertimbangkan. ”Jadi, tidak bisa kita egois, hanya arkeolog atau arsitek yang dipertimbangkan pemikirannya,” katanya.
Lima kawasan
Heroe Poerwadi menyatakan, ada lima kawasan Kota Yogyakarta yang telah ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya. Lima kawasan cagar budaya itu adalah kawasan Malioboro, kawasan Keraton Yogyakarta, kawasan Pakualaman, kawasan Kotabaru, dan kawasan Kotagede.
”Berdasarkan definisi di Undang-Undang Cagar Budaya, sebuah kawasan itu bisa disebut kawasan cagar budaya apabila memiliki dua situs cagar budaya atau lebih,” kata Heroe.
Namun, Heroe mengatakan, tidak semua bangunan di dalam kawasan cagar budaya sudah ditetapkan bangunan cagar budaya. Dia mencontohkan, di kawasan Kotabaru, banyak bangunan yang belum ditetapkan sebagai cagar budaya.
”Bangunan di kawasan Kotabaru yang sudah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya itu misalnya gedung SMA Negeri 3 Yogyakarta, SMP Negeri 5 Yogyakarta, Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta, dan Museum Sandi,” ujar Heroe.
Menurut Heroe, salah satu langkah yang bisa dilakukan untuk menjaga kelestarian kawasan cagar budaya adalah upaya adaptasi. UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya menyatakan, upaya adaptasi adalah pengembangan cagar budaya untuk kegiatan yang lebih sesuai dengan kebutuhan masa kini dengan melakukan perubahan terbatas yang tidak akan mengakibatkan kemerosotan nilai pentingnya atau kerusakan pada bagian yang memiliki nilai penting.
”Upaya adaptasi ini untuk menjadikan bangunan yang ada di dalam kawasan cagar budaya tetap mencerminkan karakter atau gaya kawasan itu,” ungkap Heroe.