Minuman keras menjadi pelarian masyarakat untuk melupakan beban hidup. Daerah urban dengan lalu lintas publik yang tinggi harus mendapat perhatian utama.
Oleh
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Minuman keras menjadi pelarian masyarakat untuk melupakan beban. Lingkungan warga yang bermasalah menimbulkan tekanan jiwa yang besar dan sulit ditenggang.
Hingga Selasa (10/4/2018), 51 orang tewas di Kota Bandung, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, sepekan terakhir. Puluhan lainnya masih dirawat. Fenomena serupa terjadi di Jakarta, Bekasi, Depok, dan Tangerang, pekan lalu.
Dari hasil uji Laboratorium Forensik Kepolisian Negara RI, minuman oplosan yang beredar di Jakarta mengandung etanol dan metanol. Hasil uji itu diumumkan Kepala Kepolisian Resor Metro Jakarta Selatan Komisaris Besar Indra Jafar, kemarin. Indra mengatakan, polisi mendapatkan hasil otopsi korban tewas dan sampel cairan yang masuk ke badan korban. Hasilnya, di tubuh korban ada cairan metanol dan etanol.
Etanol berefek memabukkan. Namun, campuran metanol sangat mematikan karena membuat fungsi paru-paru dan organ pernapasan terganggu. ”Hasil otopsi dan uji toksikologi, etanol menyebabkan mati lemas,” ujar Indra, Selasa.
Jumlah korban tewas itu hanya fenomena gunung es karena pengonsumsi minuman oplosan diyakini jauh lebih banyak. ”Minuman beralkohol jadi pelarian dari masalah, stres, dan keputusasaan,” kata peneliti Pusat Kesehatan Mental Masyarakat Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Rahmat Hidayat, kemarin.
Masalah pemicu itu bisa berasal dari banyak hal. Mulai dari tekanan ekonomi, sulitnya mendapat pekerjaan, tiadanya jaring pengaman sosial saat ada PHK, disharmoni keluarga, hingga keinginan yang tak tercapai.
Perhatikan urban
Psikolog Universitas Maranatha Efni Indriani menilai, berkaca dari sejumlah kejadian terakhir, daerah urban dengan lalu lintas manusia tinggi harus mendapat perhatian utama. Dengan penegakan hukum yang belum ideal, pengaruh buruk pergaulan negatif bisa muncul di tengah keterbatasan ekonomi.
”Tantangannya tidak ringan. Akses pergaulan tidak hanya dari lingkungan sekitar, tetapi juga datang lewat teknologi. Ingin eksis di media sosial atau terlihat gagah saat mabuk di depan teman-temannya bisa memicu tingginya kasus ini,” ujarnya.
Sosiolog kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Anas Saidi berpendapat, tewasnya orang-orang di usia produktif akibat minuman oplosan lebih ke soal ingin coba-coba. ”Ada pula faktor stres dan keterbatasan akses untuk menyalurkannya ke hal-hal positif,” ujarnya.
Ia menjabarkan, oplosan merupakan fenomena di masyarakat menengah ke bawah. Fakta bahwa korban tewas berasal dari usia produktif menunjukkan dua hal.
Faktor pertama, adanya tekanan hidup. ”Faktor kedua, faktor usia muda korban yang membuat mereka saling adu nyali pembuktian keberanian,” ujar Anas.
Dari penelusuran Kompas, berbagai kasus korban tewas akibat minuman oplosan sudah terjadi sejak puluhan tahun lalu. Pada Maret 1995, misalnya, 11 orang tewas di Karanganyar dan Solo karena meminum cairan dengan kandungan metanol, sejenis alkohol berkadar 96 persen (Kompas, 23/3/1995).
Pada Oktober 2003, empat orang tewas dan delapan orang harus dirawat di rumah sakit, di Desa Setiadarma, Kecamatan Tambun, Kabupaten Bekasi. Hal itu terjadi karena mereka menenggak minuman oplosan yang biasa disebut ginseng, yang dibeli dari ”kios jamu” di desanya (Kompas, 17/10/2003).
Menengah ke bawah
Dari Bandung dilaporkan, puluhan korban masih dirawat intensif di beberapa rumah sakit. Jumlah korban juga diprediksi bertambah. ”Pembelinya kebanyakan menengah ke bawah. Harganya relatif murah,” ujar Direktur Reserse Narkoba Polda Jabar Komisaris Besar Enggar Pareanom di RSUD Cicalengka, Kabupaten Bandung, Selasa.
Polisi menetapkan dua tersangka, JS dan HM. Mereka penjual minuman oplosan di Jalan Raya Bandung-Garut. Pemasok berinisial C masih diburu.
Satu dari 51 orang tewas adalah Dina (29), warga Kampung Warung Peuteuy, Desa Tenjolaya, Cicalengka. Satu-satunya korban perempuan di Kabupaten Bandung itu meninggal di RSUD Cicalengka, Sabtu. Sehari sebelumnya, ia mengeluhkan sakit perut. Diduga para korban tewas, setelah mencampur minuman dengan losion obat nyamuk, obat batuk sirup, dan metanol, mirip dengan fenomena 1990-an.
Dina tinggal bersama ibunya, Ani (59). Mereka tinggal di rumah seluas 42 meter persegi berdinding tembok kusam di kampung padat penduduk. Ani buruh toko pakaian di Kota Bandung. Sibuk bekerja, Ani tidak mengetahui anak keempatnya itu meminum minuman oplosan.
AR (28), warga Cicalengka yang masih dirawat, mengaku mengonsumsi minuman oplosan tiga tahun terakhir. Harga murah menjadi alasan AR terus meminumnya. ”Hanya Rp 20.000 per botol. Terakhir, bahkan Rp 15.000 per botol. Sebelum dikonsumsi, minuman ginseng itu dicampur tuak,” ujarnya.