JAKARTA, KOMPAS — Penderita gangguan bipolar masih menghadapi diskriminasi dan stigma dalam kehidupan sosial, termasuk di dunia pendidikan dan kerja. Padahal, mereka dapat produktif jika menjalani perawatan yang tepat.
Sejumlah penderita bipolar mengalami perlakuan tidak menyenangkan ketika membuka diri kepada masyarakat. Seorang penyintas, Edwin (25) yang tinggal di Karawang, Jawa Barat, mengatakan, ia melamar sebuah program beasiswa pemerintah pada akhir tahun 2017 untuk meraih gelar master. Namun, ia dinyatakan tidak dapat mendaftar.
”Saya akhirnya tahun ini memutuskan melamar beasiswa dari negara luar karena mereka menerima lamaran orang dengan mental disorder,” kata Edwin, di sela seminar bertajuk Tantangan Orang dengan Gangguan Bipolar di Dunia Pendidikan dan Pekerjaan yang diadakan Bipolar Care Indonesia (BCI) di Jakarta, Sabtu (7/4).
Edwin menyatakan, penyakit yang dideritanya tidak menghalangi keinginannya untuk belajar. Ia berhasil menyelesaikan studinya strata satu (S-1) di bidang manajemen dalam empat tahun, sekalipun didiagnosis memiliki bipolar semasa kuliah di sebuah universitas di Jawa Barat. Ia kini bekerja di sebuah perusahaan swasta dan ingin melanjutkan studi strata dua (S-2) di bidang manajemen.
Sama seperti Edwin, Nurul (26) juga mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan akibat bipolar yang diidapnya. Pada awal tahun 2017, ia mengikuti pengarahan dalam rangka pelepasan dokter magang di Jawa Tengah.
Akibat riasannya yang dinilai tidak biasa, seperti mengecat rambut dan memakai lipstik dengan warna yang mencolok, seorang dokter senior mempertanyakan kemampuannya di bidang medis di depan rekan-rekannya. ”Saya bilang bahwa saya sedang berada dalam kondisi hipomania bipolar,” katanya.
Kondisi itu membuatnya memiliki perasaan euforia yang tinggi sehingga ia berdandan lebih menonjol dari biasanya. Dokter senior itu justru semakin meragukan kemampuan Nurul sebagai dokter. Ia juga ditolak di beberapa tempat ketika melamar karena kondisinya. Namun, kini Nurul bekerja sebagai dokter di sebuah rumah sakit ternama di Jakarta.
Kepala Instalasi dan Rehabilitasi Psikososial RS Marzoeki Mahdi, Bogor, Lahargo Kembaren menyatakan, gangguan bipolar adalah penyakit medis akibat gangguan fungsi otak yang ditandai dengan adanya perubahan ekstrem suasana hati atau mood, energi, dan kemampuan berfungsi menjalani aktivitas sehari-hari.
”Penyakit itu dapat memengaruhi kinerja penderita. Ada penderita yang dalam 2 tahun berganti kerja sebanyak 8 kali karena kondisi mood yang naik turun,” ucap Lahargo. Menurut dia, dari 100 orang, terdapat 1 atau 2 pengidap bipolar. Setiap orang, baik itu anak-anak maupun orang lanjut usia, dapat mengalami gangguan bipolar.
Ia menjabarkan, terdapat berbagai terapi yang bisa diterapkan untuk menangani gangguan bipolar (ODB). Misalnya, dengan psikofarmaka (obat), psikoterapi (terapi wicara), rehabilitasi psikososial, pola hidup sehat, dukungan keluarga dan masyarakat, serta kelompok dukungan (support group).
Selain itu, terdapat layanan rehabilitasi psikososial yang ditanggung Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Beberapa di antaranya psikoedukasi, terapi vokasi, terapi okupasi, rehabilitasi kognitif, dan komunitas terapeutik.
Lahargo menegaskan, ODB dapat belajar dan bekerja seperti orang lain ketika telah menerima perawatan yang tepat. ”Kemampuan mereka sama dengan orang lain. Mereka hanya memerlukan perlakuan yang berbeda,” katanya.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) 2007-2012 Yosep Stanley Adi Prasetyo menilai diskriminasi dan stigma yang dialami Edwin dan Nurul merupakan salah satu contoh nyata belum adanya pemahaman komprehensif terkait gangguan mental, termasuk oleh negara. ODB tidak boleh diasingkan dari lingkungan, pekerjaan, pendidikan, dan keamanan sosial.
Akademisi Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP Universitas Indonesia (UI) dan Ketua Ikatan Pekerja Sosial Profesional Indonesia (IPSPI) Erna M R Dinata menambahkan, diskriminasi dan stigma muncul akibat ketidaktahuan, prasangka, dan ketakutan masyarakat. Misalnya, orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) ditakuti karena dikira akan melakukan kekerasan.
Perlakuan berbeda
Erna mengatakan, ODB di dunia pendidikan dan kerja membutuhkan perlakuan yang berbeda. ”Kita harus mampu merangkul keberagaman fungsi sosial. Setiap orang memiliki kemampuan yang berbeda mengantisipasi lingkungannya,” katanya.
Misalnya, ODB memiliki beberapa indikator yang perlu dipertimbangkan ketika ingin bekerja di suatu tempat. Mereka harus memperhatikan lingkungan kerja, jadwal, tipe rekan kerja, dan level kreativitas yang dibutuhkan. Mereka pun perlu mencari bantuan profesional dan kelompok dukungan. Namun, mereka juga tetap harus memiliki kemauan untuk mengembangkan diri.
Ia mengungkapkan, Indonesia belum memiliki data konkret terkait masalah yang dihadapi ODB. Masalah yang dihadapi Edwin dan Nurul merupakan kasus yang baru diketahui. Ia meyakini, masih ada banyak kasus serupa yang terjadi tetapi tidak dilaporkan.