Tembakau Temanggung Menjadi Primadona Bremen
Tembakau adalah denyut Temanggung. Sulit membayangkan Temanggung tanpa hamparan tembakau yang dijemur di atas atap rumah, di pekarangan, sampai di pinggir-pinggir jalan. Sampai sekarang, di beberapa bagian wilayah Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah hamparan tanaman tembakau masih kita jumpai meski tak sebanyak dulu. Entah sampai kapan tembakau akan menghidupi warga Temanggung.
Namun cuaca yang tidak menentu dan berbagai hal yang ujung-ujungnya memengaruhi penghasilan petani tembakau, membuat sebagian dari mereka beralih menanam komoditas lain. Walaupun secara turun-temurun leluhur mereka adalah petani tembakau.
Tahun 2011 misalnya, meskipun tembakau tak lagi memberi penghasilan relatif memadai bagi petani, tetapi mereka masih setia bertanam tembakau.
Sekitar lima tahun kemudian, pada 2016 kegagalan panen tembakau mengakibatkan petani di Temanggung kesulitan membayar utang.Bahkan untuk menopang kehidupan sehari-hari saja, sebagian di antaranya terpaksa mengutang lagi. Sebagian petani lainnya bahkan memilih pergi ke kota besar demi mencari pekerjaan.
Tahun 2017, kondisi tak juga membaik sehingga petani tembakau Temanggung beralih menanam komoditas lain seperti kubis, jagung, dan cabai. Bunadi, petani di Desa Tegalrejo, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung bercerita, tahun 2016 intensitas hujan tinggi sehingga tanaman tembakaunya mati.
Hal itu membuatnya beralih menanam komoditas lain. Kalau Bunadi masih menanam tembakau, hanya di area terbatas demi bertahan hidup. Seandainya panen tembakaunya berhasil, dia bisa membayar utangnya. Tetapi kalau gagal, ada tanaman lain yang bisa menjadi penopang hidupnya.
Rasa pesimis Bunadi dan ribuan petani tembakau di Temanggung bisa dimaklumi. Hasil penjualan tembakau Bunadi tahun 2016, misalnya, tak dapat menutup biaya tanamnya. “Untuk menutup 50 persen dari biaya tanam tembakau saja tak bisa, apalagi untuk biaya hidup sehari-hari,” kata Bunadi yang mengeluarkan biaya tanam sekitar Rp 20 juta.
Tentang tembakau Temanggung arsip harian Kompas mencatat, tembakau dari Temanggung terkenal karena bermutu tinggi. Oleh karena itulah, Karl Eggers yang memimpin delegasi Bremen, Jerman ke Indonesia tahun 1968 sampai mengunjungi kebun tembakau. Dia juga menegaskan, Indonesia tidak perlu khawatir karena mutu tembakaunya amat tinggi dan diminati banyak pabrik rokok di Eropa.
Berita dengan judul “Tembakau Indonesia Masih Duduki Tempat Tinggi” itu dimuat di harian Kompas yang terbit 6 April 1968 atau tepat setengah abad (50 tahun) lalu.
Identik
Temanggung identik dengan tembakau. Hidup warganya terasa tak lengkap kalau tidak “mbakon”, yakni semua hal berkaitan dengan tembakau. Benih tembakau biasanya ditanam petani pada bulan Maret, sedangkan masa petik yang diikuti dengan merajang, menjemur dan menjual tembakau berlangsung sekitar Juli sampai Oktober.
Temanggung identik dengan tembakau.
Pada bulan-bulan penjualan tembakau itulah, petani memanen uang hasil penjualan. Meski penghasilan bersih petani biasanya tak lebih dari 30 persen dari hasil seluruh penjualan. Karena pada masa tanam, biasanya petani sudah mengutang kepada tengkulak untuk membeli bibit serta pupuk kandang maupun pupuk urea.
Tanah di Temanggung yang mudah tergerus ikut andil dalam tingginya kebutuhan pupuk. Untuk satu hektar (ha) tanah yang ditanami tembakau, diperlukan sekitar 10 truk pupuk kandang dan lebih dari dua ton pupuk urea. Kondisi ini antara lain karena selama puluhan tahun, setidaknya sejak 1970-an, penanaman tembakau dilakukan terus-menerus. Tanah menjadi rusak, kehabisan unsur hara.
Bahkan dari 6.135 ha hutan lindung di Temanggung, sekitar 5.000 ha di antaranya rusak berat karena dirambah warga untuk area tanaman tembakau. Rusaknya lereng Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing antara lain menimbulkan banjir di Kecamatan Parakan pada 1999.
Di sisi lain, pada masa panen, ribuan orang terlibat seperti buruh untuk merajang tembakau dan kuli panggul keranjang tembakau. Tembakau menjadi sumber penghasilan setidaknya bagi lebih dari 40.000 petani di 16 kecamatan dari 21 kecamatan wilayah Kabupaten Temanggung. Bahkan industri yang berkaitan dengan tembakau memberi hidup bagi tak kurang dari 30 juta orang (Kompas, 31 Agustus 2008).
Tahun 2010, jumlah petani tembakau tercatat 47.642 keluarga, atau sepertiga dari jumlah penduduk Temanggung.
Produktivitas tembakau di sini mencapai 8.400 ton per tahun, senilai sekitar Rp 588 miliar. Jumlah itu lebih tinggi dibandingkan APBD Temanggung tahun 2009 sebesar Rp 587 miliar. Tahun 2009 Temanggung menerima hasil cukai tembakau sekitar Rp 8,5 miliar.
Rendah nikotin
Seiring kampanye antirokok, tembakau sebagai bahan utama rokok terkena imbasnya. Tahun 2009 misalnya, Jawa Tengah menargetkan pengurangan luas area tanaman tembakau sekitar 200 ha dari total 30.000-50.000 ha di 14 kabupaten. Pada tahun yang sama DPR menggarap RUU Kesehatan yang memasukkan tembakau sebagai zat adiktif.
Di sisi lain, permintaan tembakau dari sejumlah pabrik justru meningkat. Tahun 2011 misalnya, PT Gudang Garam mengajukan permintaan 7.500 ton tembakau atau naik 1.000 ton dari tahun 2010. Permintaan PT Djarum Kudus naik dari 5.000 ton menjadi 6.000 ton sedangkan PT Bentoel memesan 3.000 ton tembakau.
Salah satu upaya “kompromi” adalah meminta petani menanam tembakau dengan kadar nikotin rendah. Namun hal itu tak berjalan mulus, karena tembakau dengan kadar nikotin rendah tidak laku di pasaran. Pabrik rokok tetap minta pasokan tembakau berkadar nikotin tinggi.
Tahun 2002, sekitar 2.700 petani tembakau ikut berunjuk rasa di DPR Jakarta. Mereka antara lain menuntut agar pemerintah mencabut peraturan yang mensyaratkan, kadar kandungan nikotin dan tar pada tembakau rokok yang terlalu rendah. Bila persyaratan tersebut diterapkan, tembakau rakyat yang berkadar nikotin dan tar lebih tinggi dari ketentuan maksimum yakni kadar nikotin 1,5 miligram dan tar 20 miligram, tak bisa digunakan. Menurut petani tembakau, persyaratan tersebut hanya bisa diterapkan pada rokok putih, tetapi tidak bisa diberlakukan untuk rokok kretek.
Tahun 2003, petani tembakau juga terkena imbas perbuatan perajin tembakau yang mengoplos tembakau Temanggung dengan tembakau dari daerah lain yang mutunya dibawah tembakau Temanggung, demi mendapatkan keuntungan. Tembakau oplosan ini ditolak sejumlah pabrik rokok.
Untuk mengatasinya, sejumlah kelompok tani di Temanggung bersepakat tak akan mendatangkan tembakau dari luar Temanggung. Alhasil kesepakatan ini efektif, antara lain karena didukung pabrik rokok sebagai konsumen utama tembakau.
“Tembakau Temanggung yang kami serap sangat menentukan cita rasa rokok produksi Gudang Garam. Kami harus mempertahankan cita rasa itu. Jika tembakau Temanggung dicampur, bagaimana cita rasa produk kami?” kata Hartanto, Kepala Perwakilan Pabrik Rokok Gudang Garam di Temanggung.
Tengkulak
Mulai tahun 1960-an, tembakau Temanggung sudah diakui dunia. Sebagian hasil panen petani, yang disebut tembakau krosok (kedu) diekspor, antara lain ke Bremen untuk bahan baku rokok dan cerutu. Sedangkan tembakau garangan untuk konsumsi dalam negeri. Biasanya tembakau garangan digunakan untuk rokok lintingan. Sedangkan tembakau rajangan menjadi bahan baku rokok kretek.
Tahun 1971, panen tembakau sempat terpuruk karena turunnya hujan es dan terjangan angin puyuh. Namun petani Temanggung bangkit dan kembali menanam tembakau. Untuk menghemat biaya operasional, sebagian petani memelihara sapi. Kotoran sapi kemudian dijadikan pupuk kandang untuk tanaman tembakau.
Melihat hasil positif petani tembakau, tahun 1978, tengkulak masuk Temanggung. Mereka memberi pinjaman uang kepada petani untuk membeli pupuk. Sebagai imbalannya, petani harus menjual hasil panen tembakaunya kepada tengkulak tersebut dengan harga ditentukan sang tengkulak.
Dalam waktu sekitar enam bulan, di Temanggung beredar uang sampai sekitar Rp 10 miliar. Suatu jumlah yang besar pada 1978. Harga tembakau ketika itu berkisar Rp 500 – Rp 5.000 per kg.
Tahun 1970-an masa panen tak hanya dinikmati petani, tetapi juga pedagang di sekitarnya. Seorang pemilik toko emas mengaku bisa menjual sampai 2 kg emas.
Sejak tahun 1970-an, harga tembakau Temanggung tak menentu tergantung pasokan-permintaan dan cuaca. Bila hujan terlalu banyak atau sebaliknya, kemarau berkepanjangan, akan memengaruhi mutu tembakau. Alhasil, panen terancam gagal.
Namun bila petani berhasil memanen tembakau yang lengket dan harum aromanya – disebut tembakau srintil – akan mendapatkan harga bagus. Tembakau srintil bisa dihargai sampai 10 kali lipat tembakau biasa. Tembakau srintil dipercaya bisa menularkan keharumannya ketika dicampur dengan tembakau biasa.
Namun tak selamanya tembakau srintil berharga mahal. Tahun 1994, srintil hanya dihargai Rp 7.000 – Rp 9.000 per kg. Padahal setahun sebelumnya srintil berharga Rp 70.000 – Rp 90.000 per kg.
Sayangnya, salah satu kebiasaan petani tembakau Temanggung saat memegang uang adalah berlaku konsumtif. Mereka membeli barang apa saja tanpa menawar. Pernah terjadi, penduduk Kecamatan Parakan secara kolektif membeli sepeda motor sampai dua truk penuh. Seorang petani bisa membeli jam tangan 10 buah sekaligus.
Seorang petani bisa membeli jam tangan 10 buah sekaligus.
Sebaliknya, saat panen tembakau gagal dan mereka merugi, semua barang-barang tersebut akan dijual atau digadaikan. Tahun 1978 misalnya, petani tembakau merugi sampai Rp 6,2 miliar karena curah hujan tinggi sehingga jumlah tembakau yang bisa dipanen terbatas dan mutunya buruk.
Beban petani
Konsumen petani tembakau sebenarnya jelas yakni pabrik rokok. Namun sejak tahun 1970-an hingga kini petani tak bisa langsung menjual hasil panennya ke pabrik rokok. Ada banyak “tangan” di antara petani dan pabrik rokok, mulai pengumpul, pedagang, sampai orang yang ditempatkan sebagai perwakilan pabrik rokok. Akibatnya, petani tak bisa menikmati hasil panennya secara “utuh”.
Di samping itu, yang berhak menentukan mutu tembakau adalah pembeli. Petani tak punya posisi tawar untuk menentukan sendiri mutu tembakau hasil panennya. Tahun 1981 misalnya, harga tembakau jatuh, kualitas yang sebelumnya berharga Rp 7.500 per kg menjadi dibawah Rp 1.000 per kg.
Petani tak punya posisi tawar untuk menentukan sendiri mutu tembakau hasil panennya.
Petani yang telah menerima pinjaman uang harus menyerahan hasil panennya kepada si pemberi pinjaman. Selain itu, petani masih dibebani potongan sampai 20 persen yang disebut sebagai ongkos penyusutan, harga keranjang, dan ongkos timbang.
Sampai tahun 1987, curah hujan tinggi membuat kualitas tembakau Temanggung rendah. Petani menghadapi banyak masalah, mulai dari hama tanaman, ketiadaan dana untuk membeli bibit sampai tak mampu membayar cicilan kredit ITR alias Intensifikasi Tembakau Rakyat.
Awal 1990-an, pemerintah menganjurkan petani tembakau beralih menanam komoditas lain seperti kopi arabika dan bawang putih. Namun tak adanya pengetahuan tentang tata cara menanam dan merawat komoditas selain tembakau, membuat petani enggan.
Untuk menambah penghasilan asli daerah (PAD), tahun 1994 Kabupaten Temanggung mewajibkan setiap pengusaha/grader tembakau menyetor Rp 2.000 per keranjang tembakau yang dibeli dari petani. Namun pengusaha perantara malah membebankan kewajiban itu kepada petani dan praktek itu sulit dikontrol.
Generasi demi generasi petani tembakau silih berganti. Satu hal yang tetap, harga tembakau di tingkat petani relatif rendah. Mata rantai tata niaga tembakau begitu panjang bak lingkaran setan. Pabrik rokok tak membeli langsung tembakau dari petani. Hanya pedagang tertentu yang dikenal dan diakui pabrik dapat menyetor kebutuhan tembakau pabrik.
Pedagang itu pun masih memiliki banyak orang sebagai kaki tangannya untuk mengumpulkan tembakau dari desa ke desa di Kabupaten Temanggung. Diperlukan peran serta semua pihak untuk menguraikan lingkaran setan pertembakauan, demi mengangkat taraf hidup petani.
Bagaimanapun, tembakau (pernah) menjadi sumber kemakmuran bagi Temanggung.
Seperti kata dokter Oei Hong Djien, pedagang tembakau yang mewarisi usaha orangtuanya, “Tak ada tembakau yang tak terjual, karena setiap pabrik rokok memiliki ramuannya masing-masing.” Mungkin karena itulah, meski berat dan bertahun-tahun dililit utang, petani Temanggung tetap setia kepada tembakau.