JAKARTA, KOMPAS — Pengemudi bus transjakarta, Sutikno, yang pada Senin (9/4/2018) pukul 04.20 mengalami kecelakaan, yaitu bus terguling dan menyebabkan 10 orang luka ringan, kini telah ditetapkan sebagai tersangka. Sutikno diduga mengendarai kendaraan dalam kondisi mengantuk.
”Hasil pemeriksaan sementara karena pengemudi mengantuk,” ujar Kepala Subdirektorat Pembinaan dan Penegakan Hukum Ditlantas Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Budiyanto saat ditemui di Jakarta, Selasa (10/4).
Dari hasil pemeriksaan sementara, pengemudi mengakui mengendara dalam keadaan mengantuk karena telah berkendara sejak pukul 23.00. Setelah berhenti di Halte UKI, Jalan Mayjen Sutoyo, Sutikno langsung melajukan kendaraan dan terkejut pada saat mendekati separator pembatas jalan. Saat itu, kecepatan bus sekitar 40 kilometer per jam dan membawa sekitar 50 orang.
Sebelumnya, Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Salahudin Uno mengatakan, dugaan penyebab kecelakaan karena sopir bus berusaha menghindari mobil pribadi yang memotong jalur bus.
Adapun Wibowo dari Humas PT Transjakarta mengatakan, pihaknya hingga kini masih mengumpulkan bukti-bukti dari insiden tersebut. ”Yang disampaikan Wagub kemarin merupakan dugaan,” katanya.
Ihwal pengakuan sopir yang telah mengendarai sejak pukul 22.00, Wibowo menyampaikan tidak ada mekanisme yang dilanggar. Jadwal seorang sopir yang bertugas malam hari yakni pukul 22.00 hingga pukul 05.00.
”Bus transjakarta beroperasi 24 jam. Untuk jam operasional pukul 05.00-22.00 dibagi ke dalam dua shift,” kata Wibowo.
Budaya menerabas
Meski begitu, pengamat transportasi dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, menyoroti masih banyaknya pengemudi kendaraan pribadi yang menerabas ke jalur khusus bus transjakarta. Selain melanggar peraturan, hal itu membahayakan pengemudi dan orang lain karena dapat memicu kecelakaan.
Menurut Yayat, kecelakaan bisa terjadi saat sopir bus yang mengendarai tiba tiba dikagetkan oleh kendaraan pribadi yang memotong dan menerabas jalur bus transjakarta.
”Di Indonesia itu masih ada budaya mental nerabas. Itu sesuai dengan hasil penelitian antropologi Prof Koentjaraningrat,” kata Yayat.
Di Indonesia itu masih ada budaya mental nerabas. Itu sesuai dengan hasil penelitian antropologi Prof Koentjaraningrat.
Yayat mengatakan, hal itu karena masyarakat Indonesia tidak mau bersabar saat berkendara, apalagi terdapat faktor lain, yaitu kemacetan. Kesadaran masyarakat untuk menaati peraturan dan memprioritaskan kendaraan umum sangat diperlukan.
”Perlu juga itu pemberatan sanksi, harus tegas. Razia juga harus sering dilakukan,” tutur Yayat.
”Perlu juga ditambah armada bus transjakarta agar jeda satu bus dengan yang lain tidak terlalu lama. Dengan demikian, pengemudi kendaraan pribadi tidak terpancing masuk ke jalur bus transjakarta,” kata Yayat.
Wibowo mengatakan, saat ini jumlah waktu tunggu penumpang bus transjakarta sekitar satu menit, tetapi itu bergantung pada kondisi lalu lintas. Saat ini jumlah bus transjakarta sekitar 1.500 unit dan akan menjadi 1.800 unit tahun ini seiring pengadaan pada 2017 yang telah selesai.
Pantauan Kompas di jalur bus transjakarta di Halte Cawang Ciliwung terlihat banyak kendaraan pribadi melalui jalur tersebut.
Wibowo berharap jalur transjakarta dapat steril dari kendaraan bermotor. Hal itu agar performa bus transjakarta semakin cepat. Ia mengatakan, selama ini hanya jalur bus transjakarta di Koridor 4 yang cukup steril.
”Usaha preventif sudah kami terus lakukan, seperti penjagaan di depan jalur bus transjakarta. Ancaman hukumannya paling besar kurungan dua bulan penjara dan denda Rp 500.000. Namun, sanksinya apa, kan, tergantung dari hakim di pengadilan nanti,” kata Budiyanto.