KPAI Terima 22 Pengaduan Penyalahgunaan Anak Selama Kampanye
Oleh
DD16
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 22 kasus penyalahgunaan anak dalam kegiatan politik diterima oleh Posko Pengaduan Nasional Pilkada Komisi Perlindungan Anak Indonesia selama 51 hari kampanye dalam Pilkada 2018. Pelibatan anak dalam kegiatan politik tersebut dikhawatirkan mengganggu tumbuh kembang dan berbahaya bagi keselamatan anak-anak itu.
Kasus yang paling banyak diadukan adalah memobilisasi massa anak yang dilakukan partai politik atau calon kepala daerah dengan jumlah 11 aduan. Aduan terbanyak kedua adalah membawa bayi atau anak berusia di bawah 7 tahun ke arena kampanye terbatas dengan jumlah empat aduan.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak, Jasra Putra, mengatakan, pelibatan anak dalam kegiatan politik membuat hak-hak anak terenggut.
”Anak seharusnya bisa beristirahat dan bermain, bukannya ikut kegiatan politik seperti kampanye itu,” ujar Jasra dalam acara diskusi bertema pelibatan anak dalam kegiatan politik, di Jakarta, Jumat (6/4/2018).
”Anak-anak itu juga tidak paham betul apa yang dikatakan para politisi saat berkampanye. Keamanan anak-anak juga jadi terancam karena mereka berada di kerumunan massa,” lanjut Jasra.
Adapun larangan untuk melibatkan anak dalam kegiatan politik diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002.
Namun, dalam undang-undang tersebut, tidak ada hukuman yang jelas bagi pihak yang melibatkan anak dalam kegiatan politik. Ketua KPAI Susanto mengatakan, terjadi defisit dalam perubahan undang-undang itu.
”Pada UU No 23/2002 disebut dengan jelas yang melibatkan anak dalam kegiatan politik akan mendapatkan hukuman pidana. Tetapi, yang terjadi dalam UU No 35/2014, justru tidak dijelaskan secara eksplisit pelibatan anak dalam kegiatan politik. Istilah politik dihapus dalam pemberian pidana,” tutur Susanto.
Ia menilai, perlindungan anak terhadap kegiatan politik masih kurang. Banyaknya pelibatan anak dalam kegiatan politik menjadi bukti yang cukup jelas. Oleh karena itu, ia menyebutkan, KPAI bekerja sama dengan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) melakukan pengawasan terhadap penyelenggara kampanye yang melibatkan anak-anak dalam kegiatan politik.
”Nanti, jika ada pelanggaran yang dilakukan peserta kampanye, Bawaslu akan melaporkan atau konsultasi kepada kami, apakah yang dilakukan peserta kampanye itu melanggar. Jika melanggar, kami bisa merekomendasikan untuk memberikan teguran atau menindak lebih lanjut,” ujar Susanto.
Pada Pemilu 2014, KPAI mencatat ada 248 kasus pelanggaran pelibatan anak yang dilakukan partai politik. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) menjadi pelanggar paling banyak dengan jumlah 33 kasus.
Terkait hal itu, Ketua Komisi II DPR Zainuddin Amali menyatakan, partai politik adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas pelibatan anak dalam kegiatan politik atau kampanye. Namun, ia menambahkan, hal itu seakan tidak bisa dicegah dengan alasan untuk keselamatan anak.
”Alasan klasiknya, anak-anak diajak ikut ke kampanye karena orangtuanya merasa tidak aman apabila meninggalkan anak-anaknya di rumah,” kata Zainuddin. ”Tugas partai politik selanjutnya harus menjamin keamanan anak-anak yang terpaksa ikut kampanye karena diajak orangtuanya.”
Zainuddin setuju, keamanan anak-anak harus diperhatikan dan dijamin agar tidak dilibatkan dalam kegiatan politik. Ia menginginkan partai politik menyadari, pelibatan anak-anak dalam kegiatan politik melanggar aturan.
”Sanksi bagi partai yang melibatkan anak-anak pada kegiatan politik harus diperjuangkan,” kata Zainuddin.
”Saya kira, harus cari model efektif terkait partai politik dan pasangan calon itu membuat pelibatan anak dalam kontestasi politik sebagai sebuah perhatian. KPAI sebaiknya menyampaikan kepada masyarakat terkait partai mana saja yang menyalahgunakan anak,” tutur Zainuddin.