Kisah Mereka yang Mencari Order Malam hingga Subuh Tiba
Oleh
DD12
·5 menit baca
Di saat sebagian besar penduduk Jakarta terlelap, Fadhlan (36) tetap melaju di jalan lengang Ibu Kota. Memakai jaket hijau khas ojek dalam jaringan, ia tidak peduli waktu telah lewat tengah malam. Santai, tanpa perlu menelusuri macet yang sudah menjadi rutinitas kota metropolitan ini.
Waktu tempuh dari Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, menuju Stasiun Kota di Jakarta Barat biasanya lebih dari setengah jam. Namun, pada Selasa (10/4/2018) sekitar pukul 01.30, Fadhlan, dengan sepeda motor matik-nya, hanya membutuhkan waktu sekitar 20 menit. Padahal, laju sepeda motornya tidak pernah lebih dari 65 km per jam dan menggunakan jalan kecil untuk menghindari jalan utama.
”Maaf harus lewat jalan kecil. Biasanya di Jalan Gajah Mada ada razia Polisi. Pelat nomor polisi belakang saya hilang, copot entah di mana. Kalau mau beli lagi, sekarang belum ada toko yang buka,” ujarnya sambil tetap fokus berkendara.
Fadhlan mengatakan, ia memang biasa beroperasi dari malam hingga pagi. Setiap malam, biasanya ia mendapatkan lima pelanggan dan beberapa pesanan untuk mengantar makanan. Tidak jarang, beberapa pesanan makanan dibatalkan karena akses menuju rumah pelanggan tertutup portal.
”Biasanya yang dibatalkan itu pelanggan yang portal perumahannya ditutup dan tidak diawasi petugas satpam. Saya diminta mengantar makanan, tetapi meninggalkan kendaraan. Saya jelas tidak mau. Kalau motor saya hilang, yang rugi bukan mereka, tapi saya. Ya, kalau dibatalkan, saya makan saja,” katanya sambil tertawa.
Biasanya yang dibatalkan itu pelanggan yang portal perumahannya ditutup dan tidak diawasi petugas satpam. Saya diminta mengantar makanan, tetapi meninggalkan kendaraan. Saya jelas tidak mau. Kalau motor saya hilang, yang rugi bukan mereka, tapi saya. Ya kalau dibatalkan, saya makan saja
Sambil menelusuri jalanan yang lengang, Fadhlan bercerita, profesi sebagai pengojek dalam jaringan (daring) ini ditekuni sejak tahun 2015. Saat itu, katanya, penghasilan yang didapatkan dari pekerjaan ini mencapai 13 juta per bulan.
Mendapatkan penghasilan sebesar itu, ia berani meninggalkan pekerjaan sebelumnya. Padahal, sebelum berhenti bekerja di sebuah bar sekitar Mangga Besar dan beralih menjadi ojek daring, ia sempat ditawarkan menempati posisi supervisor dengan penghasilan Rp 8 juta per bulan.
Namun, saat ini penghasilannya jauh menurun jika dibandingkan dari awal bergabung. Ia hanya bisa membawa pulang Rp 3 juta-Rp 5 juta per bulan. Fadhlan juga harus menambah jam operasinya untuk mendapatkan uang yang lebih banyak.
”Saya ambil pekerjaan lagi untuk menambah pernghasilan. Sekarang saya bekerja di hotel daerah Thamrin. Jadi, siangnya di hotel, malamnya di jalan,” katanya.
Sama seperti beroperasi pada siang hari, saat malam hari, beberapa titik yang ramai menjadi tempat mangkal para ojek daring. Contohnya Fadhlan, meskipun tinggal di daerah Depok, setiap malam ia beristirahat di sekitar Taman Ismail Marzuki jika belum ada penumpang. Pada malam hari, memang di kawasan ini tetap ramai, mulai dari penjual kopi hingga penjual makanan berkumpul di kawasan itu.
Seperti siang hari, sebagian besar pengemudi ojek daring yang beroperasi saat malam juga beristirahat di sekitar stasiun sambil menunggu penumpang. Salah seorang pedagang kopi kaki lima di kawasan Stasiun Kota, Jakarta Barat, yang biasa disapa Emak atau Mama oleh para pengojek, menjadi tempat berkumpul sekitar 12 ojek daring. Jika ada pesanan yang masuk, mereka berangkat dan pamit kepada rekan-rekannya yang masih menunggu.
”Mereka memang sudah dekat dengan saya. Tiap malam mangkal di sini sambil menunggu penumpang. Ada yang rumahnya di Tangerang, ada juga yang dekat sini, Mangga Besar. Sampai pagi mereka di sini,” kata Emak.
Order fiktif
Tidak hanya berhadapan dengan udara malam dan risiko dirampok, pengemudi ojek daring juga menghadapi pesanan fiktif yang biasa mereka sebut ”opik” (order fiktif).
Pesanan palsu ini tentu akan menurunkan performa mereka karena dianggap tidak mengambil penumpang yang telah memesan. Padahal, pengemudi ojek ini sudah menghampiri calon pemesan, tetapi tidak menemukan siapa pun di titik pemesanan.
”Nah ini orang lagi. Opik nih, kita semua kena. Yuk disamperin, lama-lama kita semua rugi. Ini orang harus tanggung jawab!” kata salah seorang pengemudi ojek. Tidak lama, sekitar 9 pengemudi ojek menuju tempat lokasi pemesanan.
Emak berujar, hal seperti ini sering terlihat saat mereka beroperasi pada malam hari. Sering kali order fiktif membuat mereka rugi. Akibatnya, penghasilan menjadi berkurang.
”Kasihan tuh mereka. Semuanya kena. Orangnya sama pula, pesannya di belakang stasiun ini. Sering (order fiktif) kalau malam hari. Sudah tahu susah cari penumpang pada malam hari, masih saja ada yang jahat,” katanya.
Sekitar 30 menit kemudian, rombongan ojek kembali ke pangkalan mereka, kedai kopi kaki lima Emak. Seperti sebelumnya, mereka tidak menemui siapa-siapa.
Ditemui di sekitar Stasiun Pasar Senen, Albarita (43), pengemudi ojek daring, mengatakan, order fiktif menurunkan performanya hari ini, dari 100 persen menjadi 50 persen.
Penurunan ini tentu akan mengurangi kesempatannya mencari penghasilan dari ojek daring ini. Padahal, bapak dua anak ini menggantungkan hidupnya dari ojek daring. ”Kalau performa kurang dari 50 persen, saya akan di suspend (ditangguhkan) beberapa saat dan tidak mendapatkan bonus. Penghasilan pun berkurang,” katanya.
Albarita menjelaskan, order fiktif lebih sering ditemukan pada malam hari dibandingkan siang. Ia berujar, para pelaku order fiktif ini biasanya adalah sesama pengemudi ojek daring. ”Namanya juga mencari rezeki, pasti ada risiko,” katanya sambil tertawa.
Azan Subuh berkumandang, tandanya beberapa saat lagi pagi akan mengganti malam. Para pengemudi ojek daring yang berada di sekitar Stasiun Pasar Senen mulai beranjak satu per satu. ”Akhirnya dapat yang searah rumah. Saya berangkat dulu ya,” katanya kepada rekan-rekan sesama ojek daring, dan dibalas dengan lambaian tangan.