OK OTrip Butuh Perbaikan Segera
Uji coba program One Karcis One Trip akan mencapai tiga bulan pada 15 April 2018. Sejumlah perbaikan perlu segera dilakukan untuk membuat program ini dirasakan lebih banyak penumpang.
JAKARTA, KOMPAS Di lapangan, penumpang masih merasa tempat perhentian angkot yang terlalu jauh di sejumlah jalur dan waktu tunggu yang lama. Program One Karcis One Trip (OK OTrip) ini juga baru menjangkau 71 unit angkot dari rencana semula 1.000 unit dalam triwulan kedua tahun ini. OK OTrip juga baru melayani enam trayek.
Salah satu pengguna OK OTrip rute Kampung Rambutan-Pondok Gede, Sari (39), mengatakan, jumlah perhentian tidak merata. “Di antara Jalan Mini I dan Mini III (Bambu Apus) tidak ada perhentian. Akan tetapi di kawasan Rawa Binong, banyak perhentian,” katanya, Minggu (8/4/2018).
Sari mengaku telah menyampaikan usulannya mengenai penambahan perhentian angkot ini kepada pihak PT Transportasi Jakarta (Transjakarta) selaku penyelenggara OK OTrip. Akan tetapi, ia merasa belum ada tanggapan serius. “Saya sudah hubungi lewat telepon dan Twitter, sesuai stiker yang ditempelkan di kaca angkot. Tetapi dijawab, usulan akan ditampung begitu saja.
”Pengemudi angkot OK OTrip jurusan Kampung Rambutan-Pondok Gede David (41) juga menilai perhentian di rute tersebut harus ditambah. Perhentian atau halte ini penting sebab di situlah angkot bisa menaikkan dan menurunkan penumpang. Dengan jumlah perhentian yang lebih banyak, penumpang diharapkan bertambah.
"Kalau jarak antarperhentian jauh, calon penumpang akan memilih pakai angkot lain atau ojek daring,” kata David, sambil mengemudikan angkotnya.
Penumpang angkot, Imran (49), mengatakan, jumlah angkot OK OTrip dirasa masih kurang sehingga penumpang kerap menunggu lama. “Kalau lama (menunggu angkot), apa bedanya sama angkot yang ngetem?”
Di sisi lain, Imran mengapresiasi program ini karena membuat angkot tidak sembarangan ngetem dan berbiaya murah.
Dalam masa uji coba, penumpang dapat menggunakan angkot OK OTrip gratis dan tanpa kartu khusus. Padahal pada awalnya, penumpang bisa naik angkot tanpa kartu selama 15 hari pertama sejak peresmian OK OTrip, pertengahan Januari.
Pengendali OK OTrip Kampung Rambutan-Pondok Gede, Romadoni, mengatakan, setelah uji coba berakhir 15 April, pengguna angkot OK OTrip harus memiliki kartu dan tidak lagi gratis.
Jumlah penumpang angkot OK OTrip juga dinilai masih sedikit. Rata-rata sekali jalan, setiap angkot hanya terisi sekitar 3-4 orang. “Masih stagnan sejak awal, belum ada peningkatan,” kata Romadoni.
Hanya pada jam-jam tertentu, angkot bisa penuh. David mengatakan, pada jam bubaran sekolah, ia bisa mendapat 10 penumpang sekali jalan. Namun, pada waktu lain angkot kosong melompong.
OK OTrip Kampung Rambutan-Pondok Gede menggunakan 14 unit angkot dari Koperasi Wahana Kalpika (KWK).
Masih banyaknya kendala selama tiga bulan masa uji coba ini membuat uji coba OK OTrip akan diperpanjang.
Direktur Utama PT Transjakarta Budi Kaliwono mengatakan, waktu tambahan uji coba diperlukan, antara lain guna melengkapi perhentian bus untuk angkutan yang belum ada.
Selain itu, alat-alat dalam sistem OK OTrip kurang akurat. “Misalnya hitungan seharusnya 100, tetapi yang masuk cuma 90,” kata Budi.
Baru enam trayek
Sejumlah anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta mempertanyakan efektivitas OK OTrip dalam Rapat Paparan Eksekutif Mengenai Program dan Isu Strategis Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2017-2022 di Bidang Perekonomian di Gedung DPRD DKI Jakarta, Rabu pekan lalu.
Selama tiga bulan uji coba, jumlah trayek hanya enam. Angkutan yang melayani hanya 71 unit. Sosialisasi program pun masih minim.
Padahal, dana dari APBD DKI Jakarta untuk OK OTrip mencapai Rp 3,3 triliun. Anggaran ini untuk mengintegrasikan angkot dengan target 2.687 unit pada tahun ini. Untuk mencapai target, pada triwulan kedua idealnya sudah 1.000 unit terintegrasi.
Program integrasi OK OTrip ditargetkan selesai secara bertahap tahun 2020. Dari sekitar 12.500 angkot di Jakarta saat ini, hanya 8.887 unit yang akan digunakan. Jumlah trayek dikurangi dari 156 menjadi 93 rute.
Jumlah penumpang OK OTrip sekitar 6.800 per hari dinilai gagal mencapai tujuan program dalam waktu pelaksanaan yang sudah tiga bulan.
Penghitungan tarif
Di luar itu, masih ada pembahasan alot mengenai harga perkiraan sendiri (HPS) yang untuk masa uji coba 15 Januari–15 April ini ditetapkan Rp 3.459 per kilometer (km). HPS itu dinilai sebagian besar operator terlalu rendah. Operator dan Organda DKI Jakarta mengusulkan tarif Rp 3.700–Rp 3.900 per km.
Akibatnya, selama tiga bulan masa uji coba, baru dua operator bersedia bergabung, yaitu KWK dan Koperasi Budi Luhur.
Koperasi Budi Luhur juga mengancam tak mau meneruskan keikutsertaan secara penuh pada program ini apabila tak ada kenaikan tarif atau penurunan ritase (jarak tempuh harian).
Ketua Koperasi Angkutan Budiluhur Saud Hutabarat mengatakan, dengan tarif dan ritase saat ini, operator tak memperoleh keuntungan apapun. Pihaknya menunggu adanya kenaikan pada masa uji coba kedua atau juga menarik diri seperti beberapa koperasi lainnya.
Ketua Organda DKI Jakarta Shafruhan Sinungan mengatakan, selama tarif OK OTrip belum menguntungkan operator, minat gabung OK OTrip akan rendah. “Tanpa ada kesepakatan tarif dengan operator, program ini akan tetap sulit jalan.”
Sempurnakan integrasi
Ketua Dewan Pengawas KWK Abdul Gofur mempertanyakan lambatnya pelaksanaan integrasi angkot dalam OK Otrip. Padahal, pihaknya pernah melakukan integrasi dengan Transjakarta selama sembilan bulan sejak April-Desember 2017, dengan 500 unit KWK yang menempuh 10 rute. “Bedanya, saat itu waktunya dibatasi pada jam sibuk, sedangkan sisanya sopir bisa menarik sendiri,” katanya.
Menurut Abdul, dengan mengadopsi dan menyempurnakan integrasi pertama itu, OK OTrip seharusnya berjalan lebih cepat. Kuncinya, melakukan penataan rute angkutan hingga mencapai ke pemukiman dengan lebih cepat. “Kami sudah usulkan 24 rute yang sampai kecamatan dan pemukiman. Semua sudah dihitung, tak akan ada benturan dengan rute lain. Tapi realisasi belum terlaksana,” katanya.
Integrasi juga memerlukan skema untuk mengganti rugi angkutan yang tak lagi digunakan atau tak masuk dalam kuota yang dibutuhkan. “Investasi di awal memang besar. Tapi dana kan ada, dan dalam 5-10 tahun ke depan hasilnya sudah kelihatan,” kata Abdul.
Abdul mengatakan, sejauh ini KWK memutuskan akan tetap mendukung program OK OTrip. Namun, ia berharap realisasi dipercepat sehingga seluruh pihak bisa merasakan manfaatnya.
Dari sisi pendapatan, sopir mengaku diuntungkan karena menerima upah minimum regional. Mereka juga tak lagi dikejar-kejar setoran sehingga bisa melayani warga dengan lebih tenang dan lebih baik. “OK OTrip ini lebih jelas sistemnya dari integrasi yang 9 bulan itu,” kata Tioman Simbolon (55), sopir OK OTrip jurusan Semper-Rorotan.
Keberpihakan
Kondisi ini diperparah dengan kebijakan-kebijakan transportasi DKI Jakarta dalam tahun ini yang dinilai kontradiktif dengan tujuan mengalihkan warga ke transportasi publik. Kebijakan kontraproduktif itu di antaranya pembukaan pembatasan sepeda motor dan tak adanya pembatasan angkutan berbasis daring.
Ahli transportasi Djoko Setijowarno mengatakan, tanpa ada kebijakan pembatasan kendaraan pribadi, baik sepeda motor maupun mobil, program OK OTrip sulit mengalihkan warga ke transportasi publik. Apalagi, jangkauan OK OTrip masih minim sehingga belum banyak dirasakan warga.
“Sekarang setiap orang punya sepeda motor, punya mobil. Kalau seperti sekarang ini, semua diperbolehkan, maka orang tetap pilih naik kendaraan pribadi,” katanya, Sabtu.
Selain menyediakan angkutan murah, OK OTrip seharusnya bertujuan akhir pada mengalihkan warga dari kendaraan pribadi ke angkutan publik. Selain memperbaiki OK OTrip, harus ada juga kebijakan membatasi kendaraan pribadi, mulai pembatasan sepeda motor di jalan-jalan utama hingga memperluas ganjil-genap untuk mobil.
“Ini bukan soal keadilan, tapi soal menata transportasi kota metropolitan. Manfaat yang diharapkan adalah kemacetan yang berkurang dan Jakarta yang berkurang polusi udaranya,” kata Djoko.