Penari balet dari Melbourne City Ballet, Jemima Vaya (18), di Institut Kebudayaan Italia, Jakarta, Selasa (10/4/2018).
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Italia membidik pasar tari balet Indonesia sebagai bagian dari pengembangan kerja sama ekonomi kreatif. Pasar tari balet yang termasuk dalam subsektor seni pertunjukan itu cukup potensial. Sebab, meski kontribusi seni pertunjukan terhadap produk domestik bruto tergolong paling kecil, pertumbuhannya termasuk yang tertinggi.
Duta Besar Italia untuk Indonesia Vittorio Sadalli di Jakarta, Selasa (10/4/2018), mengatakan, Pemerintah Italia dan Indonesia tengah membahas finalisasi naskah kesepakatan kerja sama sektor ekonomi kreatif. Salah satu bidang andalannya adalah tari balet.
”Tari balet menjadi bagian dari konsep baru ekonomi kreatif yang sedang kami fokuskan. Tarian tersebut juga bisa menjadi jembatan bagi kedua negara dalam bentuk yang lebih modern,” kata Sadalli seusai jumpa pers penyelenggaraan kompetisi Dance Prix Indonesia di Institut Kebudayaan Italia (Istituto Italiano Di Cultura). Dalam acara itu, hadir pula pendiri Indonesia Dance Society Juliana Tanjo dan Direktur Artistik Dance Prix Indonesia Jetty Maika.
Sadalli menambahkan, tari balet memiliki sejarah panjang di Italia. Tarian tersebut sudah muncul sebelum Abad Pencerahan atau Renaissance terjadi pada abad ke-14 dan masih bertahan hingga saat ini.
Tari balet memiliki sejarah panjang di Italia. Tarian itu sudah muncul sebelum Abad Pencerahan atau Renaissance terjadi pada abad ke-14 dan masih bertahan hingga saat ini.
Meski tari balet juga berkembang di beberapa negara, antara lain Rusia dan Amerika Serikat, kesenian itu tetap memiliki karakter khas di negara asalnya. Bahkan, di Italia, saat ini sejumlah akademi balet berkembang pesat. Begitu juga dengan industri balet yang mampu berkontribusi menyerap tenaga kerja.
Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan Indonesia. Menurut Juliana, sejak masuk ke Indonesia pada awal abad ke-20 sampai saat ini, tari balet masih menjadi sekadar hobi.
KURNIA YUNITA RAHAYU UNTUK KOMPAS
Jumpa pers penyelenggaraan Dance Prix Indonesia 2018 di Institut Kebudayaan Italia, Jakarta, Selasa (10/4/2018). Hadir memberikan penjelasan, pendiri Indonesia Dance Society Juliana Tanjo, Duta Besar Italia untuk Indonesia Vittorio Sadalli, dan Direktur Artistik Dance Prix Indonesia Jetty Maika.
Pada awal 2000, kata Juliana, masih terasa aktivitas yang monoton bagi orang-orang yang menggeluti balet. Kegiatan mereka hanya berlatih lalu mengikuti ujian kenaikan tingkat. Tidak ada kompetisi antarbalerina sebagaimana terjadi di negara-negara lain. Oleh sebab itu, kemampuan mereka cenderung tertinggal.
Berbagai pertunjukan tari balet yang digelar oleh institusi-institusi kebudayaan pun tidak pernah ramai penonton. Menurut Juliana, orang-orang yang bersedia membeli tiket pertunjukan hanya kalangan terbatas. ”Harga tiket pertunjukan tari balet cukup mahal. Apa yang ditampilkan pun jarang dimengerti masyarakat sehingga dianggap membosankan,” katanya.
Selain itu, sangat sedikit penari, balet baik perempuan maupun laki-laki, yang melanjutkan menjadi penari profesional. Tidak ada akademi profesional yang bergerak di bidang pertunjukan tari balet. Jika pun ada penari yang ingin menjadi profesional, mereka harus bekerja di luar negeri. ”Tidak ada kepastian karier bagi penari balet di Indonesia,” ujar Juliana.
Salah satu balerina yang harus berkarier di luar negeri adalah Jemima Vaya (18). Sejak usia 12 tahun, ia sudah mengenal tari asal Italia tersebut karena sang ibu membuka sekolah balet di Jakarta.
Namun, menurut dia, sekolah balet di Indonesia belum bisa meluluskan sekaligus mengantarkan penari balet ke jenjang profesional. Oleh karena itu, ia menempuh sekolah balet di New York, AS, beberapa tahun lalu. Setelah lulus dari sekolah itu, baru ia memiliki bekal untuk memasuki kancah tari balet profesional.
Saat ini, Jemima merupakan penari muda (emerging artist) di Melbourne City Ballet, Australia. Institusi tersebut menyediakan pembelajaran sekaligus merupakan akademi profesional yang mengadakan pertunjukan di sejumlah negara secara rutin. Tentu saja, para penari mendapatkan bayaran tetap atas kontribusinya.
Di Indonesia, kontribusi subsektor seni pertunjukan secara ekonomi masih minim. Berdasarkan data Badan Ekonomi Kreatif Kementerian Badan Usaha Milik Negara, pada 2018 sektor ekonomi kreatif menyumbang 7,44 persen atau senilai Rp 922,59 triliun dari total produk domestik bruto Indonesia.
Dari total sumbangan sektor ekonomi kreatif itu, subsektor seni pertunjukan berkontribusi 0,27 persen atau Rp 2,5 triliun. Kontribusi itu berada pada peringkat ke-11 dari total 16 subsektor.
Meski demikian, seni pertunjukan memperlihatkan nilai pertumbuhan sebesar 9,54 persen pada 2016. Nilai pertumbuhan itu berada pada peringkat ketiga dari lima subsektor yang memiliki pertumbuhan tertinggi, yaitu televisi dan radio; film, animasi, dan video; seni pertunjukan; desain komunikasi visual; dan aplikasi dan pengembang permainan (game developer).
Pertumbuhan itu dirasakan Juliana. Perkumpulan Indonesia Dance Society juga memproduksi berbagai perlengkapan tari balet, salah satunya sepatu balet.
”Produksi sepatu balet kami saat ini tidak pernah kurang dari 300 pasang per bulan,” ujarnya.
Selain itu, sejak Indonesia Dance Society berdiri dan mengadakan kompetisi tari balet dan tari kontemporer tahunan Dance Prix Indonesia pada 2015, geliat masyarakat dalam bidang itu juga kian terasa. Peserta Dance Prix dari tahun ke tahun kian banyak. Pada penyelenggaraan tahun ini, jumlah peserta mencapai 350 orang.
Menurut Juliana, saat ini sudah ada ratusan sekolah balet di Indonesia. Adapun jumlah siswa terbanyak berada di DKI Jakarta; Surabaya, Jawa Timur; dan Medan, Sumatera Utara.
”Di Indonesia, peminat tari balet itu sangat banyak, tetapi tidak ada organisasi, kompetisi, dan akademi yang menaungi mereka,” ujar Juliana.
KURNIA YUNITA RAHAYU UNTUK KOMPAS
Pendiri Indonesia Dance Society Juliana Tanjo
Butuh dukungan
Juliana mengatakan, perkembangan balet di Indonesia membutuhkan dukungan dari pemerintah dari segi infrastruktur. Gedung pertunjukan perlu diperbaiki agar lebih laik dan dilengkapi dengan fasilitas latihan.
Dukungan secara finansial pun belum ada. Padahal, kegiatan balet membutuhkan dana besar untuk mendatangkan penari asing profesional sebagai pelatih. Biaya yang dibutuhkan untuk mengurus izin dan honor untuk mereka selama ini tidak mampu dibayar oleh Indonesia Dance Society.
”Saat ini kami menerima lebih banyak dukungan dari kedutaan besar negara-negara lain ketimbang pemerintah,” kata Juliana.
Selain itu, dia berharap pemerintah mau mendirikan akademi balet profesional agar penari balet bisa menjadi alternatif profesi. ”Keberadaan akademi profesional juga mampu mengembangkan pekerjaan lain, seperti koreografer, guru, bagian produksi, desainer, dan penjahit kostum,” ujar Juliana.