Bagi-bagi Sertifikat Tanah, Program Pemerintah yang Banyak Diapresiasi Rakyat
SUKOHARJO, KOMPAS — Kebijakan pemerintah memberikan sertifikat tanah melalui program Pendaftaran Tanah Sistemik Lengkap atau PTSL diapreasi warga. Warga yang sebelumnya tidak memiliki sertifikat tanah kini merasa lega karena kini memiliki bukti sah atas kepemilikan tanah yang diurus dengan mudah.
Suparno (63), warga Desa Mayang, Kecamatan Gatak, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, mengaku telah mengurus penerbitan sertifikat tanah melalui program PTSL tahun 2017. Lahan warisan orangtuanya seluas 900 meter persegi sebelumnya hanya memiliki bukti dokumen Letter C.
”Itu pun suratnya sudah tidak ada, tetapi pihak pemerintah desa masih memiliki bukti kepemilikan tanah saya. Setiap tahun, saya juga membayar pajak bumi dan bangunan, jadi tidak masalah untuk pengurusan sertifikat tanah,” katanya di Desa Mayang, Gatak, Sukoharjo, Rabu (11/4/2018).
Suparno mengatakan, dirinya diberi tahu ada program pengurusan tanah gratis dari pihak pemerintah desa. Setelah mengikuti sosialisasi tingkat Kecamatan Gatak, Suparno tanpa ragu segera memanfaatkan ikut program tersebut dan membayar Rp 700.000 untuk satu sertifikat.
”Biaya itu diumumkan saat sosialisasi. Itu terjangkau, kalau mengurus sendiri pembuatan sertifikat tanah melalui notaris bisa keluar biaya sampai Rp 5 juta,” katanya.
Suparno mengapresiasi program ini dan berharap diteruskan pemerintah karena sangat membantu masyarakat. Program kerakyatan ini diakuinya tidak memengaruhi pilihan politik dalam Pemilu 2019. ”Kalau soal pilihan politik tidak terpengaruh,” katanya.
Sulastri, warga Desa Kumpulrejo, Kecamatan Argomulyo, Salatiga, Jawa Tengah, mengaku sangat gembira dan lega karena kini telah memiliki sertifikat tanah. Sertifikat tanah yang dimilikinya tercatat seluas 244 meter persegi diperoleh tanpa keluar biaya.
”Sertifikat ini sudah dibuatkan gratis. Saya lega dan senang sekali sudah punya sertifikat tanah,” ujarnya.
Dari catatan Kompas, pemerintah telah membagikan ribuan sertifikat tanah kepada masyarakat di Jawa Tengah. Di Solo, Presiden Joko Widodo menghadiri acara penyerahan 3.242 sertifikat tanah untuk warga dari sejumlah kabupaten di Jawa Tengah di Lapangan Kota Barat, Solo, (16/10/2016).
Di Boyolali, Jawa Tengah, Presiden Jokowi, juga hadir dalam penyerahan sebanyak 10.055 sertifikat tanah kepada warga Jawa Tengah (21/4/2017). Sementara itu, acara penyerahan 6.057 sertifikat tanah di Stadion Sriwedari, Solo, (26/5/2017), dihadiri Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan A Djalil dan Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani.
Di Boyolali, saat penyerahan sertifikat, Presiden mengatakan, pembuatan sertifikat sangat penting untuk menghindari konflik atau sengketa lahan antarwarga, warga dengan instansi, ataupun warga dengan perusahaan. Karena itu, jika warga telah memiliki sertifikat, tidak akan terjadi sengketa lahan. Selain itu, sertifikat tanah juga dapat dimanfaatkan warga untuk mengakses pinjaman modal usaha kepada perbankan.
”Sertifikat harus dibagi karena ini adalah hak hukum atas tanah. Ini adalah tanda bukti jangan sampai memiliki lahan, tetapi tidak punya sertifikat,” katanya (Kompas, 22/4/2017).
Masyarakat di sejumlah kabupaten di Jawa Barat megapresiasi program sertifikasi tanah yang dicanangkan Presiden beberapa tahun terakhir. Program itu dapat memberikan kepastian hukum terhadap tanah masyarakat sehingga sengketa lahan dapat dihindari.
”Ini program bagus. Hanya dua bulan, sertifikat tanah saya jadi. Padahal, kalau tanpa program ini, enggak tahu kapan jadinya sertifikat itu,” ujar Eeb Sueb (43), penerima program sertifikasi tanah di Desa Gumulung Tonggoh, Kecamatan Greged, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Selasa (10/4/2018).
Tanahnya seluas 350 meter persegi puluhan tahun lalu tidak memiliki sertifikat tanah, hanya surat warisan orangtuanya dan akta tanah. Namun, pada 11 Maret lalu ia menerima sertifikat tanah yang dibagikan secara simbolis oleh Presiden Jokowi di Beber, Cirebon. Saat itu, 3.000 sertifikat tanah dibagikan kepada masyarakat di Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan, Jabar.
Menurut Eeb yang juga aparat desa setempat, program tersebut diketahui setelah pihak desa mengumumkan kepada warga tentang pengurusan sertifikat tanah. Masyarakat lalu berduyun-duyun mendaftarkan diri dengan persyaratan antara lain kartu tanda penduduk, jika tanah warisan harus dilengkapi surat persetujuan ahli waris, dan SPPT (surat pemberitahuan pajak terutang).
Setelah itu, tim PTSL akan mengukur lahan warga yang ikut program tersebut. Warga penerima program lalu menunggu pembuatan sertifikat yang berkasnya dikirim aparat desa ke badan pertanahan nasional di daerah.
”Ada biaya Rp 150.000 untuk administrasi. Dulu, urus sertifikat tanah bisa jutaan rupiah,” ucapnya. Ketidakpastian biaya dan proses yang berbeli-belit untuk mengurus sertifikat tanah merupakan alasannya tidak membuat sertifikat lahan beberapa tahun lalu.
Alasan serupa dikemukakan Titin Castina, warga Tanjungsari, Kabupaten Majalengka, penerima program sertifikasi tanah. Ia mengatakan, setelah bertahun-tahun, lahannya seluas 144 meter persegi akhirnya memiliki sertifikat. ”Biayanya Rp 150.000 dan selesai hanya dua bulan,” ujar Titin mengapresiasi program itu.
Pendapat mereka juga tergambar dalam Jajak pendapat Kompas pertengahan Agustus 2017. Hasilnya, sekitar 39 persen responden menyatakan tidak puas dengan pelayanan pengurusan sertifikat lahan di kantor-kantor BPN.
”Padahal, kalau ada sertifikat, sengketa tanah antara keluarga atau orang lain bisa dihindari,” ujar Eeb. Untuk itu, ia berharap, program tersebut tetap berjalan dan diperluas. Tahun lalu, sebanyak 2.000 sertifikat baru dicetak untuk warga di Gumulung Tonggoh. Tahun ini, lanjutnya, ada 1.000 pendaftar dari desa tersebut untuk ikut program sertifikasi tanah.
Meski mengapresiasi, ia tidak menjadikan program tersebut pertimbangan politik pada pemilihan presiden atau pemilu nanti. ”Ini hanya salah satu indikator untuk menentukan pilihan di pilpres dan pemilu nanti,” ujarnya.
Eeb juga belum berpikir untuk menjadikan sertifikat itu sebagai jaminan dalam meminjam uang di perbankan. Apalagi, sesuai pesan Presiden, penerima program harus menjaga sertifikat tersebut. Kalaupun dijadikan agunan untuk bank, kalkulasinya harus sesuai. Kalau warga tidak bisa mencicil pembayarannya, jangan dipaksakan.
Gubernur Jabar Ahmad Heryawan, saat mendampingi Presiden untuk membagikan sertifikat lahan di Cirebon, mengatakan, program itu dapat mengentaskan masyarakat dari kemiskinan. ”Masyarakat bisa menjadikan sertifikatnya sebagai jaminan di perbankan untuk membuka usaha,” ucapnya.
Telebih lagi, persoalan kemiskinan masih membelenggu sejumlah daerah di Jabar. Persentase kemiskinan di Kota Cirebon tahun lalu mencapai 9,9 persen, diikuti Majalengka (12,8 persen), dan Cirebon serta Kuningan sekitar 13 persen. Ini melebihi rata-rata tingkat kemiskinan di Jabar, yakni 7,74 persen.
Bukan pertama kali
Program sertifikasi lahan sebenarnya bukan kali ini saja. Pada 1981, pemerintah memiliki Proyek Operasi Nasional Agraria untuk sertifikasi lahan. Namun, penerbitan sertifikat saat itu hanya sekitar 500.000 sertifikat setiap tahun.
Dengan target 126 juta sertifikat tanah di Indonesia saat ini, dibutuhkan 140 tahun agar seluruh lahan di Indonesia mendapatkan sertifikat jika masih menggunakan pola lama. Untuk itu, pemerintah terus mempercepat sertifikasi lahan warga.
Hingga tahun lalu, baru 51 juta sertifikat yang diterbitkan pemerintah. Tahun lalu juga, Kementerian ATR/BPN telah menerbitkan lebih dari 5 juta sertifikat. Tahun ini, ditargetkan ada 7 juta sertifikat dan 9 juta sertifikat yang terbit pada tahun berikutnya.
Di Jabar, tahun lalu pemerintah menerbitkan 592.000 sertifikat tanah. Tahun ini, pemerintah menargetkan penerbitan 1,26 juta sertifikat. Sertifikasi tanah di provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak hingga 46 juta jiwa itu harus rampung 2023.
Elly Cintyasih, warga Desa Tugu, Kecamatan Mantup, Kabupaten Lamongan; Fendi Tri Prasetyo, warga Kesamben, Kecamatan Plumpang Kabupaten Tuban; Miftahul Huda, warga Kabupaten Bojonegoro; Tutik Badriyah, warga Lamongan Kota termasuk warga yang beruntung. Mereka termasuk satu dari 5.750 warga Jawa Timur yang menerima sertifikat tanah pada Kamis (8/3/2018). Penyerahan sertifikat itu sendiri dihadiri Presiden Joko Widodo.
Di Lamongan saat itu ada 1.500 sertifikat yang diserahkanke warga Kecamatan Mantup dan Sarirejo. Sertifikat yang terbit itu diperuntukkan Desa Beru, Tugu, Dermolemahbang, Sukobendu (Mantup) dan Desa Mojosari, Sumberagung, Simbatan dan Tangguljagir (Sarirejo).
Elly merasa senang sertifikatnya telah terbit. Itu akan memberikan jaminan pada status hukum tanah yang ia miliki. Awalnya bukti kepemilikan tanah hanya berupa petok D. Namun, dengan sertifikat telah terbit dan gratis, dia tidak perlu lagi mengurus sertifikat ke notaris atau pejabat pembuat akta tanah (PPAT).
Pengurusan sertifikat sebelumnya dirasakan sulit oleh warga Lamongan. Itu setidaknya dialami warga Lantukan, Kecamatan Karanggeneng, dan warga Sumlaran, Kecamatan Sugio. Alimun Hakim (26), warga Lantukan, Selasa (10/4/2018), menyebutkan tiga tahun lalu ia mendampingi orangtuanya mengurus sertifikat massal lewat prona. Saat itu habisnya sekitar Rp 400.000.
Sementara Sapari (39) mengurus sertifikat tanah milik orangtuanya sekitar 10 tahun lalu. Saat itu ia membayar Rp 500.000, pertama Rp 200.000 dan kedua Rp 300.000. Saat ia datang ke kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Lamongan dikatakan berkasnya tidak ada berkasnya.
”Saya sempat marah-marah karena dibilang maksimal tiga bulan, sampai setahun lebih tidak jadi-jadi. Apalagi petugas mengatakan tidak ada berkasnya. Setelah saya tunjukkan tanda terima pengurusan sertifikat, baru akhirnya dicarikan. Sekitar seminggu kemudian sertifikat beres,” katanya mengenang.
Arif Bahktiar, warga Demangan, Lamongan Kota, menyatakan dirinya tidak perlu risau dengan urusan sertifikat. Saat membeli rumah lima tahun, pengurusan sertifikat menjadi satu paket dengan biaya lainnya, termasuk biaya pengalihan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB). ”Jadi tahunya beres, dan sertikat langsung jadi,” katanya.
Di Lamongan, pelaku usaha mikro kecil dan menengah juga mendapatkan jatah sertifikat gratis. Tahun ini ada 250 bidang tanah untuk UMKM yang berhak mendapatkan sertifikat secara gratis. Kepala Dinas Koperasi dan UMKM Lamongan, Anang Taufiq menyebutkan bantuan sertifikat gratis itu untuk meringankan beban UMKM. ”Selain itu diharapkan bisa dijadikan agunan untuk mencari tambahan modal pengembangan usaha,” katanya.
Sementara itu, saat penyerahan sertifikat gratis di Lamongan Maret lalu, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Shofyan A Djalil menyebutkan sertifikat yang diserahkan sebanyak 5.750 bidang tanah untuk warga Lamongan, Bojonegoro, dan Gresik masing-masing 1.500 bidang, Tuban 750 bidang dan Sidoarjo 500 bidang. Di Jatim pada 2017 bisa diterbitkan 650.000 sertifikat. Tahun 2018 ditargetkan 1,5 juta bidang dan 2023 diharapkan sudah tuntas, semua tanah bersertifikat.
Muhammad Abdurrahman Shaleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan Jatim menyebut selama 2012-2017 ada 12.731 bidang tanah yang disertifikatkan untuk nelayan dan pembudidaya ikan. Dari jumlah itu 1.387 bidang digunakan untuk akses modal di koperasi dan perbankan dengan nilai Rp 18,5 miliar. Sebelumnya nelayan bergantung pinjaman modal dan tengkulak. Jadinya nelayan sulit lepas dari jerat praktik rente.
Suparto dari Dinas Koperasi Usaha Kecil dan Menengah Jatim menuturkan pihaknya juga berkomitmen membantu penerbitan sertifikat untuk pelaku usaha kecil menengah. Pada 2016 lalu ada 3.500 sertifikat, 2017 (2500), dan 2018 (9.500). Ditargetkan 2010 ada 29.300 UMKM yang terbantu pengurusan sertifikatnya secara gratis. Penerbitan sertifikat akan mempermudah akses modal.