Ketersediaan dan Aksesibilitas Pangan Dipertanyakan
JAKARTA, KOMPAS — Ketersediaan dan aksesibilitas pangan di Indonesia dipertanyakan. Padahal, dua aspek tersebut dinilai menjadi kunci untuk mewujudkan ketahanan pangan bagi masyarakat.
Wakil Ketua Bidang Eksternal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Sandrayati Moniaga, di Jakarta, Selasa (10/4/2018), menuturkan, negara bertanggung jawab untuk menjamin hak masyarakat atas pangan.
”Sayangnya belum semua masyarakat mendapatkan hak atas pangan ini,” ujarnya.
Hak atas pangan, kata Sandrayati, bisa terwujud dengan menekankan pada dua aspek, yaitu aspek ketersediaan dan aksesibiltas pangan. Namun, kedua aspek tersebut dinilai belum sepenuhnya diwujudkan.
Untuk aspek aksesibiltias, Komnas HAM menilai masih banyak masyarakat miskin yang sulit mengakses bahan pangan yang layak. Kebijakan ekonomi belum mampu mengatasi permasalahan ini secara signifikan.
Isu lain yang juga ditegaskan terkait hak atas pangan adalah perdagangan bebas dan liberalisasi pertanian, penguasaan paten atas benih, serta ekspansi perusahaan ke dalam wilayah kelola masyarakat.
Ketiga isu tersebut berpengaruh signifikan terhadap terputusnya akses masyarakat, terutama petani, terhadap pangan dalam jangka panjang.
Sementara, lemahnya ketersediaan pangan di Indonesia terlihat dari produksi pangan yang stagnan. Hal ini terjadi karena minimnya kepemilikan lahan petani, semakin luasnya konversi lahan, dan pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali. Pertumbuhan penduduk ini menyebabkan produksi pangan Indonesia belum bisa melampaui kebutuhan konsumsi masyarakat.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 1954, porsi beras dalam pemenuhan pangan pokok masyarakat hanya 53,5 persen, sisanya ubi kayu 22,26 persen, jagung 18,9 persen, dan umbi-umbian 4,99 persen.
Pada 1981, pola konsumsi pangan pokok bergeser signifikan dengan konsumsi beras 81,1 persen, ubi kayu 10,02 persen, dan jagung 7,82 persen.
Kemudian, konsumsi beras semakin meningkat dan konsumsi pangan pokok selain beras semakin menghilang. Produksi yang kurang membuat pemerintah akhirnya mengimpor beras dari luar negeri.
BPS mencatat, pada Januari-Oktober 2017, impor beras Indonesia mencapai 256.560 ton.
”Untuk memenuhi aspek ketersediaan pangan akhirnya dibangun melalui impor. Padahal, Indonesia memiliki sumber pangan yang melimpah dan beragam. Ketergantungan pada beras dan gandum mendesak Indonesia untuk terus melakukan impor pangan strategis. Jika diteruskan, situasi ini akan mengikis kedaulatan pangan,” kata Sandrayanti.
Berbeda dengan Sandrayanti, Kepala Bidang Riset Center for Indonesian Policy Studies Hizkia Respatiadi berpendapat, permasalahan yang lebih krusial dari tercapainya kedaulatan pangan atau swasembada pangan adalah ketahanan pangan itu sendiri.
”Bagaimanapun negara kita saat ini sudah tidak lagi menjadi negara agraris seperti 20 tahun lalu. Pertumbuhan penduduk tinggi, pertumbuhan masyarakat juga meningkat sehingga tidak bisa lagi mengandalkan produk lokal yang beragam,” ujarnya.
Berdasarkan data Bank Dunia tahun 2017, jumlah lahan pertanian di Indonesia hanya 570.000 kilometer persegi atau 31 persen dari jumlah luas wilayah Indonesia. Jumlah tersebut berada di bawah Thailand sebesar 43,3 persen, Australia 52, 9 persen, dan China 54,8 persen.
Menurut dia, perubahan gaya hidup yang memicu terjadinya ketergantungan masyarakat pada produk yang sifatnya lebih instan dan lebih cepat dikonsumsi, seperti beras dan gandum.
Untuk itu, impor beras dan gandum tetap harus dilakukan pemerintah. Namun, Hizkia menekankan bahwa tata laksana impor ini harus lebih transparan dan adil sehingga tidak menimbulkan kerugian di masyarakat.
Rekomendasi pemerintah
Sandrayanti mengatakan, dalam rangka mendorong sistem ketahanan pangan melalui terwujudnya hak atas pangan, Komnas HAM memberikan beberapa rekomendasi kepada pemerintah.
Pertama, pemerintah diminta untuk mengintegrasikan HAM, khususnya hak atas pangan, dalam kebijakan pangan, gizi, dan pertanian.
Kedua, harmonisasi peraturan perlu dilakukan terlebih di bidang pangan, pertanian, kesehatan, dan kependudukan sehingga penanganan masalah pangan berlangsung secara terpadu dan integral.
Selain itu, pemerintah diminta untuk segera mewujudkan reforma agraria dengan penyediaan lahan bagi petani gurem.
Keempat, pemerintah didorong untuk menggeser prioritas pembangunan infrastruktur, dari Ibu Kota ke wilayah-wilayah terpencil yang sulit dijangkau. Kelima, kelompok-kelompok rentan perlu dimasukkan ke dalam skema kebijakan pangan dan gizi.
Terakhir, pemerintah didorong untuk membentuk regulasi yang mengatur penghormatan HAM oleh perusahaan yang sejalan dengan prinsip-prinsip panduan PBB untuk bisnis dan HAM (United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights).
Selain itu, Komnas HAM juga menyampaikan beberapa rekomendasi untuk perusahaan, seperti diminta untuk menghormati HAM dari seluruh rantai pasokan perusahaan, dan melakukan uji tuntas HAM untuk mengidentifikasi risiko dan dampak HAM dalam operasinya.